Hari Anak Nasional 2025 : Membangun Ruang Aman bagi Anak dari Dalam dan Luar Rumah

Peringatan hari anak setiap tahunnya menjadi bentuk pentingnya untuk memberikan ruang aman kepada anak-anak yang menjadi bakal dari calon penerus bangsa. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2025), Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan tema untuk Hari Anak Nasional (HAN) yaitu “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045.” Pemilihan tema tersebut mencerminkan tekad bangsa dalam menyiapkan generasi muda yang pintar, kuat, dan mampu bersaing guna menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Namun, perlu diingat bahwasannya untuk mensukseskan tujuan tersebut, maka perlu pembentukan karakter bagi anak-anak sedari kini.

Pembentukan karakter dapat dimulai dengan memastikan keamanan dan kenyamanan anak-anak sedari dini sebagai bentuk perhatian dalam proses tumbuh kembangnya. Salah satu fokus yang dapat diperhatikan adalah melalui kenyamanan emosional anak. Berdasarkan data SIGA (2024) terdapat 4.838 anak telah mengalami kekerasan secara psikis. Hal tersebut menjadikan bukti bahwa masih terdapat banyak kasus kekerasan secara psikis yang dialami oleh anak-anak di Indonesia. Fani Eka Nurtjahjo, S. Psi., M. Psi., Psikolog selaku Kepala Pusat Kajian Anak dan Keluarga UII (PUSKAGA UII) menuturkan perlu adanya keamanan emosional sebagai ruang aman untuk mengekspresikan perasaan tanpa takut dihakimi atau disakiti. Ini penting sebagai dasar kesehatan mental dan perkembangan sosial anak.

Fani mengajak untuk mengetahui cara menciptakan keamanan emosional terutama pada anak. “Keamanan emosional anak sendiri dapat diambil dari dua perspektif yang berkaitan, yaitu mikro pada lingkungan terdekat anak seperti rumah, keluarga, dan sekolah serta meso dan makro yang berkaitan dengan sistem dari sebuah negara yang memberi kebijakan serta peraturan perlindungan”.

Dengan mendalami setiap peranan dan tugasnya, keamanan emosional dapat dibentuk melalui banyak pihak seperti misalnya di level keluarga, peran utama ada pada orang tua. Setiap keluarga pasti memiliki konflik internal, namun hal tersebut merupakan sebuah kesempatan untuk belajar mencari resolusi masalah. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk menyediakan ruang aman secara emosional, seperti mendengarkan anak, tidak memberi label negatif, tidak menghakimi, serta berani meminta maaf dan menghargai anak. Fani juga menjelaskan, bahwasannya apabila orang tua masih memiliki luka emosional dari masa lalu, maka hal tersebut tidak dapat dibebankan dengan diturunkan kepada anak. Orang tua harus belajar dan terus upgrade kemampuan mereka, dimana menurutnya dengan menjadi orang tua merupakan sebuah peran yang membutuhkan keterampilan. Sekolah juga memegang peranan penting untuk anak dengan menyediakan sistem dukungan yang responsif terhadap masalah siswa. Anak juga perlu lingkungan dewasa yang memberi contoh baik, karena anak belajar melalui modeling.

“Kalau tidak ada ruang aman secara emosional, anak akan kesulitan memahami dan mengekspresikan emosinya. Mereka tumbuh dengan beban psikologis, tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan mereka. Jika ini tidak diselesaikan di masa kecil, akan terbawa hingga remaja dan dewasa, bahkan menjadi masalah berulang.” Jelas Fani mengenai dampak dari tidak terpenuhinya keamanan emosional anak sedari dini.

Sebagai bentuk harapan untuk Hari Anak Nasional 2025, Fani mengajak kita untuk merefleksikan diri dengan melihat masa anak-anak, sehingga kita dapat belajar dari pengalaman masa lalu, sebagai orang dewasa perlu terus belajar dan mengingat akan adanya hak-hak anak serta mengusahakan diri untuk dapat menjadi contoh baik yang dapat diandalkan. Selamat Hari Anak Nasional 2025

Author : Betania Rifaulamiri

Toreh Prestasi di Ajang MTQ-M Se-Asia Tenggara

Mahasiswi Psikologi UII Harumkan Nama Kampus di Kancah Nasional-Internasional

Saya Fatimah Az Zahra, mahasiswi Psikologi angkatan 2022 di Universitas Islam Indonesia. Perjalanan perkuliahan saya selama ini tak hanya tentang kelas dan tugas-tugas akademik. Di balik buku catatan dan jurnal psikologi, ada bagian dari diri saya yang tumbuh bersamadengan lantunan ayat-ayat suci. Tahun 2025 tentunya menjadi momen yang tak terlupakan. Alhamdulillah, saya diberikan kesempatan mewakili kampus dalam ajang Musabaqoh HifdzilQur’an (MHQ) 20 Juz tingkat nasional dan internasional se-Asia Tenggara di Universitas Jambi—dan dengan izin Allah, saya berhasil meraih Juara 3.

Pernah nggak terpikir bagaimana rasanya jadi mahasiswa sekaligus penghafal Qur’an? Yuk, telusuri buku harian saya melalui tulisan ini! Tentang perjalanan awal, proses perjuangansampai dengan makna dari prestasi itu sendiri, siapa tahu kamu menemukan semangat barudari kisah ini.

Awal dari Segalanya: Bersama Al-Qur’an Sejak Usia Dini

Melekat di pikiran, momen saat pertama kali diminta ikut lomba FASI oleh orang tua. Waktu itu saya masih TK, belum begitu paham apa itu lomba, tapi di saat bersamaan sejak saat itupula, Al-Qur’an menjadi sesuatu yang begitu dekat di hati. Saya bersekolah di lingkunganyang menekankan pada hafalan Qur’an sejak dini, dan dari situlah rasa cinta terhadap ayat-ayat suci semakin dalam.

Seiring berjalannya waktu, sempat terdapat jeda di bangku SMP dan SMA, di mana sayatidak aktif mengikuti perlombaan lagi. Namun, ketika mulai berkuliah di Psikologi UII, sayamerasa seperti menemukan kembali semangat yang telah lama hilang. UII memberidukungan berupa ruang bagi mahasiswa untuk berkembang, termasuk dalam bidangkeagamaan melalui kemahasiswaan dan TQFI. Terdapat nasihat dari guru saya yang hinggasaat ini saya pegang, “Orang yang memuliakan Al-Qur’an, insyaAllah akan dimuliakan.”Kalimat itu melekat sampai dengan hari inimenjadi motivasi utama saya untuk menjadikanAl-Qur’an sebagai bagian dari hidup yang tak hanya dibaca, namun juga dipahami dan disyiarkan.

Antara Kuliah dan Murojaah: Menyulam Waktu, Menjaga Hafalan

Kehidupan perkuliahan sebagai mahasiswi Psikologi menjadi tantangan terbesar saya dalammembagi waktu antara kuliah dan latihan, serta menjaga semangat untuk tetap konsisten. Persiapan lomba biasanya menyesuaikan dengan cabang perlombaan yang diikuti, untukMHQ sendiri dilakukan murojaah secara rutin karena hal ini sudah menjadi kewajiban. Di samping itu juga, saya mengikuti pembinaan dari TQFI secara rutin. Teruntuk cabang bereguseperti MFQ, kami juga menyempatkan latihan mandiri dan diskusi. Maka hal yang dapatsaya lakukan, ialah membuat jadwal sederhana namun konsisten, selalu minta doa dari orang tua, dan memohon taufiq dari Allah. Saya juga selalu mengingatkan diri bahwa ini bukansekadar lombamelainkan diniatkan sebagai bagian dari dakwah.

Makna Sebuah Prestasi: Lebih dari Sekadar Gelar

Mengikuti kompetisi tingkat nasional dan internasional di Universitas Jambi adalahpengalaman tak terlupakan. Tidak hanya bertanding, tetapi juga memperluas relasi dan bertukar wawasan dengan peserta lainnya. Bagi saya pencapaian bukan hanya soal menangmaupun kalah, mencakup proses yang harus dijalani, di mana kita diajarkan untuk konsisten, sabar, dan rendah hati jika diizinkan Allah untuk memperoleh gelar juara. Saya meyakinibahwa ini adalah bagian dari syiar, karena jika belajar adalah ibadah, maka meraih prestasiadalah jalan dakwah.

Saat nama saya diumumkan sebagai Juara 3 MHQ 20 Juz, ada rasa haru yang sulitdigambarkan. Tapi, bagi saya, juara itu bukan tujuan utama. Yang paling berharga adalahprosesnyabelajar untuk sabar, tetap rendah hati, dan terus memperbaiki diri. Saya percaya, ketika belajar adalah ibadah, maka berprestasi pun adalah bagian dari dakwah.

Untuk teman-teman mahasiswa Psikologi dan siapa pun yang sedang berjuang menemukanjalannya, jangan takut untuk mencoba. Jangan ragu untuk memulai, meski melalui langkahkecil. Setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda. Gali dan tekuni minat maupun bakatyang dimiliki, dan jangan lupa untuk selalu melibatkan Allah di setiap prosesnya.

Saya berharap, ke depan akan ada lebih banyak mahasiswa yang berani mengambilkesempatan dan mengisi waktunya dengan kegiatan yang positif. Terima kasih sayasampaikan untuk keluarga, guru, dosen, teman-teman, dan kampus tercinta UII. Semuapencapaian ini tak akan terjadi tanpa doa dan dukungan kalian.

Prestasi bukanlah akhir, melainkan awal dari tanggung jawab. Alhamdulillah, semogalangkah kecil ini dapat menjadi cahaya yang menerangi jalan dakwah kedepannya.

Author: Andara Azzahra

Mencipta Jalan Tanpa Batas: Nur Fatia Azzahra dan Jejak Karier dari Psikologi UII

Pernahkah terlintas di benakmu, sejauh mana keyakinan bisa membawa kita melampaui batas diri?

Bagi Fatia, jawabannya terletak pada tiap langkah yang ia ambil. Siapakah dia? Di balik seragam dinas yang gagah, terdapat kisah luar biasa dari seorang perempuan yang menjadikan keterbatasan sebagai sumber kekuatan. Nur Fatia Azzahra adalah alumni Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII), yang kini berkarier sebagai BA di Bagian Psikologi Biro SDM Polda Kepulauan Bangka Belitung. Tentu bukan perjalanan yang mudah bagi Fatia untuk sampai ke titik ini, justru di sinilah letak keistimewaannya, ia melangkah dengan semangat yang tak pernah padam.

Terlahir dengan disabilitas fisik, awalnya menyebabkan Fatia mengalami fase penyesuaian, tak hanya oleh dirinya, melainkan oleh keluarganya yang juga belajar menerima kenyataan tersebut. Seiring berjalannya waktu, penerimaan diri hingga kepercayaan diri mulai terbentuk.

“Disabilitas memang membawa tantangan, tetapi saya memilih untuk tidak menjadikannya sebagai hambatan. Justru saya ingin membuktikan bahwa saya juga bisa berdaya dan mandiri,” ungkapnya.

Melalui perjalanan itulah tumbuh keteguhan hati, kesabaran, dan kekuatan untuk terus melangkah. Fatia pun menjadi lebih terbuka untuk membantu orang lain yang memiliki kondisi serupa, karena ia tahu persis bagaimana rasanya. Meskipun ada keterbatasan, Fatia percaya bahwa dirinya tetap memiliki banyak potensi dan pantas untuk terus berkembang.

Psikologi UII: Tempat Belajar dan Bertumbuh

Ketertarikannya pada emosi, perilaku, dan cara berpikir manusia membawa Fatia ke Psikologi UII. Bukan hanya karena reputasinya yang baik dan suasananya yang Islami, di dalamnya juga  Fatia menemukan nilai kemanusiaan yang kuat dijunjung di sana. “Saya merasa Psikologi UII adalah tempat yang tepat untuk belajar secara akademik sekaligus membentuk karakter,” ungkap Fatia.

Sebagai mahasiswa disabilitas, Fatia dihadapkan dengan tantangan nyata seperti mobilitas, ruang kelas di lantai atas, hingga kekhawatiran terkait ritme belajar. Meski demikian, lingkungan kampus membuktikan bahwa inklusi bukan hanya seruan belaka. Fasilitas seperti jalur landai dan lift, fleksibilitas dalam pengaturan ruang kelas, serta keterbukaan dosen terhadap penyesuaian belajar, membuat Fatia merasa dihargai dan dapat berkembang tanpa harus merasa berbeda dari yang lain. Di tengah keterbatasan tersebut, Fatia juga tetap aktif dalam akademik, menjalin relasi yang baik dengan teman dan dosen, hingga belajar berkomunikasi serta menyampaikan terkait kebutuhannya secara asertif.

Meniti Karier: Proses yang Tak Mudah Namun Bermakna

Selepas lulus, Fatia mencoba berbagai kesempatan, baik itu mengikuti pelatihan, magang, hingga freelance. Dari pengalaman itulah ia belajar mengelola waktu, menjalin komunikasi efektif, dan kemampuan bekerja sama dalam tim. Prosesnya tidaklah mudah, namun tiap langkah kecil tersebut mampu mengantarkannya pada tujuan, sampai pada titik ini.

Menjadi penyandang disabilitas membawa tantangan tersendiri di dunia kerja. Masih ada pandangan yang keliru, seperti timbulnya anggapan bahwa kondisi fisik yang dimiliki membatasi kemampuan. Tantangan lainnya datang dari sisi teknis, misal aksesibilitas tempat kerja dan fasilitas yang belum sepenuhnya ramah disabilitas. Namun, berbagai tantangan tersebut justru menjadi pemantik semangat bagi Fatia untuk terus membuktikan bahwa ia mampu.

“Saya terus belajar, berkembang, dan yang terpenting—saya percaya diri dengan kemampuan yang saya miliki.” Tukasnya.

Psikologi Mengajarkan Penerimaan Diri, Bukan Menuntut Kesempurnaan

Fatia beranggapan bahwa ilmu psikologi bukan sekadar alat bantu untuk memahami orang lain, melainkan jembatan menuju penerimaan diri. Ia menyadari bahwa tiap orang mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Berangkat dari pemikiran itu pula ia belajar untuk lebih berdamai dengan diri sendiri dan tidak terlalu keras menuntut kesempurnaan. Disabilitas mengajarkan Fatia banyak hal, tidak sekadar soal keterbatasan fisik atau kondisi medis, melainkan bagian dari identitas dirinya. Ia melihat disabilitas sebagai warna hidup yang membentuk pribadinya menjadi sosok yang kuat dan peka terhadap sekitar.

Adapun salah satu momen paling berkesan dalam hidupnya, yakni saat pertama kali ia berani tampil di depan publik dan membagikan kisah hidupnya. Dari pengalaman itu, ia menyadari bahwa keterbukaan dan penerimaan diri adalah kekuatan. Tak harus sempurna terlebih dahulu untuk bisa bermanfaat bagi sekitar.

Teruntuk teman mahasiswa, terutama yang tengah berjuang dengan keterbatasan atau kondisi sulit, Fatia berpesan bahwa kalian tidak sendiri. “Kita semua punya ujian hidup yang berbeda-beda, tapi itu bukan alasan untuk berhenti bermimpi. Jangan takut untuk meminta bantuan, dan jangan ragu untuk percaya pada diri sendiri. Prosesnya memang tidak selalu mudah, tetapi kalian lebih kuat dari yang kalian kira,” lanjutnya.

Ia juga mengajak khalayak ramai untuk membuka ruang dialog dan edukasi terkait disabilitas dan keberagaman sebagai langkah awal terciptanya lingkungan yang inklusif, yang di mana inklusivitas bukan sekadar fasilitas fisik, tetapi juga tentang sikap terbuka dan rasa saling menghargai.

Melalui kisahnya, kita belajar bahwa jalan tidak selalu mudah—selama ada keberanian untuk melangkah maka tidak ada yang mustahil untuk dilewati. Fatia adalah bukti nyata bahwa keterbatasan bukan akhir cerita, melainkan bagian awal dari kisah luar biasa.

 

Author: Andara Azzahra

 

Yudisium Bulan JuLi 2025

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Berikut informasi terkait pelaksanaan Yudisium Bulan Juli 2025

Timeline :
26 Juli : Penutupan Yudisium
28 Juli : Undangan yudisium
29 Juli : Pelaksanaan yudisium

Dihimbau kepada peserta untuk hadir tepat waktu pada saat Yudisium. Keterlambatan kedatangan dapat menyebabkan peserta akan dikutkan Yudisium pada bulan berikutnya.

Jangan sampai terlewat ya!
Siapkan waktu dan diri anda sebaik mungkin! ⭐️

Penjajakan Kerjasama Antara Fakultas Psikologi UII dengan Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir

 

Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) melakukan kunjungan kerja ke Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir para Rabu, 11 Juni 2025 dalam rangka menjajaki peluang kerjasama di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Delegasi kunjungan ini terdiri dari lima dosen psikologi, yaitu Ibu Dr.Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Psikolog, Ibu Resnia Novitasari, S.Psi., M.A., Ibu Annisaa Miranty Nurendra, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Ibu Hazhira Qudsyi, S.Psi., MA., dan Ibu Dr. Nita Trimulyaningsih, S.Psi., M.Psi., Psikolog. Delegasi Fakultas Psikologi UII disambut lansung dengan hangat oleh Wakil Bupatu Ogan Ilir, H. Wardani, S.H., M.H., beserta dengan seluruh jajarannya.

Dalam diskusi yang berlansung, ada lima poin bahasan yang telah dibahas dengan Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir, yaitu :

  1. Pengenalan Program Studi Psikologi di Fakultas Psikologi

Delegasi Fakultas Psikologi UII memperkenalkan program studi psikologi di Fakultas Psikologi UII, mulai dari Sarjana, Profesi Psikolog, hingga Magister Psikologi.

  1. Peluang Studi Lanjut bagi ASN

Membuka peluang bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Ogan Ilir untuk melanjutkan studi ke jenjang Magister Psikologi UII.

  1. Peluang Beasiswa Pendidikan

Fakultas Psikologi UII juga menyampaikan informasi mengenai berbagai peluang beasiswa yang tersedia di semua jenjang pendidikan, mulai dari Sarjana, Profesi Psikologi, hingga Magister Psikologi.

  1. Tindak Lanjut MoU

Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) akan dilakukan oleh kedua belah pihak di Yogyakarta.

  1. Peluang Kerja Sama Pengabdian Masyarakat, Penelitian, dan Dakwah Islamiah

Diskusi juga membahas adanya potensi kerjasama di bidang pengabdian kepada masyarakat, penelitian, dan dakwah islamiah

Pertemuan ini menjadi langkah awal kolaborasi positif baik bagi Fakultas Psikologi UII maupun Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir, untuk membawa kemajuan dalam bidang pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, serta dakwah islamiah

Author : Muthia Nurhanifah Khairy

Psikologi UII Bersinergi bersama International Biocentric Research Academy (IBRA)

Dengan adanya upaya pengembangan alat ukur Biocentric Health Questionnaire dalam Bahasa Indonesia, Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII dan International Biocentric Research Academy (IBRA) mengadakan penandatanganan Memorandum of Agreement (MoA) pada Selasa, 27 Mei 2025 di gedung Dr. Soekiman Wirjosandjojo lantai 4. Kegiatan tersebut dihadiri oleh Prof. Dr. rer. nat. Habil Marcus Stueck selaku Direktur IBRA, Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Psikolog selaku Dekan FPSB, Nizamuddin Sadiq, S.Pd., M.Pd., Ph.D sebagai Wakil Dekan Bidang Keagamaan FPSB, Kemahasiswaan dan Alumni, Resnia Novitasari S.Psi., M.A. selaku Wakil Dekan Bidang Sumberdaya FPSB serta Dr.rer.nat. Dian Sari Utami, S.Psi., M.A. Direktur Kemitraan/Kantor Urusan Internasional UII.

 

Selain itu, kegiatan tersebut turut dihadiri delegasi dari Pimpinan Jurusan dan Prodi Psikologi, yakni Sonny Andrianto, S.Psi., M.Si., Ph.D sebagai Ketua Jurusan Psikologi, Annisaa Miranty Nurendra, S.Psi., M.Psi. Psikolog sebagai Sekretaris Jurusan Psikologi, Hazhira Qudsyi, S.Psi., M.A. sebagai Ketua Prodi Psikologi Program Sarjana, Thobagus Mohammad Nu’man, S.Psi., Psi., M.A. selaku Sekretaris Prodi Psikologi Program Sarjana, serta Dr. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psi. selaku Ketua Prodi Psikologi Profesi Program Magister, dan Dr. Ahmad Rusdi, S.Psi., S.Sos.I., M.A., Si. sebagai Kepala Laboratorium Psikologi. Hasil dari adanya kesepakatan antara dua belah pihak adalah terbentuknya rencana implementasi kerjasama UII dan IBRA yaitu kolaborasi penelitian yang kedepannya akan dikoordinasikan oleh Kepala Laboratorium Psikologi UII. Tidak hanya itu, direncanakan juga akan diselenggarakan program visiting professor atau dosen tamu pada program studi di bawah Fakultas Psikologi UII di masa mendatang.

 

Kehadiran Prof Marcus tidak hanya untuk melakukan diskusi kerjasama dan penandatangan MoA, namun juga mengisi beberapa kegiatan di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII. Kegiatan pertama adalah Workshop Current Issues on Biocentric Health Research dengan peserta dosen-dosen Fakultas Psikologi UII bertempat di Laboratorium Klasikal. Kegiatan kedua adalah terlaksananya kuliah tamu atau visiting professor dengan Jurusan Psikologi UII yang dilaksanakan di Auditorium gedung Dr. Soekiman Wirjosandjojo lantai 3. Kuliah tamu diselenggarakan dengan topik pembahasan mengenai “Biocentric Health Theory” oleh Prof. Dr. rer. nat. Habil Marcus Stueck sebagai pemateri dan didampingi oleh Bapak Nur Widiasmara S.Psi., M.Psi., Psikolog sebagai moderator selama acara berlangsung. Prof Marcus membagikan informasi mulai dari isu yang dibawakan, hasil penelitian, hingga hubungan teori dengan Psikologi Islam. Ketiga, diselenggarakannya kegiatan diskusi riset antara Prof Marcus dan dosen-dosen Program Studi Psikologi UII. Pada diskusi riset ini, dibahas beberapa rencana riset kolaborasi yang akan diselenggarakan di masa mendatang antara IBRA dan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.

 

Kerja sama antara Fakultas Psikologi UII dan International Biocentric Research Academy (IBRA) ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat jejaring internasional dan kontribusi keilmuan di bidang psikologi, khususnya dalam pengembangan pendekatan biocentric health. Melalui berbagai kegiatan yang telah diselenggarakan, seperti penandatanganan MoA, workshop, kuliah tamu, dan diskusi riset, diharapkan sinergi ini dapat mendorong lahirnya penelitian kolaboratif yang relevan dengan konteks keilmuan dan keislaman, serta memperkaya proses akademik di lingkungan Program Studi Psikologi UII. Kolaborasi ini tidak hanya menjadi tonggak penting dalam internasionalisasi program studi, tetapi juga membuka ruang yang lebih luas bagi pertukaran gagasan dan penguatan kapasitas dosen dalam menghadirkan inovasi keilmuan yang berdampak nyata.

 

 

Author : Betania Rifaulamiri

Pendampingan Persiapan Presentasi International Conference on Indigenous and Cultural Psychology (ICICP) 2025

Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) baru saja menyelenggarakan pendampingan persiapan presentasi bagi dosen/mahasiswa yang akan mempresentasikan karya dalam ajang International Conference on Indigenous and Cultural Psychology (ICICP) 2025. Acara berlangsung pada tanggal 15 Mei 2025 ini dihadiri oleh beberapa dosen Psikologi dan mahasiswa, bertujuan untuk memberikan insight, pendampingan, serta pengarahan langsung oleh salah satu pakar dalam submisi karya ilmiah pada ICICP di bulan Agustus 2025 yang akan datang.

Kegiatan ini diisi oleh salah satu pakar yang berasal dari Inha University, Korea Selatan, Profesor Uichol Kim. Beliau menyampaikan berbagai strategi dalam proses membuat sebuah penelitian/karya ilmiah. Dalam sesi tersebut, partisipan diajak untuk menemukan cause atau akar dari perilaku manusia dan juga mendorong kerjasama antar sesama ketika akan melakukan suatu penelitian. Pakar juga mengajak partisipan untuk terjun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan berbagai individu, dan mengamati kehidupan mereka secara nyata melalui travelling. Dari pengalaman tersebut, akan tumbuh pemahaman dan inspirasi untuk penelitian yang lebih kuat dan autentik kedepannya.

Melalui diskusi, para mahasiswa dan dosen berkesempatan untuk mengemukakan tema penelitian yang tengah atau akan mereka kerjakan. Dalam sesi ini, Profesor Uichol Kim memberikan umpan balik, saran yang membangun, serta pendekatan yang strategis yang dapat diterapkan dalam proses penelitian.

Salah satu dosen Psikologi UII, Muhammad Novvaliant Filsuf Tasaufi, S.Psi., M.Psi., Psikolog turut mengungkapkan insight yang diperoleh, “Terutama terkait tema penelitian ya. Aspek yang diberikan oleh Prof. Kim memberikan gambaran yang lebih mencerahkan. Intinya adalah diskusi kemarin itu  memberi wawasan yang sangat luas, sehingga memberikan masukan yang relevan”.

Sementara itu, mahasiswi Psikologi S2 UII, Frischa Ayu Yolissia turut menyampaikan pembelajaran yang didapat melalui kegiatan ini, “Ketika mau melakukan penelitian, lihat budaya tempat penelitian kita. Karena partisipan itu dipengaruhi banyak variabel yang tidak kita ukur. Misal seperti Indonesia, nah itu kan budayanya berbeda dengan barat. Jadi kita perlu menyesuaikan hal apa yang menjadi perbedaan. Satu lagi, kalau mau melakukan penelitian, kita juga harus benar-benar tahu pertanyaan apa yang ingin kita dapatkan jawabannya. Sehingga penelitian akan ada framework dan sesuai dengan teori”.

Dengan berbagai masukan dan strategi yang diberikan melalui kegiatan ini, diharapkan mampu memberikan sudut pandang baru kepada dosen dan mahasiswa serta dapat membantu mereka dalam menyempurnakan desain penelitian masing-masing.

 

Mengenal Skizofrenia Lebih Dekat: Memahami Ruang Realita yang Tak Terlihat

 

Skizofrenia kini tak lagi asing dalam perbincangan, terutama di media sosial. Namun dibalik meningkatnya perhatian publik, masih banyak stigma yang menyelimuti hingga menimbulkan jarak sosial terhadap para penderita. Melalui artikel ini, kita akan mengenal lebih jauh mengenai skizofrenia dan dinamika keseharian para penyintas melalui kacamata seorang praktisi klinis sekaligus pengajar.

Skizofrenia adalah gangguan mental yang tergolong kronis dan berat, yang memengaruhi cara individu berpikir, merasakan, dan berperilaku. Menurut DSM-5, skizofrenia ditandai oleh adanya dua atau lebih gejala psikotik yang berlangsung dalam periode satu bulan, dengan gejala wajib meliputi delusi, halusinasi, atau gangguan bicara yang tidak teratur. Adapun gejala lainnya, mencakup perilaku motorik yang sangat kacau atau katatonik, dan gejala negatif seperti apati atau afek datar, alogia, serta avolisi. Agar diagnosis dapat ditegakkan, gejala ini harus berlangsung secara intens dalam kurun waktu setidaknya enam bulan dan menyebabkan gangguan signifikan dalam fungsi sosial.

Berdasarkan prevalensi data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO), skizofrenia memengaruhi sekitar 24 juta jiwa di seluruh dunia, atau sekitar 1 dari 300 orang secara global. Mengacu pada data yang dirilis oleh Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2023, sebanyak 6,1% penduduk di Indonesia dengan rentang usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental, skizofrenia menjadi salah satu di antaranya. Hal ini juga diperkuat dengan tingginya data prevalensi skizofrenia di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yakni 9,3% berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Tingginya tingkat prevalensi ini memerlukan perhatian khusus nan serius, sebab skizofrenia merupakan gangguan mental berat yang tentunya akan memengaruhi berbagai aspek kehidupan.

Hingga saat ini penyebab dari skizofrenia masih diteliti, dan gangguan ini dipengaruhi oleh berbagai pemicu yang bersifat multifaktoral. Secara biologis, skizofrenia dapat dipicu oleh faktor genetik, seperti kelainan pada struktur otak hingga ketidakseimbangan pada neurotransmitter. Selain itu faktor psikogenik dan sosial juga turut menyumbang peran, seperti peristiwa traumatis yang mendalam sampai dengan paparan stressor lingkungan yang berat.

Umumnya gejala skizofrenia terbagi menjadi dua kelompok utama, yakni gejala positif dan gejala negatif. Sebutan “positif” bukan berarti hal baik, melainkan karena adanya tambahan terhadap perilaku normal. Contohnya, yaitu halusinasi, seperti mendengar suara yang sebenarnya tidak ada, atau delusi, yaitu keyakinan yang keliru tidak sesuai dengan kenyataan, seperti merasa sedang dikejar-kejar orang lain meski nyatanya tidak terbukti. Tak hanya itu, individu dengan skizofrenia juga dapat mengalami kekacauan dalam berpikir maupun berbicara, sehingga akan sulit untuk memahami apa yang dibicarakan karena pembicaraan cenderung tidak runtut dan membingungkan. Sementara gejala negatif, menunjukkan kurangnya kemampuan normal yang dimiliki dalam menjalani keseharian. Sebagai contoh, seseorang menunjukkan ketidaktertarikan untuk berinteraksi, mengekspresikan emosi, dan kehilangan minat maupun motivasi untuk melakukan rutinitas sekalipun, seperti mandi dan makan.

Pernahkah terpikirkan olehmu, bagaimana jika realita yang kamu jalani justru dianggap tak masuk akal oleh orang lain? Bagi orang dengan skizofrenia (ODS), hal semacam ini bukan sekadar kemungkinan, melainkan bagian dari kenyataan yang mereka hadapi tiap harinya. Menjalani hidup sebagai orang dengan skizofrenia (ODS) bukanlah hal yang mudah.  Muhammad Novvaliant Filsuf, turut memberikan pandangan dan pengalamannya sebagai seorang dosen sekaligus praktisi klinis.

“Kehidupan yang dijalani oleh individu atau orang dengan skizofrenia (ODS) menjadi berat karena realita yang diyakini tidak sesuai dengan realita sebenarnya,” ungkapnya saat diwawancara, Rabu, 21 Mei 2025.

Ketidaksesuaian tersebut menimbulkan permasalahan terhadap kehidupan sosial mereka. Tak jarang ODS mengalami kesulitan ketika harus berinteraksi dengan orang lain, terutama saat gejala seperti waham atau halusinasi muncul. Kondisi seperti ini kerap menjadi pemicu yang menguatkan stigma negatif terhadap individu dengan skizofrenia. Novvaliant lanjut menjelaskan bahwa kondisi emosional harian juga dapat menimbulkan gejala tertentu, seperti kemunculan suara-suara bisikan dalam pikiran. Meskipun hal semacam ini bisa terjadi pada siapa saja dalam situasi ekstrem, jika dibandingkan dengan orang normal, perbedaannya terletak pada intensitas serta kemampuan orang dengan skizofrenia dalam merespon suara-suara tersebut.

Novvaliant juga menyoroti tantangan yang dialami tidak hanya dihadapi oleh penderita, tetapi juga orang di sekitarnya. Kemunculan gejala dan kaburnya kontak dengan realita menyebabkan terhambatnya proses komunikasi serta interaksi sosial. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat, umumnya penanganan terhadap orang dengan skizofrenia mencakup kombinasi antara pengobatan medikamentosa, psikoterapi, dan rehabilitasi psikososial. Di mana obat antipsikotik menjadi dasar dalam membantu mengurangi gejala seperti halusinasi dan waham. Sementara psikoterapi membantu individu untuk memahami kondisi mereka dan mengelola stress. Rehabilitas psikososial juga penting untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan skizofrenia.

Dalam praktik klinisnya, Novvaliant melihat bahwa pendekatan yang efektif dalam menangani klien dengan skizofrenia tidak hanya bertumpu pada individu itu sendiri, melainkan juga pada lingkungan terdekatnya. Menurutnya, dukungan sosial—terutama dari keluarga—berperan penting dalam menjaga keberfungsian harian orang dengan skizofrenia. Pendekatan yang dimulai dari penguatan sistem dukungan, seperti penerimaan, kesabaran, dan regulasi emosi, menjadi dasar yang penting dalam proses pemulihan. Melalui pengalamannya menangani klien, Novvaliant merefleksikan kesehatan mental adalah anugerah yang seringkali luput dari kesadaran. Ia juga turut mengajak kita untuk lebih mengerti tanpa menghakimi karena setiap individu berhak mendapatkan ruang untuk dimengerti dan dihargai.

Selamat Hari Skizofrenia Sedunia. Mari Bersama menciptakan ruang aman bagi jiwa-jiwa yang sedang berjuang.

Author: Andara Azzahra

 

Tiga Dekade Prodi Psikologi UII : Membangun Kepedulian Lewat Kegiatan Bakti Sosial

 

Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia bersama dengan Himpunan Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Indonesia baru-baru ini telah melaksanakan kegiatan bakti sosial dalam rangka tiga dekade program studi psikologi UII. Momen kegiatan ini dimaksudkan untuk dapat mempererat hubungan antara komunitas akademik dengan lingkungan masyarakat melalui aktivitas yang bermanfaat dan bermakna.

 

Acara bakti sosial ini dilaksanakan pada Sabtu, 10 Mei 2025  di Panti Asuhan Diponegoro Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta yang dihadiri oleh Pimpinan Program Studi, Dosen-Dosen, Pengurus Himpunan Mahasiswa Program Studi Psikologi UII, serta komunitas yang berada di bawah naungan Hima Psikologi UII yaitu Adarma, bersama dengan anak-anak panti sebanyak 180 orang.

 

Rangkaian acara ini dimulai sejak pukul 09.40 dan dibuka dengan sambutan oleh Kaprodi Psikologi UII dan pembina panti asuhan. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan materi keislaman, doa bersama, serta tasyakuran. Acara puncak ditandai dengan pemberian donasi kepada pihak panti asuhan secara simbolis dan ditutup dengan sesi foto dan makan bersama.

 

Salah satu pengurus panti asuhan, Bapak Muhammad Zaidun, juga mengungkapkan rasa terima kasihnya, “Kami warga panti asuhan Diponegoro juga berbahagia karena anak-anak ini dapat menuai keilmuan bersama kakak-kakak dari psikologi, juga menambah motivasi”.

 

Sementara itu, Kaprodi Psikologi, Ibu Hazhira Qudsyi juga menyampaikan bahwa konsep rahmatan lil alamin, rasa syukur, dan ikatan silaturahmi menjadi values yang ingin ditanamkan pada kegiatan ini.

 

“Kegiatan ini adalah bagian dari bentuk syukur atas nikmat yang sudah Allah kasih ke prodi psikologi UII sampai di usianya yang ke 30 tahun ini. Selain itu, tentunya bagian dari silaturahmi ke saudara-saudara kita yang harapannya ilmu psikologi bisa kita sebarluaskan kepada masyarakat. Konsep UII itu sendiri adalah rahmatan lil alamin, salah satunya bagian dari kegiatan-kegiatan diantaranya yaitu bakti sosial di panti asuhan ini. Itu sebenarnya values yang ingin kita tanamkan di kegiatan-kegiatan seperti ini”, ungkap nya.

 

Kegiatan bakti sosial yang dilakukan oleh Prodi Psikologi dan Himpunan Mahasiswa UII di panti asuhan ini merupakan langkah nyata dalam membangun kepedulian sosial yang tinggi. Dengan semangat kebersamaan, kegiatan ini menunjukkan bahwa berbagi kebahagiaan dan kepedulian kepada sesama dapat memberi perubahan positif untuk semua pihak yang terlibat.

Author: Laura Maritza Ramandani