Volume 1 Edisi 1, 2025

15 Agustus 2025

Integrasi konsep syukur dan komitmen organisasi

Arief Fahmie

Di dunia industri dan organisasi yang dinamis, salah satu tantangan yang dihadapi adalah memperoleh makna dan kondisi yang seimbang antara dimensi spiritualitas dan profesionalisme menjadi kondisi yang dijadikan perhatian. Dari kondisi tersebut, pendekatan yang perlu adalah mengintegrasikan aspek spiritual dan psikologis, antara lain, adalah konsep syukur dan komitmen organisasi. Tujuan artikel ini adalah secara konseptual mengkaji hubungan antara syukur dan komitmen organisasi.

Konsep syukur dalam perspektif Psikologi Islam adalah cerminan kondisi afeksi dan perilaku yang berfokus pengakuan dan penghargaan terkait nikmat dari Allah SWT. Syukur tidak hanya ekspresi verbal saja tetapi juga meliputi kesadaran, penerimaan, dan tindakan yang mencerminkan nilai-nilai psikospiritual. al-Ghazālī menjelaskan bahwa syukur terdiri dari tiga unsur, yaitu pengenalan nikmat melalui hati, pengakuan melalui lisan, dan manifestasi dalam tindakan (Ali dkk, 2020). Dalam satu studi empiris, Rusdi dkk. (2021) mengembangkan Islamic Gratitude Scale (IGS-10) sebagai alat ukur yang sahih untuk menghitung kebersyukuran secara kuantitatif. Mereka juga membuktikan bahwa kebersyukuran berkontribusi terhadap kesejahteraan psikologis dan stabilitas emosional. Selain itu, syukur dikaitkan dengan peningkatan emosi positif, coping yang lebih adaptif, dan hubungan sosial yang lebih sehat. Dalam perspektif teoretis, kebersyukuran juga diasosiasikan dengan munculnya makna hidup yang lebih kuat serta ketahanan psikologis yang lebih tinggi (Fatmala & Sari, 2022).

Dalam perspektif psikologi organisasi, komitmen organisasi merujuk pada derajat keterikatan individu terhadap organisasinya. Terdapat tiga dimensi utama, yaitu komitmen afektif, normatif, dan keberlanjutan. Selanjutnya, karyawan yang memiliki komitmen tinggi cenderung memiliki loyalitas, produktivitas, dan keterlibatan kerja yang lebih tinggi (Meyer dan Allen, 1991). 

Integrasi antara syukur dan komitmen organisasi dapat dilihat dari pengalaman syukur yang akan membentuk kondisi psikis positif yang mendukung komitmen afektif terhadap organisasi. Individu yang memiliki rasa syukur yang tinggi diprediksikan fokus terhadap aspek positif pekerjaan dan hubungan interpersonal di tempat kerja. Kondisi ini memperkuat komitmen afektif, karena syukur meningkatkan kesehatan mental dan hubungan sosial (Emmons & Mishra, 2011).

Rasa syukur dapat meningkatkan keterikatan emosional seseorang terhadap organisasi. Individu yang bersyukur cenderung memiliki persepsi positif terhadap lingkungan kerja, manajemen, dan rekan kerja. Studi oleh Lin (2015) menunjukkan bahwa rasa syukur secara signifikan mempengaruhi komitmen afektif pada pekerja pelayanan publik. Kebersyukuran berfungsi sebagai emosi sosial yang menguatkan hubungan interpersonal, yang merupakan elemen penting dalam keterikatan afektif.

Syukur memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja dan kesejahteraan emosional, artinya semakin tinggi derajat kebersyukuran maka semakin tinggi pula kepuasan kerja dan kesejahteraan emosional. Dua hal ini memperkuat komitmen organisasi. Dalam konteks Psikologi Islam, pengalaman kebersyukuran membuat rasa cukup dan kepasrahan kepada ketentuan Allah. Hal ini dapat mengurangi tekanan kerja dan meningkatkan daya tahan terhadap stres pekerjaan. 

Di samping itu, syukur dapat juga meneguhkan komitmen normatif. Dalam konteks Islam, nikmat yang diberikan Allah SWT adalah amanah. Jika seorang karyawan yang memandang pekerjaannya sebagai bentuk amanah akan berkewajiban untuk memberikan kontribusi terbaik. Komitmen normatif ini tumbuh dari kesadaran spiritual yang diperkuat oleh refleksi syukur terhadap pekerjaan dan nafkah yang diterima melalui instansi atau kantor tempat bekerja.

Ketika individu merasa bersyukur atas dukungan dan kesempatan yang diberikan organisasi, muncul rasa tanggung jawab moral untuk membalas kebaikan tersebut. Hal ini sejalan dengan norm of reciprocity yang sering dijadikan dasar dalam pengembangan komitmen normatif (Eisenberger et al., 2001). Kebersyukuran mendorong internalisasi nilai “kewajiban membalas kebaikan” dalam konteks hubungan organisasi dan karyawan.

Yang terakhir, komitmen keberlanjutan dapat dipengaruhi oleh kebersyukuran. Rasa syukur menciptakan sikap positif terhadap kondisi kerja dan meminimalkan intensi keluar dari organisasi . Hal ini telah diteliti oleh Kaplan dkk (2014), yang menemukan bahwa rasa bersyukur mengurangi turnover intention dan meningkatkan keterikatan karyawan. Ditambah lagi, kebersyukuran berperan dalam memperkuat hubungan interpersonal dan budaya organisasi. Lingkungan kerja yang menumbuhkan sikap saling menghargai dan bersyukur meningkatkan iklim kerja yang positif. Kondisi seperti ini berdampak secara kolektif terhadap komitmen afektif. Watkins dkk (2015). Menemukan bahwa budaya bersyukur dapat meningkatkan kohesi tim dan kepuasan kerja, dan setelahnya akan memperkuat komitmen terhadap organisasi. Dengan demikian, kebersyukuran dapat dinyatakan bukan hanya konsep spiritual tetapi memiliki relevansi praktis terkait upaya peningkatan komitmen organisasi. Integrasi ini memberikan peluang bagi pendekatan interdisipliner untuk merancang intervensi organisasi berbasis nilai-nilai spiritual yang terstruktur.

Contoh implikasi praktis dari hubungan antara kebersyukuran dan komitmen organisasi dapat berbentuk berbagai aktivitas. Pertama, program pelatihan kepemimpinan berbasis kebersyukuran. Pelatihan ini diberikan untuk manajer agar dapat mengenali dan membangun budaya apresiasi dan syukur dalam tim. Kedua, Kampanye Internal Gratitude Week. Kegiatan ini diharapkan mendorong karyawan untuk menuliskan atau menyampaikan secara langsung hal-hal yang mereka syukuri dari rekan kerja dan organisasi. Terakhir, sistem rekognisi non-material. Hal ini dilakukan dengan membuat penghargaan berbasis kebersyukuran untuk mendorong iklim kerja positif dan loyalitas emosional.

Sebagai kesimpulan, konsep kebersyukuran dalam Psikologi Islam memiliki kekuatan signifikan untuk memperkuat keterikatan psikologis karyawan terhadap organisasi. Melalui jalur kesejahteraan emosional, persepsi dukungan, serta perilaku prososial, kebersyukuran mempengaruhi seluruh dimensi komitmen organisasi. Kebersyukuran berdiri sebagai elemen spiritual-psikologis yang berdampak kuat dalam pembentukan loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi. 

Daftar Pustaka

Ali, S. A., Ahmed, M., Bhatti, O. K., & Farooq, W. (2020). Gratitude and its conceptualization: An Islamic perspective. Journal of religion and health, 59(4), 1740-1753.

Eisenberger, R., Armeli, S., Rexwinkel, B., Lynch, P. D., & Rhoades, L. (2001). Reciprocation of perceived organizational support. Journal of Applied Psychology, 86(1), 42–51.

Emmons, R. A., & Mishra, A. (2011). Why gratitude enhances well-being: What we know, what we need to know. In K. M. Sheldon, T. B. Kashdan, & M. F. Steger (Eds.), Designing positive psychology: Taking stock and moving forward (pp. 248–262). Oxford University Press. 

Fatmala D. Sari C. (2022). Pengaruh rasa syukur terhadap kesejahteraan psikologis pada mahasiswa S1 UIN Tulung Agung di masa Pandemi Covid-19. Journal of Islamic and Contemporary Psychology (JICOP) (2022) 2(1) 15-25.

Kaplan, S., Bradley-Geist, J. C., Ahmad, A., Anderson, A., Hargrove, A. K., & Lindsey, A. (2014). A test of two positive psychology interventions to increase employee well-being. Journal of Business and Psychology, 29. (3), 367–380. 

Lin, C.-C. (2015). Impact of gratitude on resource development and emotional well-being. Social Behavior and Personality: An International Journal, 43(3), 493–504.

Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1991). A three-component conceptualization of organizational commitment. Human Resource Management Review, 1. (1), 61–89. 

Rusdi, A., Sakinah., Bachry, N. B., Hasibuan, M. A. I. (2021). The Development and Validation Of The Islamic Gratitude Scale (IGS-10). (2021). Psikis: Jurnal Psikologi Islami, 7(2), 120-142. https://doi.org/10.19109/psikis.v7i2.7872 

Watkins, P. C., Uhder, J., & Pichinevskiy, S. (2015). Grateful recounting enhances subjective well-being: The importance of grateful processing. The Journal of Positive Psychology, 10. (2), 91–98.