Gerakan Sekolah Menyenangkan Ajak Mahasiswa Psikologi UII Pahami Tantangan Pendidikan

Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyelenggarakan kuliah praktisi mata kuliah Psikologi Positif di Sekolah pada Selasa 22 Juli 2025 lalu. Kali ini kuliah praktisi dihadiri oleh beberapa perwakilan dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Kak Alya, Kak Sekar, dan Mas Rifai, seorang guru muda yang menerapkan GSM dalam pengajarannya. Tujuan dari kuliah praktisi ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa psikologi terkait keadaan dunia pendidikan di Indonesia serta bagaimana mahasiswa dapat membantu permasalahan tersebut.

Dalam penjelasan materi, GSM menyoroti tantangan pendidikan nasional, mulai dari kesenjangan kualitas sekolah negeri, rendahnya minat belajar siswa, hingga ditunjukkannyadata Human Capital Index, dimana Indonesia menempati peringkat 96. Meskipun pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan yang terus meningkat setiap tahunnya, data internasional menunjukkan bahwa daya literasi dan numerasi siswa Indonesia masih terhitungrendah.Menanggapi permasalahan tersebut, Kak Sekar menjelaskan pentingnya untuk melihatPendidikan dari sudut pandang makrosistem. “Kalau kita bicara pendidikan, kita tidak bisa lepas dari konteks makrosistem, yaitu budaya dan kebijakan yang memengaruhi cara guru mengajar dan siswa belajar,” ujarnya.

Berdasarkan hal tersebut, GSM hadir sebagai komunitas pendidikan yang telah berdiri sejak2014 dengan tujuan menciptakan lingkungan sekolah yang ramah, inklusif, dan memanusiakan siswa. Mereka mengenalkan pendekatan “revolusi kebudayaan” yaitu perubahan utama melalui guru. “Masalah utama dalam pendidikan bukan dari fasilitas atau kurikulum, tetapi cara pikir dan perilaku dalam pendidikan.” jelas Kak Alya. GSM juga membangun jejaring guru di berbagai daerah di Indonesia untuk saling belajar, berbagi, dan mengubah pendekatan yang berpusat pada kurikulum menjadi berfokus pada kebutuhan dan potensi siswa.

Mas Rifai, guru Sejarah SMK Negeri 4 Yogyakarta yang telah menerapkan GSM, turut berbagi pengalaman pribadinya dalam memilih profesi guru. Ia mengajar di sekolah dengan mayoritas siswa berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah, banyak di antaranya berasal dari keluarga broken home bahkan hidup tanpa figur ayah. “Awalnya saya mengajar seperti guru pada umumnya: fokus menyelesaikan materi, ulangan, nilai. Namun, saya sadar siswa lebih sering bertanya ‘kapan pulang’ atau ‘kapan istirahat’ dibanding bertanya tentang materi. Dari situ saya memahami bahwa pembelajaran yang membosankan tidak akan bermakna bagi mereka,” jelasnya

Ia lalu melakukan perubahan cara mengajar, dari pendekatan kaku berbasis kurikulum menuju pembelajaran yang menghidupkan rasa ingin tahu (curiosity), imajinasi, dan keberagaman siswa. “Kurikulum itu seharusnya hidup dalam diri guru. Guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi fasilitator yang memanusiakan dan memberdayakan siswa menjadi manusia berdaulat,” tegasnya. Ia menerapkan Outing Class, dimana siswa belajar langsung di luar kelas, seperti ke museum, keraton, atau situs sejarah. Pendekatan ini terbukti meningkatkan minat belajar dan keterlibatan siswa. Menurutnya, pendidikan harus berfokus pada pembentukan manusia yang berpikir kritis dan berdaya, bukan sekadar mencetak tenaga kerja.

Menutup sesi, Kak Alya mengingatkan kutipan Tan Malaka, ‘Tidak perlu ada pendidikan tinggi jika mahasiswa tak sanggup melihat masalah bangsanya dan bekerja bersama masyarakat.’ Kuliah praktisi ini kembali mengingatkan bahwa psikologi bukan hanya sekedarilmu mengenai perilaku dan proses mental, namun juga ilmu kemanusiaan yang mengajarkan untuk memanusiakan manusia. Para mahasiswa diajak untuk tidak berhenti pada pemahaman akademik di kelas saja, tetapi juga berani bersuara, berdiskusi, dan turun langsung ke masyarakat untuk melihat realitas pendidikan di Indonesia.

Author : Muthia Nurhanifah Khairy