PUSAT STUDI PSIKOLOGI ISLAM MENGGELAR WORKSHOP PENDEKATAN STUDI ALQURAN UNTUK PENGEMBANGAN PSIKOLOGI

PUSAT STUDI PSIKOLOGI ISLAM MENGGELAR WORKSHOP PENDEKATAN STUDI ALQURAN UNTUK PENGEMBANGAN PSIKOLOGI

 

Sebagai rangkaian dari workhop pendekatan studi Alquran dan hadis, Pusat Studi Psikologi Islam kembali mengadakan workshop kedua, yaitu pendekatan metodologi studi Alquran terutama dalam mendukung penelitian-penelitian psikologi Islam berbasis Alquran.

 

Workshop ini diselenggarakan pada tanggal 28 september 2019 di Santika Hotel Yogyakarta. Pembicara workshop ini ialah guru besar Psikologi Islam, Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA. Workshop ini bertujuan mengenalkan pendekatan studi Alquran untuk  pengembangan psikologi kepada dosen-dosen psikologi UII.

 

Sebagai profesor pertama di Indonesia bidang Psikologi Islam, Prof. Mubarok menjelaskan bahwa perkembangan psikologi Islam di Indonesia belum sinergis atau belum terlalu nampak. Hal itu dapat dilihat dalam minimnya peserta dalam penyelenggaraan seminar-seminar psikologi Islam. Dalam workshop ini, Prof. Mubarok mengajak para dosen untuk membangun psikologi Islam berbasis Alquran karena Alquran bagi ummat Islam merupakan petunjuk, panduan, obat penawar, peringatan dan penjelasan tentang segala sesuatu.

 

Prof. Mubarok menjelaskan bahwa untuk memahami psikologi maka perlu pengetahuan tentang konsep manusia dan jiwa dan menggalinya melalui Alquran. Alquran menyebut manusia sebagai basyar, insan, unas dan banī Ādam. Sedangkan jiwa, dalam Alquran disebut dengan nafs. Kata nafs dalam Alquran mengandung beberapa arti di antaranya nafs al-muṭmainnah (jiwa yang tenang), nafs sebagai totalitas, dan nafs sebagai ruh (dari ayat akhrijū anfusakum).

 

Cara untuk mengetahui karakteristik manusia dan jiwanya dalam metodologi Qurani adalah dengan melihat apa yang difirmankan Allah dalam kalam-Nya tentang manusia dan jiwanya. Dalam proses memahami Alquran, kita diperbolehkan melakukan penghayatan diri sendiri atas apa yang dialami sebagai makhluk psikologis, dan juga diperbolehkan merujuk pandangan para ahli psikologi. Metode memahami gagasan Alquran tentang sesuatu disebut dengan istilah tafsir maudhū’i atau tafsir tematik. Di akhir sesi, Prof. Mubarok memberi waktu kepada para dosen untuk membentuk tim kolaborasi penelitian tentang psikologi Islam. Dari workshop tersebut outcome yang diperoleh ialah terkumpulnya 16 judul penelitian dengan 16 tim peneliti yang diharapkan dapat ditindaklanjuti setelah workshop selesai. ***

 

Pusat Studi Psikologi Islam

Sabtu, 28 September 2019

Akhlak Mulia sebagai Ukuran Psikologis Kualitas Hidup Muslim

Akhlak Mulia sebagai Ukuran Psikologis Kualitas Hidup Muslim

 

Pusat Studi Psikologi Islam kembali menggelar kajian rutin tentang Psikologi Islam. Kajian kali ini mengangkat tema tentang “Akhlak Mulia sebagai Ukuran Psikologis Kualitas Hidup Muslim”. Pembicara dalam kegiatan ini menghadirkan pakar pengukuran dari internal dosen psikologi UII, yaitu Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi., M. Si.

 

Disebutkan dalam berbagai hadis bahwa muslim yang baik dan berkualitas ditunjukkan dengan akhlakul karimah yang dimilikinya. Dalam hadis yang diriwayatkan Thirmidzi, Rasulullah bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” Hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Thirmidzi, juga menegaskan bahwa aklhak mulia merupakan tolak ukur kualitas muslim yang baik. “Rasulullah bersabda, Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.”

 

Biasanya, dalam psikologi modern, kualitas hidup manusia diukur menggunakan alat ukur WHOQOL (alat ukur Quality of Life yang dikeluarkan oleh WHO) yang mengukur 6 dimensi. Pengukuran-pengukuran kualitas hidup dalam ilmu psikologi modern selama ini memiliki landasan yang berbeda dengan yang ada dalam psikologi Islam.  Itulah sebabnya pengukuran kualitas hidup islami perlu dikembangkan.

 

Saat ini, Irwan Nuryana Kurniawan berkolaborasi dengan Wanadya Ayu Krishna Dewi mengembangkan skala untuk mengukur kualitas hidup muslim dengan berlandaskan Al-Quran dan Hadits. Menurut Wanadya, kualitas hidup muslim merujuk pada “ibadah” seseorang sebagai indikator akhlak. Penegasan bahwa akhlak mulia bersumber pada Al-Quran ditegaskan melalui tanggapan Ummul Mukminin Aisyah ra saat ditanya Jabir bin Nufair mengenai akhlak Nabi Muhammad saw bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran (mengacu pada HR. Muslim, HR. Abu Dawud, dan HR. Imam Ahmad). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sumber utama umat Islam untuk memahami secara valid, reliabel, dan komprehensif apa dan bagaimana akhlak mulia dalam perspektif Islam adalah melalui Al-Quran beserta As-Sunnah.

 

Berbeda dengan pengukuran versi Islam, WHOQOL mengukur seberapa puas (how satisfied) orang-orang pada aspek-aspek penting dalam kehidupan mereka. Karena definisi kualitas hidup sangat terfokus kualitas hidup yang “dipersepsikan” responden, maka alat ukur tersebut tidak bisa diharapkan tersedia sebuah alat ukur tentang detail symptom, penyakit, atau kondisi, tetapi lebih kepada dampak-dampak penyakit dan intervensi kesehatan terhadap kualitas hidup. Kualitas hidup tidak dapat disamakan begitu saja sebagai “health status”, “life style”, “life satisfaction”, “mental state” or “well-being“.

 

Muncul beberapa pertanyaan menggelitik terkait pengembangan alat ukur ini, di antaranya ialah mengapa masih perlu mengembangkan alat ukur kualitas hidup muslim? Irwan menjelaskan bahwa akhlak mulia menjadi penentu kesuksesan dan kegagalan dari semua ibadah yang disyariatkan Allah swt. Dicontohkan bahwa saat ada orang menyapa kita dengan perkataan yang buruk atau sengaja memancing amarah, maka kualitas hidup muslin akan terlihat dari cara mereka menanggapi permasalahan tersebut. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menahan diri dan tetap bersikap baik terhadap mereka. Contoh lainnya, seorang muslim rajin beribadah ke masjid dengan sholat berjamaah lima waktu. Sayangnya, ia gemar menyakiti tetangganya. Itulah mengapa kualitas hidup muslim dengan indikator akhlak mulia menjadi penting. Ringkasnya, kualitas hidup muslim yang baik akan ditentukan oleh bagaimana akhlak mulia yang dimilikinya, pungkas Irwan menutup kajian Senin siang itu. ***

 

Pusat Studi Psikologi Islam/

Senin, 15 Juli 2019, 13.00 – 15.30 WIB.

PUSAT STUDI PSIKOLOGI ISLAM MENGKAJI ‘AKHLAK’ SEBAGAI KEKHASAN PSIKOLOGI UII

PUSAT STUDI PSIKOLOGI ISLAM MENGKAJI ‘AKHLAK’ SEBAGAI KEKHASAN PSIKOLOGI UII

Pusat Studi Psikologi Islam menggelar kajian rutin “Psychology for Theaching and Learning” dengan mengangkat tema terkait akhlak. Kajian ini dlaksanakan pada senin, 29 April 2019, pukul 13.00 – 15.30 WIB. Kajian tersebut diisi oleh pembicara Dr. Ahmad Rusdi, S.Psi., S.Sos., MA.,Si., dari internal dosen psikologi UII.

Kajian akhlak ini penting karena program studi psikologi UII menekankan kekhasan psikologi Islam yang diusungnya pada ‘akhlak mulia’. Untuk itu, pembahasan tentang akhlak dijadikan topik pembahasan paling awal setelah landasan filosofis psikologi Islam agar pemahaman psikologi Islam dan pengembangannya di lingkungan psikologi UII menjadi kuat berakar dan mendasar.

Rusdi menjelaskan definisi akhlak yaitu, bentuk/struktur di dalam diri yang rāsikhah (mengakar permanen) yang mendorong perilaku spontan (suhūlah) dan mudah (yusrin) tanpa hajat/pamrih, tanpa dipikirkan, dan tanpa memerlukan perenungan/ide terlebih dahulu atau dalam arti singkat akhlak merupakan dorongan jiwa yang mendorong tindakan otomatis.

Berdasarkan konteks makro dan dalam level interaktif, ilmu akhlak (etika) merupakan ilmu praktis agar manusia menjadi baik. Terdapat tahapan dalam menerapkan ilmu akhlak dari mulai level individu, level keluarga (al-iqtisodiyah/ekonomi), hingga level masyarakat (al-siyāsah). Rusdi menyampaikan bahwa ilmu agar seseorang menjadi baik adalah ilmu akhlak, ilmu agar keluarga menjadi baik adalah dengan mempelajari al-iqtiṣādiyah (ilmu tentang ekonomi keluarga), dan ilmu agar masyarakat menjadi baik adalah dengan mempelajari al-siyasah (ilmu politik).

Mengutip pendapat Ibnu Miskawaih, pembicara menjelaskan bahwa akhlak didasarkan pada aspek paling utama dalam diri manusia yaitu jiwa (nafs). Ibnu Miskawaih membagi daya jiwa manusia menjadi tiga. Pertama, daya rasional (al-Nafs al-Nātiqah) yaitu menjadi dasar berfikir, membedakan, dan menalar hakikat sesuatu. Kedua, daya animal (al-Nafs aal-ḥayawaniyyah/ al-ghaḍabiyyah) yaitu menjadi dasar kemarahan, tantangan, keberanian atas hal-hal yang menakutkan, keinginan dan berbagai macam kesempurnaan pengendalian gerak. Ketiga, daya vegetatif (al-naf al-nabātiyyah/ al-shahwiyyah) yaitu jiwa yang menjadi dasar shahwat. Jiwa tersebut mendorong untuk saling berdesakan dan merebut posisi, tetapi apabila dapat seimbang di antara ketiganya maka tercapailah keutamaan (fadhilah) dan kebaikan pada manusia, yaitu ḥikmah (bijaksana), shajā’ah (keberanian), ‘iffah (kehormatan diri) dan sakhā (kedermawanan).

Rusdi menjelaskan sifat utama (fadhilah) berdasarkan Ibnu Miskawaih yaitu menekankan pada posisi pertengahan dan keseimbangan (al-‘adālah). Jiwa manusia selalu dilingkupi oleh dua ekstrim (ekstrim kelebihan/kanan dan kekurangan/kiri). Posisi tengah merupakan posisi utama diantara ekstrim berlebihan/kanan atau ekstrim kekurangan/kiri dari jiwa manusia. Posisi tengah merupakan prinsip umum sifat keutamaan. Oleh sebab itu, ketika manusia condong ke satu ekstrim, maka akan menghilangkan sisi-sisi keutamaannya. Ia mencontohkan bahwa jiwa yang tidak ekstrem kanan atau kiri (seimbang) pada jiwa rasional akan melahirkan sifat cerdas (al-dzakā’), ketajaman akal (al-ta’aqqul), kecerdasan yang cepat (sur’atul fahm), bersih dalam memahami (ṣafa’al-dhihn), mudah dalam belajar (suhūlah al-ta’allum), dan akurasi memanggil informasi (a-dzikr).
Kajian ini ditutup dengan penjelasan tentang penelitian-penelitian akhlaq yang melibatkan banyaknya komponen akhlak. Kesimpulannya, mempelajari akhlaq secara konseptual bukanlah perkara mudah, karena irisan, aspek, komponen, dan dimensi akhlak sangat kompleks sehingga waktu kajian ini terasa tidak cukup untuk mengkaji akhlak secara keseluruhan. ***

Penulis: Pusat Studi Psikologi Islam/

Senin, 29 April 2019

Pusat Studi Psikologi Islam Menggelar Kajian “Paradigma Profetik sebagai Landasan Psikologi Islam”

Pusat Studi Psikologi Islam Menggelar Kajian “Paradigma Profetik sebagai Landasan Psikologi Islam”

Pusat Studi Psikologi Islam mengawali kegiatan rutinnya di 2019 dengan menggelar kajian tentang pengembangan psikologi Islam. Kajian ini didesain sesistematis mungkin dengan memulai pembahasan terkait landasan atau basis filosofis dalam perkembangan ilmu. Acara ini dihadiri oleh dosen-dosen psikologi UII dengan menghadirkan guru besar Antropologi Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra MA., M.Phil., pada Senin, 4 Maret 2019.

Prof. Heddy menuturkan bahwa ilmu pengetahuan di Indonesia kurang dapat berkembang karena pemahaman mengenai paradigm yang kurang baik. Itulah mengapa perkembangan psikologi Islam mengalami beragam kendala, salah satunya disebabkan adanya perbedaan paradigma. Menurutnya, paradigma ialah perspektif, metaphor, atau kerangka pemikiran (yang terdiri dari berbagai unsur, menjadi tataran pemikiran). Dalam kajian ini, Prof. Heddy mengkritik pemikiran Thomas Kuhn terkait pemikiran Kuhn yang kontroversial di buku yang diterbitkan tahun 1962, The Structure of Scientific Revolution, bahwa teori Thomas Kuhn tidak dapat menjelaskan definisi paradigm secara konsisten.

Prof. Heddy memiliki pandangan yang lebih mendetail terkait paradigma. Ia mendefinisikan paradigma mencakup 9 hal, yaitu (1) Asumsi dasar (basic assumptions), (2. Nilai-nilai (values), (3). Model (analogy, perumpamaan), (4). Masalah yang diteliti (problem-problem), (5). Konsep-konsep (concept, keywords), (6). Metode penelitian (method of research), (7). Metode analisis (method of analysis), (8). Teori (theory), serta (9. Representasi (representation).

Dapat ditarik pemahaman bahwa jika asumsi dasar dari sebuah pemikiran itu  berbeda, maka representasinya juga berbeda. Asumsi dasar (anggapan-anggapan) menjadi hal yang terpenting dalam sebuah paradigma. Prof. Heddy mengungkapkan bahwa asumsi atau pandangan yang kita anggap benar belum tentu dianggap benar oleh kelompok lain. Asumsi dasar menjadikan sudut pandang menjadi berbeda. Dengan demikian, tidak perlu berdebat pada level asumsi.

Psikologi Islam yang selama ini didengungkan di berbagai universitas termasuk di Psikologi UII, merujuk pada landasan Islam terutama paradigma profetik. Paradigma profetik ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan karena di luar penganut agama Islam, mereka tidak meyakini asumsi dasar ini. Model pengetahuan Barat sangat menekankan pembahasannya dalam tataran empiris saja, sebaliknya, model perspektif Islam membahas secara paripurna melampaui tataran empiris, yaitu ada prophet (knowledge & servanthood), dan God (the creator of universe). Hal inilah yang membedakan model pengetahuan Barat dengan model pengetahuan perspektif Islam. Model ini berdampak pada nilai-nilai yang dianut, yaitu pada orang Islam pemikiran ini melahirkan penghambaan kepada Allah. Kondisi ini berkebalikan dengan model perkembangan ilmu pengetahuan Barat yang menghamba pada science, dan tidak sampai kepada penciptanya.

Prof. Heddy di akhir kajian menyampaikan bahwa filsafat profetik berusaha mengembalikan ilmu pengetahuan pada asumsi dasar yang seharusnya, yaitu wahyu. Proses perjuangan ini caranya dengan mendasarkan pada “asumsi dasar”. Prof. Heddy menyatakan bahwa filsafat profetik dapat mengakui kedudukan wahyu sebagai pengetahuan dan sumber pengetahuan. Tidak lagi mendikotomi atau mengislamisasi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Nabi dapat dianggap ilmuwan yang ilmu pengetahuannya  bersumber dari Allah swt. Prof. Heddy berharap pemahaman dasar ini dapat menjadi landasan dalam pengembangan psikologi Islam tanpa dibenturkan dengan beragam paradigma psikologi modern yang telah mapan saat ini. ***

Pusat Studi Psikologi Islam/ 5 Maret 2019.