Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025
Ketika sarjana susah dapat kerja, perusahaan susah cari talenta
Ike Agustina
Belakangan ini semakin sering kita jumpai curhatan di media sosial dari sarjana baru yang telah mengirimkan lamaran ke banyak perusahaan, tapi tidak pernah dipanggil. Ada juga yang mengaku sampai tahap akhir rekrutmen, namun gagal. Lucunya, di saat yang sama, dalam berbagai seminar bisnis atau forum pertemuan komunitas HR kerap hadir narasi dimana pengusaha dan para manajer sumber daya manusia mengeluh hal yang berlawan. Mereka banyak berujar, “Susah sekali cari orang yang cocok dan bisa langsung kerja.”
Kondisi ini seolah-olah mengindikasikan bahwa antara pencari kerja dan penyedia kerja tidak pernah benar-benar bertemu di titik yang sama. Lulusan perguruan tinggi jumlahnya banyak. Lowongan pekerjaan juga tidak sedikit, meskipun tidak semasif periode-periode sebelumnya. Namun anehnya, tetap saja banyak kursi kosong di perusahaan karena belum menemukan kandidat terbaik yang layak mendudukinya.
Fenomena ini bukan cuma terjadi di Indonesia. Laporan World Economic Forum 2025 memperkirakan hampir setengah keterampilan yang kita miliki sekarang (44%) akan berubah dalam lima tahun ke depan. Bukan angka kecil. Perubahan ini dipicu oleh kemajuan teknologi, pergeseran ke energi hijau, dan pasar global yang bergerak cepat. Beberapa pekerjaan akan tumbuh pesat seperti di bidang energi terbarukan, kecerdasan buatan, dan keamanan siber. Tapi pekerjaan rutin seperti administrasi atau entri data akan makin jarang. Bayangkan saja, kalau lulusan kita masih belajar dengan cara lama, lalu masuk ke dunia kerja yang sudah berubah total maka wajar kalau “klik”-nya tidak ketemu.
Di Indonesia sendiri, data Badan Pusat Statistika tahun 2023 mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk lulusan universitas masih 5,79%. Angka ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan lulusan SMA atau setara. Artinya, ada cukup banyak sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan, meskipun mereka sudah mengantongi ijazah.
Pertanyaan yang mau tidak mau kemudian muncul adalah: mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya karena jurang antara dunia pendidikan dan dunia kerja masih lebar. Banyak perguruan tinggi yang memang sudah berusaha menyesuaikan diri. Mereka rajin mengadakan diskusi kelompok terpumpun dengan para pengguna lulusan mereka yang berasal dari dunia industri dalam upaya untuk bertanya mengenai keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia industri. Bahkan agenda ini menjadi salah satu instrumen yang diukur dalam borang akreditasi. Namun, hasilnya belum terlihat signifikan.
Diakui atau tidak, seringkali proses itu hanya berhenti di diskusi atau dokumen rencana perbaikan. Perguruan tinggi di Indonesia tampak masih sulit untuk mengubah tradisi “transfer pengetahuan” kepada proses belajar yang lebih banyak memberikan ruang praktik dan eksplorasi pembelajaran di lapangan. Dampaknya, ketika masuk dunia kerja, banyak lulusan yang kaget karena situasinya jauh berbeda. Mereka butuh waktu lama untuk beradaptasi. Perusahaan sebenarnya mau saja melatih, tapi biaya dan waktunya tidak sedikit bahkan tak jarang perusahaan keburu patah hati dan menyimpulkan bahwa hasil rekrutannya memang tidak bisa bekerja.
Masalah lain yang sudah lama dibicarakan adalah keterampilan nonteknis, atau soft skills. Perusahaan masih membutuhkan orang yang bisa kerja sama, berkomunikasi dengan baik, mampu memecahkan masalah, dan cepat belajar hal baru. Namun, belakangan makin sering kita mendengar keluhan baru perusahaan: generasi muda dinilai terlalu mudah menyerah, cepat menilai lingkungan kerja sebagai “toxic”, dan kesulitan mengelola stres. Penulis sendiri pernah melihat langsung. Kandidatnya pintar dan punya nilai akademik bagus, tapi begitu diberi tekanan sedikit saja, mereka terlihat kehilangan arah bahkan tak jarang berakhir ke ruang konsultasi dengan psikolog atau psikiater.
Dari sisi pencari kerja, tantangan juga berat. Persaingan untuk posisi pemula sangat ketat. Banyak lowongan meminta pengalaman kerja tertentu, bahkan untuk level pemula. Bagi yang belum pernah magang atau terlibat dalam proyek nyata, ini jelas sulit dipenuhi. Kadang ekspektasi gaji juga menjadi kendala. Fresh graduate menginginkan gaji di angka tertentu, tapi perusahaan merasa bahwa itu belum sebanding dengan keterampilan yang dimiliki.
Kalau mau melihat masalah ini secara utuh, kita perlu membicarakan strategi yang lebih konkret. Bukan sekadar seminar atau diskusi kelompok terpumpun yang sifatnya formalitas hanya untuk pemenuhan borang akreditasi. Ada beberapa langkah yang menurut penulis bisa dilakukan supaya lulusan lebih siap, dan perusahaan juga lebih mudah menemukan orang yang tepat.
Pertama, kerja sama antara kampus dan industri sebaiknya tidak hanya berhenti di acara seremonial atau pertemuan setahun sekali. Harus ada kemitraan yang benar-benar jalan dan berkelanjutan. Misalnya, membuat forum rutin yang membicarakan pembaruan kurikulum, perkembangan teknologi, dan kebutuhan pasar kerja. Di sini, industri bukan cuma memberi masukan, tapi pada level tertentu turut memutuskan mata kuliah atau proyek apa yang perlu dikerjakan mahasiswa. Tugas kuliah juga bisa langsung mengambil masalah nyata dari lapangan. Mahasiswa harus turun ke perusahaan, mencari permasalahan, lalu mengerjakannya sebagai proyek yang dinilai bersama oleh dosen dan pihak industri. Cara ini membuat mahasiswa bisa belajar sambil menyiapkan portofolio yang relevan, asalkan ada perusahaan yang mau menjadi “laboratorium hidup” bagi mereka.
Kedua, magang yang ada di kurikulum jangan hanya sekadar formalitas. Harus punya target jelas, terukur, dan waktunya cukup. Dari pengalaman penulis pribadi saat terlibat dalam seleksi kerja bagi fresh graduate, penulis sering melihat di transkrip nilai terdapat mata kuliah magang yang setelah penulis dalami ternyata cuma berlangsung dalam kurun waktu sebulan. Rasanya sulit bagi penulis membayangkan bagaimana keterampilan penting bisa berkembang pesat dalam waktu sesingkat itu. Magang hanya akan bermanfaat kalau ada tujuan konkret dan waktu yang cukup untuk benar-benar belajar.
Ketiga, dosen pun perlu sesekali “turun gunung” ke industri atau istilahnya industry immersion, sebagaimana yang telah dilakukan oleh kampus-kampus besar di negara maju. Lewat program seperti ini, dosen bisa melihat langsung perkembangan teknologi dan standar kerja terbaru. Susah rasanya berharap mahasiswa punya kompetensi yang relevan dengan kondisi terkini kalau dosennya sendiri hanya mengajar teori tanpa pernah merasakan langsung dinamika dan tantangan di lapangan.
Kalau semua langkah ini bisa dijalankan, jarak antara kampus dan dunia kerja mungkin tidak akan sejauh sekarang. Mahasiswa akan datang dengan bekal yang pas, perusahaan juga tak perlu menghabiskan waktu panjang untuk melatih dari nol. Namun penulis sadar, ini bukan pekerjaan rumah yang semalam selesai. Butuh kemauan bersama. Pemerintah, kampus, perusahaan, bahkan mahasiswa itu sendiri harus mau ambil bagian. Sedikit demi sedikit, kalau semua bergerak, potensi akan bertemu kesempatan. Dan mungkin, suatu hari nanti, kita tidak akan lagi mendengar keluhan “Susah cari kerja” atau “Susah cari orang”, karena keduanya sudah bertemu di titik yang sama.