Volume 1 Edisi 1, 2025
15 agustus 2025
Mengelola emosi dalam hubungan interpersonal
Esti Hayu Purnamaningsih
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak lepas dari kehidupan emosional , baik dalam keluarga, kehidupan di masyarakat, pekerjaan, lingkungan fisik, lingkungan sosial, baik yang kita kenal, maupun yang tidak kita kenal. Bisa dibayangkan kalau hidup tanpa emosi, semua datar. Emosi membuat hidup kita menjadi berwarna. Kemarahan, ketakutan, kegembiraan, kebahagiaan dan kesedihan akan memberikan warna bagi kehidupan manusia (Prawitasari, 2006). Masalah emosional dapat terjadi antara lain karena adanya kesalahpahaman, konflik dalam hubungan antar pribadi, yang menyebabkan situasi dalam hubungan pertemanan atau keluarga menjadi tidak harmonis. Oleh karena itu, kalau emosi tidak terkelola dengan baik, dapat mengganggu kualitas hubungan, bahkan dapat mengganggu kesehatan, baik fisik maupun mental kita.
Melihat pentingnya pengaruh emosi terhadap keharmonisan dan kenyamanan seseorang dalam berbagai kehidupan sehari-hari, maka emosi perlu dikelola, atau dilakukan pengaturan emosi, saat seseorang menghadapi peristiwa emosional atau peristiwa yang memicu timbulnya emosi.
Emosi dan hubungan interpersonal
Emosi adalah ungkapan perasaan positif atau negatif terhadap suatu stimulus atau peristiwa, yang memuat unsur penilaian, reaksi-reaksi fisiologis, & perilaku. Stimulus dapat berasal dari dalam (kondisi fisik, pikiran), maupun dari luar individu (lingkungan fisik, lingkungan sosial, atau peristiwa). Individu kemudian melakukan penilaian dan interpretasi terhadap stimulus, yang menghasilkan respon emosi positif atau negatif. Emosi juga melibatkan reaksi fisiologis dalam tubuh, seperti gemetar, berkeringat, mual, jantung berdebar-debar dan otot tegang. Pada umumnya diikuti kecenderungan bertindak atau perilaku dan perubahan ekspresi wajah (Zimbardoo, 2008).
Emosi sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan interpersonal, emosi memainkan peran penting, membantu menyediakan informasi yang penting dengan memberikan sinyal perasaan dalam hubungan interpersonal , mengenai status interaksi individu dengan orang lain dan lingkungannya, atau mempercepat respon seseorang dalam situasi yang menekan (Matsumoto, 2006). Sebagai contoh, seseorang yang menunjukkan ekspresi, sedih, marah, tidak senang, malu atau takut, hal tersebut akan membantu orang lain dalam menentukan responnya. Pendapat ini diperkuat oleh Frijda ( Denonet dkk, 2008) yang mengatakan bahwa emosi mempunyai fungsi dalam komunikasi interpersonal, yang memiliki tujuan dalam memberikan sinyal kepada orang lain mengenai status internalnya.
Dalam hubungan interpersonal, seringkali kita tidak terhindar mengalami konflik. Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan, atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik menyebabkan situasi dalam hubungan (pertemanan atau keluarga ) menjadi tidak harmonis, karena diliputi emosi negatif dan tidak damai. Oleh sebab itu, kondisi emosi akibat konflik dalam keluarga yang dan dalam hubungan pertemanan harus diselesaikan, antara lain dengan cara mengelola emosi
Perbedaan individu seperti kepribadian, jenis kelamin, kecerdasan emosi, pengalaman, pola asuh,latar belakang sosial budaya, dapat mempengaruhi cara seseorang dalam mengelola emosinya. Contoh, orang yang memiliki kecerdasan emosi yg tinggi, dia akan memilih menggunakan penilaian kognitif dalam menghadapi konflik hubungan interpersonal atau dalam menanggapi masalah-masalah emosional. Wanita lebih banyak menggunakan berbagai cara mengelola emosi. dibanding pria. Individu yang latar belakang budayanya lebih menekankan hubungan sosial yang harmonis, cenderung menekan emosi negatif.
Bagaimana cara mengelola emosi?
Melihat pentingnya pengaruh emosi terhadap hubungan interpersonal, maka emosi perlu dikelola, atau dilakukan regulasi emosi, saat kita menghadapi peristiwa emosional/ peristiwa yang memicu timbulnya emosi. Regulasi emosi adalah kemampuan seseorang dalam John & Gross (2004) mengatakan regulasi emosi dapat berfungsi menjaga hubungan interpersonal dan menjaga kesehatan. Strategi regulasi emosi adalah suatu cara yang digunakan seseorang dalam mengatur dan memberikan respon emosional terhadap stimulus yang dihadapi (Gross 2007). Secara fundamental ada 2 Strategi regulasi emosi, yaitu Antecedent focused Strategies dan Response focused Strategies.
Antecedent-focused Strategy adalah strategi yang digunakan seseorang saat menghadapi situasi/stimulus emosional yang dilakukan sebelum respon sepenuhnya diaktifkan, sehingga berpengaruh pada respon yang dialami, baik respon psikologis, perilaku dan respon fisiologis. Ada empat strategi regulasi emosi yang dilakukan sebelum respon emosi diberikan secara penuh, yaitu Seleksi situasi, Modifikasi situasi, pengalihan atau Penyebaran perhatian, dan Perubahan kognitif atau Perubahan berpikir. Contoh Seleksi situasi: Memilih tinggal di rumah daripada ke suatu pesta, untuk menghindari bertemu dengan seseorang yang membuat anda ingin marah; Modifikasi situasi, contohnya ketika menonton acara televisi menjengkelkan, maka orang berpindah ke saluran televisi yang lain yang acaranya lebih menyenangkan atau membuat hati menjadi tenang; Penyebaran perhatian atau pengalihan pusat perhatian, contohnya menutup mata dan melihat ke arah lain ketika melihat kecelakaan yang mengerikan, atau lebih fokus memikirkan senangnya setelah pensiun daripada memikirkan kehilangan pekerjaan. Perubahan kognitif atau perubahan berpikir , salah satu bentuk strateginya adalah dengan melakukan penilaian kembali terhadap hal-hal yang memicu terjadinya emosi (Reappraisal) .
Reappraisal suatu cara mengatur dan mengubah reaksi emosi dengan cara menilai kembali situasi yang secara potensial membangkitkan emosi. Reappraisal secara kognitif menetralkan situasi yang secara potensial menimbulkan emosi , reappraisal menurunkan respon yang dialami, baik respon psikologis, fisiologis maupun perilaku. Pada situasi yang secara emosional negatif, reappraisal mengurangi perilaku ekspresi emosi negatif dan dapat menurunkan pengalaman emosi negatif (Wirtz et al 2006) . Hal tersebut dapat terjadi karena dalam proses kognitif atau proses berpikir, seseorang memperoleh informasi baru (nyata atau imajiner). Seperti yang disampaikan oleh oleh Volokhov (2008), regulasi emosi adalah proses penilaian kembali yang ditandai dengan evaluasi atau perubahan terhadap stimulus emosional, yang dilakukan untuk mengurangi dampak emosi negatif. Seandainya seseorang menghadapi orang lain atau situasi yang dapat membuat orang tersebut sedih, takut, marah, atau benci, maka orang tersebut dapat melakukan penilaian kembali atas perilaku orang atau kejadian tersebut dengan mengubah cara berpikir mengenai orang atau situasi itu, sehingga dapat menurunkan emosi negatif, atau mengubah respon emosi. Contohnya, memikirkan kembali perilaku orang atau situasi yang membuat anda marah, sedih, atau benci, mengapa orang tersebut berbuat demikian, mungkinkah orang tersebut sedang ada masalah dengan keluarganya; Mengambil hikmah dari peristiwa yang menyedihkan; Mencoba berpikir positif; Mencari jalan keluar atas suatu masalah, Memaafkan kesalahan orang lain.
Dalam konteks hubungan interpersonal, penelitian menemukan bahwa ketika mempertahankan hubungan adalah tujuan utama dari regulasi emosi, penilaian ulang kognitif lebih mungkin menjadi strategi pilihan bagi pria yang terlibat dalam konflik dengan pasangannya dan bagi wanita yang terlibat dalam konflik dengan orang tua mereka (Chen & Liao (2021)
Respon-focused Strategy adalah cara yang digunakan seseorang dalam menghadapi stimulus emosional pada saat emosi sedang berlangsung. Ketika anda menghadapi situasi yang menimbulkan gejolak emosi, misalnya marah, anda langsung menunjukkan respon berlebihan diikuti dengan perilaku tertentu (misalnya membentak-bentak) , biasanya akan disertai munculnya respon fisiologis seperti denyut jantung lebih cepat, muka terasa panas , otot menegang, hal demikian menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kesehatan, karena tekanan darah juga akan naik, dan tentu saja berdampak pada hubungan sosial.
Salah satu bentuk Respon-focused Strategy adalah modulasi respon dengan cara menghambat ekspresi emosi (suppression). Suppression adalah strategi regulasi emosi dengan menghambat ekspresi emosi berlebihan yang meliputi ekspresi wajah, nada suara dan perilaku. Apabila emosi sedang berlangsung , maka seseorang masih dapat mengelola emosi dengan cara mengatur respon, seperti mengubah perilaku, menarik napas panjang, menurunkan volume suara, dan berhenti menyerang. Hal-hal demikian dapat membantu mengubah emosi negatif menjadi emosi positif. Strategi ini disebut juga dengan expressive suppression. Hanya efektif untuk menghambat respon emosi yang berlebihan, namun tidak membantu mengurangi emosi yang dirasakan.
Strategi regulasi emosi yang mana yang lebih sehat ?
Cara yang lebih sehat dalam mengelola emosi adalah : melakukan regulasi emosi sebelum respon emosi sepenuhnya ditunjukkan, daripada memberikan respon secara langsung (secara berlebihan) atau dengan cara menekan emosi, saat emosi sedang berlangsung.
Strategi regulasi emosi yang sehat tersebut dilakukan dengan cara mengevaluasi /menilai/ memikirkan kembali stimulus yang membangkitkan emosi.
Penilaian kembali dapat dilakukan secara langsung ketika seseorang menghadapi stimulus yang menimbulkan emosi, atau sejenak setelah seseorang menghambat ekspresi emosi, atau setelah respon emosi terlanjur dilakukan secara berlebihan, agar emosi negatif tidak berlanjut atau bisa berubah setelah dilakukan penilaian kembali, sehingga terjadi perubahan berpikir, sehingga dapat mengubah atau menurunkan emosi negatif dan meningkatkan emosi positif. Gross dan John (2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa individu yang menggunakan strategi reappraisal lebih banyak mengalami dan mengekspresikan emosi positif dan lebih sedikit emosi negatif dan lebih berfungsi positif dalam hubungan interpersonal, dibanding penggunaan strategi suppression.
Daftar Pustaka
Chen , W.L, & Liao, W.T, (2021). Emotion Regulation in Close Relationships: The Role of Individual Differences and Situational Context Front Psychol, doi: 10.3389/fpsyg.2021.697901
Denollet, J., Nyklicek, I.& Vingerhoets, J.M. (2008). Emotion Regulation.Spinger
Gross, J.J & John, O. P. 2003. Individual Differences in Two Emotion Regulation Processes: Implications for Affect, Relationships, and Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology. 2003,. 85, No. 2, 348–362.
John, O.P. & Gross, J.J. (2004). Healthy and unhealthy emotion regulation:personality processes, Individual differences,and life span development. Journal of Personality 72 (6).
Matsumoto, D. (2006). Are culture differences in emotion regulation mediated by personality traits? Journal of Cross-Cultural Psychology, 7 (4), 421-437.
Prawitasari, J.E. (2006). Emosi atau persepsi tentang emosi?. Anima, Indonesian Psychological journal, 22 (1) 1-16
Volokov, R.N. (2008). Cognitive and physiological correlates of emotion regulation: is reappraisal a teachable skill?
Chen , W.L, & Liao, W.T, (2021). Emotion Regulation in Close Relationships: The Role of Individual Differences and Situational Context Front Psychol, doi: 10.3389/fpsyg.2021.697901
.