Workshop “School of Empathy” di selenggarakan prodi Psikologi FPSB UII

{mosimage}Dasar dari empati adalah merasakan, memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain. Jadi untuk bisa ber’empati’dengan sesama, maka harus ada koneksi perasaan yang mampu merasakan orang lain. Empati adalah hubungan, komunikasi dan kelekatan. Empati juga terkait dengan kontak tubuh. Dan dasar dari semuanya adalah cinta. Ini adalah hal yang penting untuk mengembangkan empati”, Demikian ungkap Prof. Dr. Marcus Stueck kepada para peserta Workshop School of Empathy yang dihelat oleh Prodi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia selama 2 hari, Rabu-Kamis, 2-3 Januari 2013. Ini merupakan workshop kedua yang sebelumnya pernah diselenggarakan pada bulan Maret 2012.

Kegiatan yang diselenggarakan di Gedung Mohammad Hatta tersebut diikuti oleh sekitar 25 peserta yang berasal dari berbagai daerah. School of empathy sendiri merupakan sebuah metode/ teknik pembelajaran yang terdiri dari 2 metode, yakni melalui bahasa komunikasi-verbal dan badan-nonverbal (dance of life). Dipilihnya dance/gerak tari sebagai salah satu media pembelajaran empati karena dance tersebut bisa membawa perasaan dan ekspresi seseorang ke dalam tarian. Pengalaman inilah yang terbukti mampu mempengaruhi perilaku seseorang sejalan dengan adanya proses biokimia yang terjadi di otak saat melakukan dance/dansa tersebut.

“Itulah mengapa biodansa penting karena dengan dansa tersebut dapat membangun empati. Dengan dansa kita bisa menyeimbangkan antara pengatahuan dan perasaan, sedangkan bila hanya membaca kita hanya bisa mendapatkan pengetahuan saja. Dan program ini bisa diikuti dan dimengerti oleh siapa saja tanpa membedakan ‘kondisi’ seseorang. Bahkan tuna rungu pun bisa dilatih intuisinya/feelingnya dengan dansa”, tambah Prof. Stueck.

Dalam praktiknya, peserta diminta melakukan gerakan-gerakan/tarian tertentu yang disesuaikan dengan irama dansa yang diperdengarkan. Musik yang diputar sebagai pengiring tarianpun sangat bervariasi, mulai dari tempo cepat (untuk melepaskan ekspresi/emosi), tempo sedang (untuk bisa merasakan kondisi sekitar) dan tempo lambat/lembut (untuk relaksasi).

“Tadinya saya kurang mengerti dan memahami apa itu sebenarnya ‘empati’. Tapi setelah mengikuti pelatihan ini saya sekarang bisa lebih mengerti/tahu dan merasakan langsung tentang apa itu empati”, ungkap salah seorang peserta di akhir sesi, Rudy Yuniawati.