Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025
Pandai mengkritik, lupa bercermin
Raden Rara Indahria Sulistyarini
Kritik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial manusia. Ia berperan sebagai mekanisme evaluasi untuk mengidentifikasi kekurangan dan mendorong perbaikan, baik dalam lingkup personal, profesional, maupun sosial. Dalam bentuknya yang ideal, kritik mengandung niat tulus, metode penyampaian yang bijak, dan tujuan yang jelas untuk membangun. Namun, kenyataannya, kritik tidak selalu digunakan untuk tujuan mulia tersebut. Tidak jarang kritik justru berubah menjadi alat untuk merendahkan, mempermalukan, atau mencari kesalahan orang lain tanpa niat untuk membangun. Fenomena ini muncul dalam berbagai bentuk, komentar yang melecehkan di ruang publik, sindiran yang menyakitkan di media sosial, hingga teguran kasar di lingkungan kerja atau keluarga. Ironisnya, pihak yang rajin mengkritik belum tentu mampu melakukan hal yang ia tuntut dari orang lain. Sikap ini menimbulkan paradoks bahwa seseorang yang lemah dalam introspeksi diri justru merasa berhak mengoreksi orang lain. Dalam perspektif Islam, fenomena ini tidak sekadar masalah etika sosial, tetapi juga menyentuh dimensi moral dan spiritual. Al-Qur’an secara tegas mengingatkan agar manusia tidak mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan (QS. As-Saff: 2–3). Oleh karena itu, fenomena ini dapat dianalisis secara mendalam dari dua sudut: (1) psikologi modern, yang mempelajari mekanisme mental di balik perilaku tersebut, dan (2) ajaran Islam, yang memberikan kerangka etis dan spiritual untuk menghindarinya.
Pertama dari aspek psikologis, perilaku mengkritik orang lain tanpa mampu melakukan hal yang sama sering kali bersumber dari rasa tidak aman (insecurity). Individu yang mengalami insecurity cenderung membangun self-image palsu untuk melindungi harga dirinya. Ketika berhadapan dengan pencapaian atau kelebihan orang lain, individu ini akan merasa terancam. Maka, kritik yang dilontarkan bukan lagi sebagai sarana evaluasi objektif, melainkan sebagai bentuk penegasan “superioritas semu” yang tujuannya adalah menurunkan citra orang lain agar selaras dengan persepsi negatif yang mereka miliki. Fenomena ini erat kaitannya dengan proyeksi, yaitu tindakan memindahkan perasaan, sifat, atau kelemahan yang tidak diinginkan dari diri sendiri kepada orang lain. Proyeksi memberikan rasa lega yang sifatnya sementara, karena masalah pribadi tampak “hilang” setelah dialihkan kepada orang lain, meski sesungguhnya hanya berpindah tempat. Dengan proyeksi, individu akan merasa terhindar dari rasa bersalah internal. Dalam jangka panjang justru memperkuat rasa rendah diri karena individu tidak membangun kompetensi yang nyata. Fenomena ini dikenal sebagai proyeksi psikologis.
Selain itu, kritik yang bersumber dari proyeksi dan insecurity juga sering menjadi bagian dari coping mechanism yang maladaptif. Coping ini tidak membantu menyelesaikan masalah internal, tetapi justru memperburuk hubungan interpersonal. Alih-alih melakukan self-reflection untuk mengidentifikasi kekurangan, individu mengalihkan fokusnya pada kekurangan orang lain. Dalam psikologi sosial, hal ini dijelaskan melalui konsep self-serving bias, yaitu kecenderungan untuk menyalahkan faktor eksternal atas kegagalan diri, namun mengaitkan keberhasilan diri dengan kemampuan pribadi, dan sebaliknya melihat keberhasilan orang lain sebagai hasil dari faktor keberuntungan atau kondisi eksternal. Jika perilaku seperti ini berlangsung terus-menerus, individu berisiko terjebak dalam siklus resistensi terhadap perkembangan diri. Kritik yang diberikan tanpa empati dan tanpa keinginan untuk membantu justru menimbulkan hostility dari orang yang dikritik, memicu konflik, dan mengisolasi pelaku dari hubungan sosial yang sehat. Secara emosional, individu mungkin merasa puas sesaat karena berhasil “menjatuhkan” orang lain, tetapi dalam jangka panjang hal ini memperkuat rasa tidak berharga yang ada pada dirinya sehingga kebiasaan ini dapat menghambat pertumbuhan pribadi dan membuat hubungan sosial renggang. Di lingkungan kerja, kritik yang tidak konstruktif menimbulkan rasa saling curiga dan memicu konflik internal. Dalam keluarga, perilaku seperti ini bisa merusak kehangatan dan membuat komunikasi menjadi tegang. Selain merusak hubungan, fenomena ini juga mengikis kepercayaan. Orang yang sering mengkritik tanpa memberi solusi akan dianggap hanya mencari-cari kesalahan. Akibatnya, masukan yang mungkin bernilai pun diabaikan karena disampaikan tanpa niat membangun.
Kedua adalah perspektif Islam. Dalam perspektif Islam, kecenderungan manusia untuk mengkritik orang lain dapat dilihat sebagai bagian dari fitrah sekaligus ujian akhlak. Islam mengakui bahwa manusia memiliki naluri untuk menilai (evaluasi), karena Allah menganugerahkan akal dan hati sebagai alat membedakan yang benar dan salah. Namun, Islam juga memberi rambu bahwa penilaian itu harus dilandasi niat yang ikhlas, cara yang bijaksana, dan tujuan yang maslahat. Al-Qur’an mengingatkan bahwa di dalam diri manusia terdapat nafsu ammarah (dorongan negatif) yang cenderung mendorong pada sikap sombong, merasa diri lebih baik, dan mencari kesalahan orang lain. Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat [49]: 11 melarang kita untuk merendahkan atau mencela sesama: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka…”. Ayat ini menegaskan bahwa kritik yang didasari ego dan kesombongan adalah bentuk pelanggaran terhadap adab ukhuwah. Orang yang suka mengkritik dengan niat merendahkan seringkali terdorong oleh ujub (kagum pada diri sendiri) dan takabbur (merasa lebih tinggi). Oleh karena itu, diwajibkan bagi kita untuk menghindari sifat ini dengan memperbanyak muhasabah (introspeksi) yaitu menyibukkan diri dengan menilai dan memperbaiki kesalahan pribadi, menutup aib sesama muslim, dan memberikan masukan yang berguna, serta berbaik sangka. Islam tidak melarang kritik karena tidak semua kritik itu buruk tetapi dalam memberikan kritik perlu menetapkan adab dan niat yang jelas. Kritik yang dibenarkan harus berangkat dari kepedulian tulus, disampaikan dengan sopan, dan disertai solusi. Teguran sebaiknya dilakukan secara pribadi, bukan di depan umum, untuk menjaga kehormatan pihak yang dikritik. Firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 125 menggariskan bahwa ajakan kepada kebaikan harus dilakukan dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta dialog yang santun. Tafsir Al-Baghawi menegaskan bahwa dakwah dan nasihat yang bijak lebih efektif daripada mencari-cari kesalahan dan mempermalukan orang lain.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa baik buruknya kritik terletak pada niat, cara penyampaian, dan tujuannya. Kritik yang dibenarkan dalam Islam adalah kritik yang disampaikan dengan niat tulus untuk memperbaiki, penuh adab, dan mempertimbangkan perasaan orang lain. Menegur bukan berarti mempermalukan. Bahkan, ulama terdahulu mengajarkan untuk menegur secara pribadi, bukan di depan umum, agar harga diri orang yang ditegur tetap terjaga. bahwa kritik sejati bukanlah yang membuat orang merasa terpojok, melainkan yang menginspirasi perubahan positif. Dengan introspeksi, adab berbicara, dan niat yang lurus, kritik dapat menjadi alat perbaikan yang berharga, bukan sekadar pelampiasan ego. Pada akhirnya, ukuran kemuliaan kita bukanlah seberapa pandai kita menemukan kesalahan orang lain, tetapi seberapa tulus kita membantu mereka menjadi lebih baik, sambil terus memperbaiki diri.
Click here to add your own text