Hepi Wahyuningsih Dosen Prodi Psikologi Lulus Gelar Doktor di UGM

”Perkawinan yang berkualitas tinggi adalah perkawinan yang terus berkembang karena mengejar tujuan pokok dan tujuan bersama. Kualitas perkawinan yang tinggi dapat dicapai dengan kebajikan/virtue, dimana faktor religiusitas dalam model psikologis kualitas perkawinan menjadi master of virtue yang mampu mengintegrasikan virtue yang lain (komitmen perkawinan dan pengorbanan) untuk mengejar kualitas perkawinan yang tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor kualitas perkawinan yang utama adalah religiusitas”. Demikian ungkap Doktor baru Prodi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, Hepi Wahyuningsih yang telah berhasil mempertahankan desertasinya "Model Psikologis Kualitas Perkawinan Pasangan Suami Istri" saat menempuh ujian terbuka Program Doktor Ilmu Psikologi UGM, Kamis (11/10) di Auditorium Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Masih menurut Bu Hepi (panggilan akrab Dr. Hepi Wahyuningsih, S.Psi., M.Si) bahwa berfungsinya sebuah perkawinan dapat dilihat dari dua hal, yaitu kualitas perkawinan dan kestabilan perkawinan. Kualitas perkawinan adalah evaluasi subjektif suami atau istri terhadap hubungan perkawinan yang berupa sebuah kontinum yang merefleksikan bermacam-macam karakteristik perkawinan. Stabilitas perkawinan menggambarkan kondisi dari sebuah perkawinan (terjadi perpisahan, perceraian, desersi, atau pembatalan). Dalam studi keluarga, kualitas perkawinan mendapatkan perhatian yang besar dari para peneliti karena berpengaruh positif terhadap kesejahteraan psikologis, kesehatan fisik individu yang menikah, dan berkorelasi positif dengan tingginya kemampuan anak dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya.

“Kualitas perkawinan juga ditemukan berkorelasi negatif dengan problem perilaku anak dan problem emosional anak. Selain itu, hasil analisis pada kelompok suami menunjukkan religiusitas suami memiliki efek langsung dan tidak langsung terhadap kualitas perkawinan suami. Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa efek religiusitas suami terhadap kualitas perkawinan suami secara parsial dimediasi oleh komitmen perkawinan suami dan pengorbanan suami. Besar sumbangan efektif religiusitas, komitmen perkawinan, dan pengorbanan terhadap kualitas perkawinan sebesar 76%. Efek religiusitas istri terhadap kualitas perkawinan istri secara parsial hanya dimediasi oleh komitmen perkawinan istri. Pada kelompok istri, besar sumbangan efektif religiusitas, komitmen perkawinan, dan pengorbanan terhadap kualitas perkawinan sebesar 64%”, paparnya.

Dalam penelitian tersebut juga ditemukan bahwa kualitas perkawinan seseorang tidak banyak dipengaruhi oleh faktor dari pasangannya, tetapi banyak dipengaruhi oleh faktor dari diri sendiri. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas perkawinan, seseorang tidak boleh menuntut pasangannya. Suami tidak boleh menuntut istrinya agar lebih religius, lebih berkomitmen, maupun agar lebih berkorban karena yang lebih mempengaruhi kualitas perkawinan dirinya adalah tingkat religiusitas, komitmen perkawinan, dan pengorbanan dirinya sendiri. Demikian halnya istri, istri tidak boleh menuntut suaminya agar lebih religius, lebih berkomitmen, maupun lebih berkorban karena yang lebih mempengaruhi kualitas perkawinan dirinya adalah tingkat religiusitas dan komitmen dirinya sendiri. Adanya nonindependence yang ditemukan dalam penelitian tersebut menunjukkan ketika suami/istri berusaha meningkatkan komitmen perkawinan dan pengorbanannya secara otomatis juga akan meningkatkan komitmen perkawinan dan pengorbanan pasangannya sehingga tidak hanya akan meningkatkan kualitas perkawinannya, tetapi juga secara tidak langsung akan membantu pasanganya dalam meraih kualitas perkawinan yang tinggi.

Temuan menarik yang lain, ternyata religiusitas istri selain berpengaruh pada kualitas perkawinan istri, religiusitas istri juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap kualitas perkawinan suami melalui komitmen istri yang berpengaruh terhadap pengorbanan suami. Religiusitas suami berpengaruh negatif terhadap pengorbanan istri. “Temuan menarik ini menunjukkan pentingnya seorang calon istri maupun calon suami untuk memperhatikan tingkat religiusitas istri/suami dalam memilih pasangan. Sehingga penelitian ini juga dapat dijadikan sumber rujukan bagi muslim yang akan menikah dimana kriteria pemilihan pasangan seperti yang telah dituntunkan dalam agama Islam, yaitu memilih pasangan berdasarkan kesamaan agama”, imbuhnya. Kesamaan agama akan membawa pada kesamaan pandangan mengenai perkawinan sehingga baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada tingginya kualitas perkawinan.

H. Fuad Nashori Lulus Doktor Tercepat Universitas Padjajaran (UNPAD)

"Alhamdulillah, berkat kemurahan dari Allah swt saya dapat selesaikan studi program doctor dalam tempo dua tahun satu bulan. Berdasar keterangan bagian akademik pascasarjana Unpad, ini adalah kelulusan tercepat program doktor Unpad,” demikian disampaikan Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., Psikolog, kepada UII News. Selain tercepat, hasil studi mantan Dekan FPSB UII Periode 2006-2010 yang sangat ramah dan murah senyum tersebut juga sangat memuaskan dengan IPK 3.78. Disertasinya yang berjudul “Pemaafan pada Etnis Jawa (Studi Kasus pada Warga Kota Yogyakarta)” berhasil memperoleh nilai A pada ujian terbuka yang diselenggarakan tanggal 8 Oktober 2012.

Program yang dikuti dosen prodi psikologi UII ini adalah Program Penugasan dan Disertasi. Di semester pertama ada penyegaran tiga matakuliah, yaitu filsafat, metode, dan teknik analisis statistik. Pada semester kedua ada penugasan-penugasan yang intinya adalah menyiapkan segala sesuatunya sehingga proposal siap. Mulai tahun kedua ada seminar usulan penelitian. Setelah itu ambil data, analisis data, seminar hasil, ujian tertutup, dan ujian terbuka.

Kepada UIINews, sosok yang sangat dikenal aktif dalam menulis artikel maupun buku tersebut membagi kunci kecepatan masa studinya. “Fokus dan prihatin,” ungkap dosen psikologi sosial ini dengan lugas. “Saya jadikan disertasi sebagai agenda utama hidup saya. Sambil studi di bandung, saya masih aktif mengajar dan membimbing skripsi mahasiswa S1 dan tesis S2 Psikologi UII. Namun, prioritas saya tetap studi. Yang lain-lain sengaja saya poisisikan sebagai sekunder”, tambahnya.

Diceritakan oleh dosen yang sangat akrab dengan mahasiswa ini bahwa sepanjang 2 tahun masa studinya, hampir tiap minggu ia pulang pergi Yogya-Bandung, berangkat malam dan pulang menjelang shubuh. Setiap ada perkembangan ia laporkan kepada para promotor disertasinya. Sebuah perjuangan yang luar biasa. Bahkan pria asal Mojokerto ini sering masuk angin dan sakit perut. Namun demikian, proses melaporkan yang mendapat umpan balik dan segera menindaklanjuti saran promotornya menjadikan semuanya dapat berjalan lancar.

Selama sekolah, ayah lima anak ini memilih hidup prihatin. Ia lebih memilih untuk fokus studi daripada menerima permintaan berceramah atau aktivitas lain yang menjanjikan uang. Ketika ada kekurangan uang, ia putuskan pinjam saja. “Godaan utama orang yang studi adalah proyek, baik menulis di media massa maupun ceramah. Saya sangat sering menolak ceramah dari sejumlah pihak, karena kekhawatiran mengganggu fokus saya”, tuturnya.

Selain fokus, faktor promotor adalah faktor yang penting. Pak Fuad menceritakan bahwa promotor-promotornya sangat baik dalam memberi pelayanan. Hampir setiap akhir pekan mereka menyediakan waktunya untuk membimbing Pak Fuad secara bersama-sama. “Kami juga akrab. Saya sudah mengunjungi rumah semua pembimbing saya dan tidur di sana. Saya bersedia menginap karena diminta.

Kalau mereka ke Yogya, saya selalu menemui mereka dan mendapat bimbingan”, imbuh Pak Fuad.

Diceritakan pula bahwa Pak Fuad sudah akrab dengan ketiga promotrnya jauh sebelum studi lanjut pada Program Doktor Ilmu Psikologi Unpad. Salah seorang ko-promotor, Prof Kusdwiratri Setiono, sudah ia kenal sejak mahasiswa S1. Bahkan, orangnya hadir dalam pernikahan Pak Fuad tahun 1997. Ketua Promotor, Prof Zulrizka Iskandar, sudah dikenalnya sejak tahun 2002 saat Pak Fuad mengisi seminar psikologi Islami di Unpad dan beliau membuka acaranya. Prof Zul dan Pak Fuad juga sering bertemu saat mereka menjadi dekan di fakultasnya masing-masing. Promotor ketiga adalah teman sesama pembantu dekan urusan kemahasiswaan dan alumni. DR Gimmy Prathama dan Pak Fuad sudah sering bertemu. “Semua itu menjadi faktor yang memudahkan. Namun demikian, saya juga harus katakan bahwa setiap tahapan penyelesaian ada jumpalitannya. Semua tahap ada kesulitannya. Kesehatan yang tiba-tiba menurun, pengambil data yang lamban, dan sebagainya. Hal utama yang saya harapkan dan akhirnya saya peroleh adalah kepercayaan dari mereka.,” pungkasnya.