Volume 1 Edisi 1, 2025

Media sosial sebagai media syi’ār

Fitri Ayu Kusumaningrum

Media sosial sebagai media penyampai informasi seharusnya memiliki sebuah peran penting dalam menyebarluaskan kebenaran. Suatu hasil studi menganalisis sekitar 126.000 rantai penyebaran berita di Twitter. Berita-berita tersebut diklasifikasikan sebagai benar atau salah berdasarkan verifikasi dari enam organisasi pemeriksa fakta independen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berita palsu menyebar lebih jauh, lebih cepat, lebih dalam, dan lebih luas dibandingkan berita benar di semua kategori informasi. Berita palsu cenderung menjangkau lebih banyak orang dibandingkan berita yang benar. Dari seluruh penyebaran berita palsu, 1% yang paling populer dapat mencapai antara 1.000 hingga 100.000 orang, sedangkan berita benar jarang sekali melampaui 1.000 orang. Selain itu, berita palsu menyebar dengan kecepatan lebih tinggi. Perbedaan ini kemungkinan dipengaruhi oleh dua hal utama: daya tarik kebaruan informasi dan reaksi emosional yang ditimbulkannya pada penerima (Vosoughi, et al., 2018). Media sosial juga dapat menampilkan video deepfake yang merupakan hasil dari penerapan kecerdasan buatan dan machine learning yang mampu menggabungkan, memodifikasi, mengganti, atau menumpangkan gambar maupun potongan video ke dalam sebuah tayangan sehingga menghasilkan video palsu yang tampak autentik. Video hasil rekayasa digital ini tentu jauh dari aspek kebenaran karena sudah terdapat hasil editing sesuai dengan maksud tertentu dari pembuat video deepfake tersebut. Permasalahan yang muncul antara lain adalah potensi penyalahgunaan informasi tanpa adanya pihak yang bersangkutan, meskipun tujuan awalnya adalah humor, namun dapat juga beralih pada tujuan yang bersifat politis. Perlu adanya teknologi pendamping untuk langkah antisipatif dari akibat semakin canggihnya teknologi tersebut  (Maras & Alexandrou, 2019).

Dalam perspektif Islam, penyampaian berita merupakan hal yang penting dan dijelaskan dalam beberapa surat dalam Al-Qur’an. Salah satu ayat yang menjelaskan mengenai etika komunikasi dalam Islam yaitu QS. Al-Hujarat ayat 6:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌۭ بِنَبَإٍۢ فَتَبَيَّنُوٓا أَن تُصِيبُوا قَوْمًۭا بِجَهَـٰلَةٍۢ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَـٰدِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.“

Makna ayat ini menurut Tafsir al-Azhar, dijelaskan bahwa Ayat ini jelas sekali, memberikan larangan yang sekeras-kerasnya  untuk mempercayai berita yang dibawa oleh seorang yang fasik, memburukkan seseorang atau suatu kaum. Janganlah perkara itu langsung saja diiyakan atau ditidakkan, melainkan diselidikilah terlebih dahulu dengan seksama sekali benar atau tidaknya. Jangan sampai karena terburu menjatuhkan keputusan yang buruk atas suatu perkara, sehingga orang yang diberitakan itu telah mendapat hukuman, padahal kemudian ternyata bahwa tidak ada samasekali salahnya dalam perkara yang diberitakan orang itu. Di dalam sebab turunnya ayat ada disebutkan bahwasanya hal ini bersangkut paut dengan berita yang dibawa kepada Rasulullah oleh al-Walid bin Uqbah bin Abu Mu‘it (Hamka, 2000). 

Menurut tafsir Al-Mishbah, ayat di atas merupakan salah satu dasar yang ditetapkan agama dalam kehidupan sosial sekaligus ia merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan pengalaman suatu berita. Kehidupan manusia dan interaksinya haruslah didasarkan hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau seluruh informasi. Karena itu, ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu ada yang jujur dan memiliki integritas, sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang benar, dan ada pula sebaliknya. Karena itu pula berita harus disaring, khawatir jangan sampai seseorang melangkah dengan pengetahuan yang tidak jelas, atau dalam bahasa ayat di atas adalah bi jahālah. Dengan kata lain, ayat ini menuntut kita untuk menjadikan langkah kita didasari pada pengetahuan, sebagai lawan dari jahālah (yang berarti kebodohan). Di samping melakukannya berdasar pertimbangan logis dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah swt. sebagai lawan dari makna kedua dari jahālah (Shihab, 2002).

Ayat kedua yang menjelaskan etika komunikasi dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam QS. Al-Hujarat ayat 12: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang”.

Adapun tafsir Al-Azhar QS. Al-Hujarat ayat 12 menjelaskan bahwa prasangka ialah tuduhan yang bukan-bukan, persangkaan yang tidak beralasan, hanya semata-mata tuduhan yang tidak pada tempatnya saja, dijelaskan pada ayat tersebut: “Karena sesungguhnya sebagian daripada prasangka itu adalah dosa.” Prasangka adalah dosa, karena dia adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa saja memutuskan silaturahmi di antara dua orang yang berbaik. Bagaimanakah perasaan orang yang tidak mencuri lalu disangka bahwa dia mencuri? Sehingga sikap kelakuan orang lain telah berlainan saja kepada dirinya. Rasulullah sangat mencegah perbuatan prasangka yang sangat buruk, berikut sabda Nabi Muhammad SAW: “Sekali-kali janganlah kamu berburuk sangka, karena sesungguh buruk sangka adalah perkataan yang paling bohong. Dan janganlah kamu mengintai-intai, dan janganlah kamu merisik-risik, dan janganlah kamu berganding-gandingan, dan janganlah kamu berdengki-dengkian dan janganlah kamu berbenci-bencian dan janganlah kamu berbalik-belakangan, dan jadilah kamu seluruh hamba Allah bersaudara.” Hadits lain, “Tidaklah halal bagi seorang lslam untuk meniauhi saudaranga lebih dari tiga hari” (Riwayat Muslim) 

Penjelasan selanjutnya mengenai konteks relasi sosial dalam Islam yang dapat terjadi pada media sosial. Relasi sosial di media sosial sebaiknya menyeru pada kebaikan, sehingga terbentuk suatu sistem dukungan sosial. Dukungan sosial ini merupakan bentuk faktor protektif pada kesehatan mental (Acoba, 2024). Dalam Islam, relasi sosial yang menjadi bentuk suatu dukungan positif dijelaskan pada beberapa ayat, antara lain:


إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌۭ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (al-Ḥujur̄att: 10)

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ

“…Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (al-Mā’idah: 2)

Pada tafsir Al-Azhar tentang al-M̄a’idah ayat 2 (Hamka, 2000), dijelaskan bahwa menjadi alasan yang kuat untuk menganjurkan adanya perkumpulan-perkumpulan dengan tujuan yang baik, laksana club-club persahabatan, yang dasarnya diletakkan di masjid, langgar, surau dan pondok. Supaya di samping beribadat kepada Tuhan dilakukan pula dengan tolong-menolong segala urusan yang mengenai bersama. Kalimat Ta‘āwanū adalah dari pokok kata (maṣdar) mu‘āwanah, yang berarti tolong-menolong, bantu-membantu. Lantaran itu, maka makna kerja sama pun tersimpan di dalamnya. Diperintahkan untuk hidup tolong-menolong, dalam membina al-Birr, yaitu segala ragam maksud yang baik dan berfaedah, yang didasarkan kepada tegaknya taqwa, yaitu mempererat hubungan dengan Tuhan. Dan di tengah bertolong-tolongan atas berbuat dosa dan menimbulkan permusuhan dan menyakiti sesama manusia. Tegasnya merugikan orang lain. Kemudian di penutup ayat tersebut pula: “Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah sangat keras siksaan

Daftar Pustaka:

Acoba, E. F. (2024). Social support and mental health: the mediating role of perceived stress. Frontiers in Psychology15, 1330720.

Hamka. (2000). Tafsir al-Azhar (Jilid 9). Jakarta: Pustaka Panjimas.

Maras, M. H., & Alexandrou, A. (2019). Determining authenticity of video evidence in the age of artificial intelligence and in the wake of Deepfake videos. The international journal of evidence & proof23(3), 255-262.

Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.

Vosoughi, S., Roy, D., & Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. science359(6380), 1146-1151.