Mencipta Jalan Tanpa Batas: Nur Fatia Azzahra dan Jejak Karier dari Psikologi UII

Pernahkah terlintas di benakmu, sejauh mana keyakinan bisa membawa kita melampaui batas diri?

Bagi Fatia, jawabannya terletak pada tiap langkah yang ia ambil. Siapakah dia? Di balik seragam dinas yang gagah, terdapat kisah luar biasa dari seorang perempuan yang menjadikan keterbatasan sebagai sumber kekuatan. Nur Fatia Azzahra adalah alumni Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII), yang kini berkarier sebagai BA di Bagian Psikologi Biro SDM Polda Kepulauan Bangka Belitung. Tentu bukan perjalanan yang mudah bagi Fatia untuk sampai ke titik ini, justru di sinilah letak keistimewaannya, ia melangkah dengan semangat yang tak pernah padam.

Terlahir dengan disabilitas fisik, awalnya menyebabkan Fatia mengalami fase penyesuaian, tak hanya oleh dirinya, melainkan oleh keluarganya yang juga belajar menerima kenyataan tersebut. Seiring berjalannya waktu, penerimaan diri hingga kepercayaan diri mulai terbentuk.

“Disabilitas memang membawa tantangan, tetapi saya memilih untuk tidak menjadikannya sebagai hambatan. Justru saya ingin membuktikan bahwa saya juga bisa berdaya dan mandiri,” ungkapnya.

Melalui perjalanan itulah tumbuh keteguhan hati, kesabaran, dan kekuatan untuk terus melangkah. Fatia pun menjadi lebih terbuka untuk membantu orang lain yang memiliki kondisi serupa, karena ia tahu persis bagaimana rasanya. Meskipun ada keterbatasan, Fatia percaya bahwa dirinya tetap memiliki banyak potensi dan pantas untuk terus berkembang.

Psikologi UII: Tempat Belajar dan Bertumbuh

Ketertarikannya pada emosi, perilaku, dan cara berpikir manusia membawa Fatia ke Psikologi UII. Bukan hanya karena reputasinya yang baik dan suasananya yang Islami, di dalamnya juga  Fatia menemukan nilai kemanusiaan yang kuat dijunjung di sana. “Saya merasa Psikologi UII adalah tempat yang tepat untuk belajar secara akademik sekaligus membentuk karakter,” ungkap Fatia.

Sebagai mahasiswa disabilitas, Fatia dihadapkan dengan tantangan nyata seperti mobilitas, ruang kelas di lantai atas, hingga kekhawatiran terkait ritme belajar. Meski demikian, lingkungan kampus membuktikan bahwa inklusi bukan hanya seruan belaka. Fasilitas seperti jalur landai dan lift, fleksibilitas dalam pengaturan ruang kelas, serta keterbukaan dosen terhadap penyesuaian belajar, membuat Fatia merasa dihargai dan dapat berkembang tanpa harus merasa berbeda dari yang lain. Di tengah keterbatasan tersebut, Fatia juga tetap aktif dalam akademik, menjalin relasi yang baik dengan teman dan dosen, hingga belajar berkomunikasi serta menyampaikan terkait kebutuhannya secara asertif.

Meniti Karier: Proses yang Tak Mudah Namun Bermakna

Selepas lulus, Fatia mencoba berbagai kesempatan, baik itu mengikuti pelatihan, magang, hingga freelance. Dari pengalaman itulah ia belajar mengelola waktu, menjalin komunikasi efektif, dan kemampuan bekerja sama dalam tim. Prosesnya tidaklah mudah, namun tiap langkah kecil tersebut mampu mengantarkannya pada tujuan, sampai pada titik ini.

Menjadi penyandang disabilitas membawa tantangan tersendiri di dunia kerja. Masih ada pandangan yang keliru, seperti timbulnya anggapan bahwa kondisi fisik yang dimiliki membatasi kemampuan. Tantangan lainnya datang dari sisi teknis, misal aksesibilitas tempat kerja dan fasilitas yang belum sepenuhnya ramah disabilitas. Namun, berbagai tantangan tersebut justru menjadi pemantik semangat bagi Fatia untuk terus membuktikan bahwa ia mampu.

“Saya terus belajar, berkembang, dan yang terpenting—saya percaya diri dengan kemampuan yang saya miliki.” Tukasnya.

Psikologi Mengajarkan Penerimaan Diri, Bukan Menuntut Kesempurnaan

Fatia beranggapan bahwa ilmu psikologi bukan sekadar alat bantu untuk memahami orang lain, melainkan jembatan menuju penerimaan diri. Ia menyadari bahwa tiap orang mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Berangkat dari pemikiran itu pula ia belajar untuk lebih berdamai dengan diri sendiri dan tidak terlalu keras menuntut kesempurnaan. Disabilitas mengajarkan Fatia banyak hal, tidak sekadar soal keterbatasan fisik atau kondisi medis, melainkan bagian dari identitas dirinya. Ia melihat disabilitas sebagai warna hidup yang membentuk pribadinya menjadi sosok yang kuat dan peka terhadap sekitar.

Adapun salah satu momen paling berkesan dalam hidupnya, yakni saat pertama kali ia berani tampil di depan publik dan membagikan kisah hidupnya. Dari pengalaman itu, ia menyadari bahwa keterbukaan dan penerimaan diri adalah kekuatan. Tak harus sempurna terlebih dahulu untuk bisa bermanfaat bagi sekitar.

Teruntuk teman mahasiswa, terutama yang tengah berjuang dengan keterbatasan atau kondisi sulit, Fatia berpesan bahwa kalian tidak sendiri. “Kita semua punya ujian hidup yang berbeda-beda, tapi itu bukan alasan untuk berhenti bermimpi. Jangan takut untuk meminta bantuan, dan jangan ragu untuk percaya pada diri sendiri. Prosesnya memang tidak selalu mudah, tetapi kalian lebih kuat dari yang kalian kira,” lanjutnya.

Ia juga mengajak khalayak ramai untuk membuka ruang dialog dan edukasi terkait disabilitas dan keberagaman sebagai langkah awal terciptanya lingkungan yang inklusif, yang di mana inklusivitas bukan sekadar fasilitas fisik, tetapi juga tentang sikap terbuka dan rasa saling menghargai.

Melalui kisahnya, kita belajar bahwa jalan tidak selalu mudah—selama ada keberanian untuk melangkah maka tidak ada yang mustahil untuk dilewati. Fatia adalah bukti nyata bahwa keterbatasan bukan akhir cerita, melainkan bagian awal dari kisah luar biasa.

 

Author: Andara Azzahra