Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025
Implementasi syahadat dan salat dalam pernikahan
Ratna Syifa’a Rachmahana
Mengawali pernikahan bagi seorang muslim ditandai dengan ritualitas ijab qobul, dimana seorang laki-laki mengucapkan ikrar dengan wali dari pihak perempuan. Ikrar ini sebetulnya merupakan perjanjian luhur didepan Allah swt dengan disaksikan oleh dua orang saksi yang tercatat dan (setidaknya) 40-an saksi yang lain. Mitsaqon gholidzo adalah istilah di dalam al-Qur’an yang sering dipakai untuk menggambarkan betapa perjanjian luhur dalam pernikahan adalah setara dengan perjanjian luhur antara nabi Musa dengan Allah swt di bukit Tursina. Dengan demikian ijab qobul bukan hanya sekedar melafalkan kalimat “Saya nikahkan…..“ dan jawaban “ Saya terima nikahnya…..” namun sesungguhnya aktivitas ini bisa menjadi penanda kesaksian atau syahadat.
Sebagaimana syahadat, kita mengaku hanya ada SATU TUHAN dan mengaku Muhammad saw sebagai utusan-Nya. Dalam ijab qobul juga kita mengikrarkan hati, pikiran dan diri kita untuk bersama menjalankan ibadah dengan pasangan dalam sebuah ikatan yang bernama keluarga. Bersama istri, seorang suami akan lebih sempurna ibadahnya; begitu juga sebaliknya. Perjalanan ibadah bersama ini diharapkan memunculkan perasaan tenang, penuh cinta dan kasih sayang yang biasa disebut sebagai keluarga sakinah mawaddah penuh rahmat.
Hal-hal yang mengikuti proses ijab qobul atau perjanjian luhur seringkali banyak pernak- pernik, baik pra- maupun pasca- proses ijab qobul. Sebut saja dalam budaya Jawa misalnya ada acara lamaran, siraman, temon, dan lain-lain. Di dalam budaya lain prosesnya juga hampir sama, dari yang sederhana sampai ritual yang lebih kaya dan lebih lama. Pada akhirnya kita memaknainya sebagai sebuah upaya pemantapan dalam memilih pasangan, pembersihan hati, dan penguatan niat.
Bersyahadat sesungguhnya adalah kita memilih menjadi seorang muslim, yang diharapkan dilakukan dengan sadar dan penuh kemantapan. Hal ini dibuktikan sesaat sebelum seorang laki-laki melafalkan ijab qobul, pengampu acara (biasanya ulama atau petugas KUA) mengajak kedua pihak yang akan proses ijab qobul untuk melafalkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu. Idealnya berikrar untuk menikah juga dilakukan dengan muatan yang sama, bukan hanya didasari oleh cinta, apalagi karena terpaksa. Seorang laki-laki memilih dan siap menjadi suami; sementara yang dinikahi juga memilih untuk menerimanya dengan mantap sebagai istri. Sejak saat itu, berlaku hak dan kewajiban masing-masing, yang semestinya ditaati dengan penuh tanggung jawab. Inilah komitmen, sesuatu yang harus ada, sebelum cinta.
Mengapa cinta tidak diutamakan? Karena ada beberapa pasangan yang bahagia perkawinannya sampai tua bisa mengawali pernikahannya tanpa rasa cinta. Dalam proses keikhlasannya dalam menikah, justru perasaan cinta baru muncul sesudahnya. Sementara itu, sering ditemui pasangan yang awalnya merasa siap menikah dengan mengandalkan rasa cinta, ternyata itu tidak cukup kuat untuk mempertahankan keutuhan keluarga yang dibangun.
Rukun Islam yang kedua adalah Sholat. Sholat adalah tiang agama, sebuah bentuk ibadah yang jelas menjadi manifestasi syahadat yang utama.
sholat bisa dimaknai sebagai sebuah KOMITMEN yang terus menerus dibangun oleh setiap pasangan untuk menjaga amanah berkeluarga. Dikatakan sholat mencegah keburukan dan kemungkaran, begitu juga dengan komitmen pernikahan. Jika mereka memiliki komitmen yang baik, semua godaan tidak akan mampu merusak pernikahan. Mau ada perempuan atau laki-laki lain yang lebih menarik seperti apapun, dia tetap akan membentengi diri.
Sebagaimana godaan sholat yang sangat banyak di setiap jedanya, pernikahan juga demikian. Tidak melulu soal orang ketiga, banyak hal lain yang jika tidak diingatkan untuk kembali fokus ke keluarga, menjadi potensi menggerogoti komitmen. Bentuknya bermacam- macam, seperti kesibukan berkarir, tugas-tugas domestik atau non domestik, perubahan kondisi internal dan eksternal pasangan, dan lain-lain.
Sesungguhnya tidak ada yang abadi di dunia. Hidup itu dinamis, roda itu berputar, perubahan adalah sunnatulloh yang harus difahami dan bisa terjadi pada siapapun, kapanpun. Itulah sebabnya didalam sholat ada panggilan ADZAN, sebagai REMINDER bahwa kita adalah hambaNya yang tidak punya daya apa-apa, dan hanya kepadaNya kita berserah, Allaahu Akbar !
Sebelum sholat kita harus bersuci (bisa mandi, wudhu atau tayamum), artinya komitmen itu hanya bisa terjaga jika kondisi kita “bersih”. Bersih dari perasaan dan pikiran negatif, tentang diri dan pasangan kita. Bagaimana memupuknya ? KOMUNIKASI yang sehat. Inilah pangkal utama banyak kasus pernikahan yang terjadi selama ini. Komunikasi yang sehat bisa dilihat dari : Terbuka dalam hal apapun, saling menghargai pasangan dan saling memaafkan. Seandainya komunikasi dengan pasangan terjadi hambatan, cepat atau lambat komitmen pernikahan pun akan berkurang dan lama-lama menghilang, na’udzubillaahi min dzalik.
Dalam sholat bertaburan lafal-lafal yang merendahkan diri di hadapan Allah, memuji Allah dan bahkan kalimat syahadatain. Artinya komitmen itu tidak cukup dengan diam, apalagi menganggap pasangan sudah tahu sendiri. Pujilah pasangan jika memang dia melakukan sesuatu yang menyenangkan, berterimakasihlah,, mintalah maaf jika mengecewakannya, dan maafkan dia jika dia meminta maaf. Jangan pelit untuk mengucapkan afirmasi positif dan mengapresiasi pasangan, karena sejatinya pasangan adalah amanahNya yang harus kita jaga sepanjang hayat.
Pada akhirnya, syahadat dan sholat adalah fondasi seorang muslim. Mengacu pada kedua rukun Islam di atas, maka sebuah pernikahan pun butuh persaksian dan komitmen yang teguh. Hal-hal yang mengganggu kesetiaan setiap pelaku pernikahan, bisa diperbaiki dari kedua fondasi ini. Wallahu’alam.