Kuliah Umum Mahasiswa Baru Angkatan 2015 Prodi Psikologi FPSB

Respect and Care (Menghargai & Peduli). Demikian tema yang diangkat dalam kuliah umum Mahasiswa Baru Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), Universitas Islam Indonesia (UII) yang digelar pada hari Sabtu, 12 September 2015 di GKU Prof. Dr. Sardjito, M.Ph Kampus Terpadu UII. Hadir sebagai pemateri adalah Rr. Cahya Wulandari, S.Psi.

 

Pembicara mengawali paparan materinya dengan berbagi pengalaman terkait kiprah pedulinya terhadap sesama di dunia pendidikan melalui program Indonesia Mengajar sebagai guru bantu di SD INPRES, Fak-Fak Papua Barat serta pemberdayaam masyarakat marginal terkait dengan kesehatan reproduksi, pendidikan anak jalanan, serta membangun kapasitas dan ketangguhan penyandang disabilitas.

Lebih jauh, sosok yang punya segudang pengalaman dalam berorganisasi serta tercatat sebagai bagian dari Pusat Studi Pembangunan Hukum Lokal “CLDS” Fakultas Hukum UII tersebut banyak menerangkan tentang konsep ‘manusia utuh’ dengan 5 aspek penting yang harus dimiliki, diasah dan atau dikembangkan, yakni vision (visi), human relation (hubungan), knowledge ans skill (pengetahuan dan ketrampilan), Religiousity (keagamaan) dan juga Personal Value (harga diri/nilai diri).

“Sesuai temanya respect and care mudah-mudaham mahasiswa baru (Prodi Psikologi) angkatan 2015 bisa menjadi pribadi yang menghargai orang lain, terutama adalah guru, dosen, orangtua, orang yang dituakan, temen maupun adik-adiknya. Ketika seseorang bisa menghargai orang lain, maka dia harus bisa menghargai dirinya sendiri terlebih dahulu. Selain itu, mereka juga harus peduli kepada sekitarnya bahwa ternyata masih banyak orang-orang di sekitarnya yang kurang beruntung dan membutuhkan kepedulian dari kita. Respect dan peduli dapat dilakukan dalah kehidupan di kampus juga. Selain itu kedua hal tersebut merupakan kompetensi yang dibutuhkan oleh mahasiswa psikologi”, ungkap Ka. Prodi Psikologi FPSB UII, Mira Aliza Rachmawati, S.Psi., M.Psi.

Kolokium Departemen Psikologi Klinis FPSB

Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) merupakan pengembangan dari konsep Desa Siaga yang pernah digulirkan ataupun ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 574/MENKES/SK/IV/2000. Desa Siaga sendiri merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat pada umumnya seperti kurang gizi, bencana alam, termasuk didalamnnya gangguan jiwa, dengan menafaatkan potensi masyarakat setempat secara bergotong royong. Sedangkan Desa Siagam Sehat Jiwa merupakan suatu pelayanan keperawatan kesehatan jiwa komunitas. Demikian diungkapkan oleh Herlini Utari, S.Psi., M.Psi (Psikolog Puskesmas Kalasan, Sleman, Yogyakarta) saat menyampaikan materi kolokium bidang Psikologi Klinis bertema ‘Peran Psikologi dalam Program DSSJ yang diselenggarakan oleh Prodi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Jumat, 26 Juni 2015.Lebih lanjut Herlina Utari menjelaskan tentang keterlibatan dan juga peran dari setiap komponen pendukung pelaksana program DSSJ, seperti keterlibatan dan peran Kader Kesehatan Jiwa (KKJ), keterlibatan dan peran tokoh masyarakat serta keterlibatan dan peran Tim Pemegang Program Jiwa Puskesmas (perawat, psikolog, dokter, bidang desa) termasuk pola rekrutmen seorang kader kesehatan jiwa. Khusus untuk Kader Kesehatan Jiwa (sifatnya sukarela) menurut Herlini Utari yang diutamakan adalah mereka yang mau. “Kadang banyak yang mampu, tapi mereka tidak mau”, ungkapnya.

Adapun ciri-ciri/perilaku seseorang dikatakan mengalami gangguan kejiwaan diantaranya ditandai dengan sedih berkepanjangan dalam waktu lama, berkurangnya kemampuan dalam berkatifitas sehari-hari (makan, minum, bersih-bersih), malas, marah-marah tanpa sebab, bicara atau tertawa sendiri, mengamuk, menyendiri, tidak mau bergaul, atau bahkan sampai dengan mencoba untuk bunuh diri.

Oleh karenanya, untuk menekan atau mencegah timbulnya penyakit ganggan kejiwaan tersebut, DSSJ melakukan serangkaian aktifitas/pelatihan pada kelompok-kelompok beresiko, seperti pada kelompok prolanis, kelompok Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular-POSBINDU PTM, kelompok masyarakat dengan kejadian bunuh diri, konseling kelompok korban KDRT, dan juga konseling pada kelompok remaja beresiko.

Sesi tanya jawab seputar DSSJ menjadi penutup kolokium.

Kolokium Departemen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan FPSB

Sebagai salah satu disiplin bidang ilmu yang memiliki kedekatan dengan dinamika pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) secara khusus menyelenggarakan kuliah pakar (MK. Seminar Psikologi Pendidikan) bertema Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus pada akhir April 2015 lalu di Auditorium FPSB UII. Kuliah pakar yang menghadirkan pemateri seorang ahli pendidikan siswa berkebutuhan khusus, H. Sudardjo, M.Pd tersebut setidaknya diharapkan mampu menambah pengetahuan para mahasiswa Psikologi (konsentrasi Psikologi Pendidikan) tentang layanan ataupun intervensi yang tepat terkait pendidikan bagi ABK.Definisi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang lebih luas dibandingkan dengan anak luar biasa menjadi pembuka paparan H. Sudardjo. Menurutnya, ABK adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam diri anak tersebut. ABK sendiri menurut para ahli (Heward) bisa dibagi dalam 2 kategori, yakni ABK yang bersifat permanen (akibat dari kelainan tertentu) dan ABK bersifat temporer (mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan). Untuk ABK yang bersifat temporer apabila tidak mendapatkan penanganan ataupun intervensi yang tepat dan sesuai dengan hambatan belajarnya akan sangat dimungkinkan menjadi permanen.
Adapun beberapa faktor penghambat dalam belajar mereka antara lain adalah faktor lingkungan, faktor dari dalam diri anak dan faktor kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dari dalam diri anak. Sementara dari sisi gangguan atau kelainan ABK dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek, seperti aspek fisik/motorik, misalnya cerebral palsi, polio, dan lain-lain, aspek gangguan kognitif seperti retardasi mental, ataupun anak unggul (berbakat), aspek bahasa dan bicara, aspek pendengaran, aspek penglihatan dan juga aspek sosial-emosi.
Masih menurut H. Sudardjo bahwa untuk mencapai perkembangan yang optimal, ABK membutuhkan metode, material, pelayanan dan peralatan khusus terkait dengan perbedaan dari masing-masing anak, baik dalam kecepatan belajar (memahami pelajaran) maupun cara belajar (cara memahami pelajaran). “Walaupun mereka memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak secara umum, mereka harus mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama. Hal ini dapat dimulai dengan cara penyebutan terhadap anak dengan kebutuhan khusus. Sebagian orang istilah ABK masih dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak berkelaianan atau anak penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja tidak tidak tepat, sebab pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung makna yang lebih luas, yaitu anak-anak yang memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak penyandang cacat. Mereka memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan sehingga kebutuhannya dapat dipenuhi”, ungkapnya.
H. Sudardjo juga menambahkan bahwa saat ini sedang terjadi proses tranformasi pemikiran dari konsep Pendidikan Luar Biasa/PLB (special education) ke konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education). “Terdapat perbedaan orientasi antara Pendidikan Luar Biasa/PLB dengan pendidikan kebutuhan khusus. Konsep pendidikan kebutuhan khusus saat ini dipandang sebagai sebuah pemikiran yang bersifat holistik, anak dipandang sebagai individu yang utuh, setiap anak memiliki hambatan untuk berkembang dan hambatan dalam belajar yang bervaraiasi. Menurut paham ini pembelajaran seharusnya perpusat pada anak untuk membantu menghilangkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan, sehingga kebutuhan belajar setiap anak dapat dipenuhi. Diperlukan pemahaman yang baik dan benar mengenai Anak kebutuhan khusus (ABK) dan Pendidikan Kebutuhan Khusus”, imbuhnya.
Dari uraian tersebut diharapkan setiap orang memiliki sikap positif dan pendirian tentang keragaman yang dimiliki oleh seiap anak dan merupakan sebuah kenyataan yang harus diterima dengan penuh lapang dada dan mengakomodasi pembelajaran mereka melalui sekolah.

Nuzsep Almigo, S.Psi., M.Si hadir sebagai pembicara dalam Kolokium Prodi Psikologi FPSB

Berpikir kreatif merupakan modal penting dalam melakukan konseling. Berpikir kreatif identik dengan berpikir ‘di luar kotak’ atau berpikir di luar kebiasaan atau terkenal juga dengan istilah berpikir out of the box. Hal ini disampaikan oleh salah satu alumni Prodi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) angkatan 1995 yang juga dosen Fakulti Pendidikan dan Pembangunan Manusia Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, Nuzsep Almigo, S.Psi., M.Si, dalam acara kolokium yang digelar Prodi Psikologi, Senin, 6 April 2015 di R. Auditorium Fakultas.

Dalam kolokium tersebut, selain menyampaikan materi ‘Adventure Based Counseling’ yang merupakan hasil penelitiannya dan sudah masuk dalam jurnal internasional, peserta juga diajak untuk melakukan beberapa simulasi yang bisa dilakukan sebagai media konseling.

Dr. Norbert Vajda, Hungaria hadir sebagai pembicara dalam Kolokium Prodi Psikologi FPSB

Bidang keilmuan Psikologi memang bisa diterapkan atau berperan dimana saja serta dalam bidang apa saja selama ada aktivitas manusia di dalamnya, termasuk dalam rehabilitasi masyarakat/korban bencana alam. Oleh karena itu, untuk memberikan gambaran tentang peran Psikolog dalam rehabilitasi masyarakat pasca bencana tersebut Prodi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar kuliah pakar (kolokium), Kamis, 26 Maret 2015 dengan menghadirkan Dr. Norbert Vajda asal University of Pecs, Faculty of Illyes Gyula Institute of Social Work and Welfare, Hungary.

Menurut Dr. Norbert Vajda, agar seorang Psikolog dapat diterima dengan baik oleh masyarakat (baca: dalam proses intervensi-rehabilitasi) perlu memahami nilai-nilai internal di masyarakat tersebut, berpenampilan menarik dan memiliki/menyampaikan pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Selebihnya Dr. Norbert Vajda banyak mamaparkan hasil penelitiannya terkait dengan kondisi masyarakat korban eruspi Merapi 2010 lalu, termasuk di dalamnya kondisi kelekatan/kohesivitas masing-masing komunitas (baca: masing-masing dusun) dalam satu lingkungan ‘hunian tetap’ yang sudah diberikan oleh negara tersebut. Meski dalam satu lingkungan, mereka tetap menginginkan adanya pemisahanan sesuai dengan asal dusun/daerah masing-masing

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Putra Indonesia (UPI) Padang, alumni Prodi Psikologi FPSB

Herio Rizki Dewinda, M.Psi., Psikolog merupakan alumni Prodi Psikologi (S1) dan juga lulusan Magister Psikologi Profesi (S2) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) yang saat ini mendapat kepercayaan/amanah sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Putra Indonesia (UPI) Padang. Karirnya pun terbilang cukup cepat. Usai diwisuda dan diambil sumpahnya sebagai seorang Psikolog (S2) awal Juni tahun 2013, dirinya langsung diterima sebagai dosen tetap. Kemudian pada bulan Agustus 2014 atau tepat di usianya yang ke-29 tahun dirinya mendapat kepercayaan untuk mengemban amanah sebagai Dekan. Usia tersebut 3 tahun lebih muda dari Dekan termuda di Indonesia (FE UI) yang pernah ada.

“Adanya amanah yang diberikan sekarang merupakan kepercayaan dari civitas yang memang berat jika dirasakan namun wajib untuk dilaksanakan dengan sebaik mungkin dan penuh tanggung jawab. Tentu saja dengan niat ibadah dan bekal keilmuan yang saya peroleh ketika menimba ilmu di UII serta pembelajaran secara berkelanjutan, insya Allah akan memberikan kesanggupan bagi saya dalam menjalankannya”, ungkap suami dari Ummil Khairiyah, M.Psi., Psikolog yang juga ayah dari Shanum Athifa Dekhari itu.

Selain punya hobi travelling, browsing internet dan menyukai makanan tradisional, pemilik sapaan akrab ‘Rio’ yang lahir di Tanjung Pati, 9 Agustus 1985 ini ternyata juga sangat menghargai waktu dalam hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari motto hidupnya yang sederhana namun sarat pesan; ‘Satu inchi waktu sama dengan satu inchi emas, tetapi satu inchi emas tidak bisa menggantikan satu inchi waktu’. Oleh karenanya, Rio mengajak setiap individu agar dapat memanfaatkan setiap kesempatan yang dimiliki dengan sebaik mungkin.

Proposal-s

Isikan sesuai dengan data yg benar

Pendaftaran Formulir Tugas Akhir

Kepada Mhs Tingkat Akhir Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya
Berikut disediakan formulir online untuk keperluan pendataan, silahkan diisi sesuai dengan formullir yang diajukan:

 

 

Konferensi Nasional Psikologi Islami Prodi Psikologi FPSB

Dalam rangka meng-gaung-kan konsep Psikologi Islami yang masih sedikit peminatnya, program Studi Psikologi (Psi) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) secara khusus menggelar ‘The 1st National Conference on Islamic Psychology (NCIP) dan The 1st Inter-Islamic University Conference on Psychology (IIUCP), 27-28 Februari 2015 di Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta. Hadir sebagai pembicara dalam Konferensi Nasional Psikologi Islami tersebut diantaranya adalah Prof. Dr. Anies Baswedan (Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah RI), Prof. Dr. Mahfud MD (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI sekaligus Guru Besar Tata Negara FH UII), Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr., MS (Guru Besar Patologi FK. Univ. Airlangga), Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., Psi (Direktur Program Magister Psikologi Profesi FPSB UII), Drs. Subandi, Ph.D (Ketua PP Asosiasi Psikologi Islam-API), dan H. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psikolog (dosen Prodi Psikologi FPSB UII yang konsen pada penelitian Profetik Leadership). Secara resmi kegiatan dibuka oleh Wakil Rektor I UII, Dr. Ing. Ir. Ilya Fajar Maharika, MA, IAI yang sangat mengapresiasi kegiatan tersebut.

Dalam paparannya, Prof. Anies Baswedan menegaskan perlunya membangun karakter pemimpin yang didasarkan pada sifat kepemimpinan kenabian, seperti sidik, amanah, tabligh dan fathanah. Dari sifat kepemimpinan tersebut, saat ini yang perlu ditekankan untuk didorong adalah sifat amanah. Hal ini penting dalam rangka memunculkan kembali kepercayaan antar masyarakat maupun masyarakat dengan pemimpin (pemerintah).

“Indonesia membutuhkan ikhtiar serius untuk melakukan pengembalian kepercayaan di masyarakat kita. Dan ini hanya bisa dilakukan dengan berame-rame dan jika ada kepemimpinan yang dipercaya. Maka saat ini yang mendasar untuk dimunculkan di Indonesia dari kita semua adalah AMANAH. Trust (kepercayaan) itu mungkin bisa dimunculkan dan rasanya bisa dibangun”, ungkapnya.

Lebih jauh, inspirator ‘Indonesia Mengajar’ tersebut memberikan rumusan simpel dalam membangun kepercayaan, yakni :

Trust=Competence+Integrity+Intimacy (kedekatan)-Self Interest.

“Kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang bisa dipercaya. Seorang pemimpin dia harus mempunyai follower (pengikut) yang hadir karena apa yang dikatakan dan diperbuat oleh pemimpin tersebut dipercaya. Ini hal yang paling penting untuk di dorong. Diantara keduanya haruslah ada trust. Maka seorang leader mendapat kepercayaan dari followernya untuk membuat sebuah keputusan/kebijakan. Akan tetapi jika dalam perjalanannya ada kebijakan yang salah, maka trust itu bisa ditarik dan diberikan kepada orang lain. Mengelola trust itu dibutuhkan leadership dan followership. Leader tidak akan pernah ada tanpa adanya follower. Beri waktu (kepada leader) untuk membuat sebuah kebijakan/langkah. Tidak ada sebuah langkah yang selalu bisa dinilai saat itu juga. Ini sering sekali dalam konteks keseharian kita dimana kita sering menilai seakan-akan menilai hanya dalam frame saat ini saja. Maka saya sering mengatakan bahwa saya dalam banyak hal tidak khawatir dengan opini hari ini, tapi khawatir dengan opini para sejarawan masa depan. Krn mrk akan membaca peristiwa hari ini dalam konteks waktu dan lebih jernih dalam memasukan seluruh faktor”, tambahnya.

Di akhir paparannya, Prof. Anies berharap agar ke depan akan ada proses penumbuhan kedewasaan di Indonesia, baik dalam memunculkan bibit-2 leadershipnya maupun kepemimpinan untuk memunculkan kesadaran followershipnya.

Sementara Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Mahfud MD dalam kesempatan tersebut mengkritisi kepemimpinan saat ini yang dianggap gagal, khususnya dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Menurutnya, sampai sekarang proses penegakan hukum tersebut ada kemungkinan mundur total, sementara jual beli kasus masih marak terjadi. Hal tersebut tidak terjadi di jaman rasul karena rasul menegakan hukum dengan benar. Indonesia harus belajar untuk ini.

Beliau juga menambahkan tentang kriteria seorang pemimpin yang baik, seperti beriman, berani dan bersih. Ketiganya merupakan paket yang tidak bisa dipisahkan. Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki warisan konsep kepemimpinan dari nenek moyang yang sangat baik dan sama dengan yang diajarkan oleh Islam yang disebut sebagai Hasta Brata yakni, ‘surya (matahari-ketegasan), candra (rembulan-lambang empati), kartika (bintang-memberi arah), buwana (bumi-konsisten), angkasa (lapang-terbuka terhadap kritik, masukan, informasi), bayu (angin-selalu menyejukan), banyu (air-menyuburkan/memberi harapan), geni (api-ketegasan dalam mengakan hukum). “intinya adalah itu, tapi yang terpenting adalah memang revolusi mental”, tandasnya.

Materi kepemimpinan kenabian secara lebih detil disampaikan oleh H. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psikolog yang menyampaikan hasil penelitiannya yang sudah dirintis sejak tahun 2006 silam. Menurutnya seorang pemimpin harus terlebih dahulu bisa memimpin dirinya sendiri, baru memimpin orang lain untuk mencapai tujuannya di dunia dan di akhirat dengan meneladani kepemimpinan para nabi.

Di sesi kedua, Prof. Suhartono Taat Putra menyampaikan paparan tentang peran Islam terhadap perubahan psikoneuroimunologis yang dimulai dengan bahasan tentang agama (konsepsi, persepsi, emperi), moral-akhlak, kecerdasan otak sehat, perilaku yang berkepribadian dan berkebudayaan, komposisi tubuh manusia, gaya hidup sehat, dan terapi sel panca.

Perkembangan penerapan Psikologi Islami menjadi kajian berikutnya yang disampaikan oleh ketua Asosiasi Psikologi Islami (API), Drs. Subandi yang disusul kemudian dengan paparan dari Dr. H. Fuad Nashori tentang Intervensi Psikologi Islami.

Pada hari kedua, selain menggelar presentasi ‘call for paper’ bertema ‘Psikologi Islam Menjawab Problematika Integritas, Kepemimpinan dan Kesejahteraan’, Prodi Psikologi juga menggelar workshop ‘Islamic Motivation Training’ yang diampu oleh Dr. Bagus Riyono, MA.