Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025
Jiwa yang tangguh dalam sirah dan sunnah: Meneladani optimisme nabi
Fani Eka Nurtjahjo
“Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya.” (Hadis Riwayat Muslim)
Hadis yang sering kita dengar tersebut adalah pesan nyata dari Rasul pembawa risalah, Rasul penyempurna akhlak, serta Rasul yang teladannya sempurna bagi umat manusia. Dialah Nabi besar umat muslim, Muhammad ﷺ bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushoy. Lanjutan dari hadis tersebut adalah poin penting pada pembahasan kita kali ini:
“Dan itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali orang beriman. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya; dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR Muslim)
Nasihat yang bisa kita ambil dari hadis diatas adalah contoh ketahanan hati dan sikap mental yang positif dari seorang muslim. Mengapa? Karena segala sesuatu yang terjadi diluar diri seorang manusia, baik atau buruk, adalah peluang kebaikan. Dari sini kita belajar, bahwa Allah ﷻ tidaklah menilai hamba berdasarkan kejadian/ takdir/ ketetapan yang menimpa dirinya, melainkan respon kita terhadap situasi itulah yang akan Allah ﷻ lihat. Allah ﷻ tidak akan membebani seorang hamba dengan sesuatu yang berada di luar kendalinya (takdir, ketetapan, dan seterusnya), tapi sebagai bentuk keadilan dari-Nya, maka respon yang berada dalam wilayah kendali kita, yang akan masuk menjadi pertanggungjawaban diri.
Jika bukan karena keberadaan Rasulullah ﷺ, maka pesan indah dari Allah ﷻ itu tentu tidak akan sampai kepada kita yang berjarak 1500an tahun dari beliau. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada cahaya manusia, pemimpin para rasul, dan penutup para nabi. Maka sudah sewajarnya kita bersemangat untuk meneladari beliau melalui sirah nabawiyah, terutama dalam pembahasan kali ini mengenai optimisme nabi sebagai jiwa yang tangguh dan tauladan karakter bagi kaum muslim. Tulisan ini tentu tidak akan mampu memuat semua kebaikan dan karakter baik dari beliau, namun semoga dari yang sedikit ini mampu menjadi refleksi, serta hikmah di dalamnya bisa menjadi benih penguat iman.
Peristiwa peletakkan Hajar Aswad
Peristiwa ini terjadi saat Nabi berusia 35 tahun. Saat itu terjadi perselisihan antara kabilah-kabilah Quraisy terkait siapa yang paling berhak memindahkan batu hajar aswad. Lalu Ketika mereka memutuskan untuk menyerahkan penyelesaian masalah kepada orang pertama yang masuk melalui pintu Bani Syaibah, ternyata Rasulullah ﷺ yang masuk. Beliau kemudian menyarankan batu hajar aswad agar ditaruh di tengah kain, dan setiap ujung kain dipegang oleh perwakilan dari masing-maisng kabilah. Dengan kebijaksanaan ini, pertumpahan darah antar kabilah Quraisy dapat dicegah.
Ketenangan Rasulullaah ﷺ dan kecerdasan beliau memikirkan jalan keluar yang bijak ini hanya dapat keluar dari pribadi yang optimis dan berpikiran positif. Bayangkan jika kita yang berada di posisi Rasulullah ﷺ. Diminta untuk menyelesaikan persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita, mengakomodasi banyak kepentingan, pihak yang terkait saling egois dan dominan, namun dituntut untuk berpikir solutif di bawah tekanan. Tentu ini bukanlah hal yang mudah. Jika saja Rasulullah ﷺ saat itu mengambil sikap pesimis dan kecil hati, niscaya terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, yaitu perang antar kabilah Quraisy.
Dakwah secara sembunyi-sembunyi & terang-terangan
Fase dakwah Rasulullaah ﷺ secara sembunyi-sembunyi dimulai tiga tahun di awal periode kenabian. Rasulullaah ﷺ mendakwahi orang-orang terdekatnya dahulu, seperti Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash Shiddiq, dan Zaid bin Haritsah. Meskipun jalan dakwah beliau termasuk jalan yang sepi, namun beliau tetap optimis dan yakin akan janji Allah ﷻ. Sampai kemudian turun perintah dakwah secara terbuka melaui Al-Qur’an surat Al-Hijr ayat 36.
Pada fase dakwah secara terang-terangan ini Rasulullaah ﷺ mengumpulkan suku-suku Quraisy di bukit shafa untuk menyampaikan risalahnya. Pada fase ini, Rasulullah ﷺ mendapatkan ujian besar dimana dakwah beliau ditolak, dicemooh, dan diboikot oleh kaum Quraisy. Pada fase ini pula Rasulullaah ﷺ mengalami tahun-tahun kesedihan kehilangan paman yang selama ini melindunginya dan juga istri tercinta yang senantiasa setia mendukungnya. Respon yang sangat manusiawi adalah kesedihan yang muncul akibat beratnya ujian dakwah yang dihadapi. Namun demikian, dengan berpegang teguh pada janji Allah ﷻ, Rasulullaah ﷺ tetap teguh dan optimis dengan pertolongan Allah ﷻ.
Peristiwa dengan Kaum Thaif
Menghadapi penolakan dari kaum kafir Quraisy, Rasulullah ﷺ kemudian menempuh perjalanan ke Thaif, sebuah daerah berjarak 70km sebelah tenggara kota Mekkah. Maksud perjalanan beliau adalah untuk mencari dukungan sekaligus mendakwahi kaum Thaif. Namun apa yang Rasulullaah ﷺ dapatkan? Beliau justru didustai, kembali ditolak, bahkan sempat dilempari batu hingga berdarah. Malaikat Jibril عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ bahkan sempat menahan amarahnya dan memberi pilihan kepada Rasulullah ﷺ untuk memilih bukit/ gunung untuk dijatuhkan ke atas kota Thaif jika sampai darah Rasulullah ﷺ jatuh ke bumi. Namun dengan ketinggian akhlak Rasulullah ﷺ, alih-alih marah, beliau justru memanjatkan doa kepada Allah ﷻ agar Allah ﷻ memberikan kasih sayang-Nya kepada anak keturunan kaum Thaif. Kisah indah ini dikisahkan dalam sebuah hadis:
“Apakah engkau pernah mengalami satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarn Ats-Tsa’alib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril ‘alaihis salam, lalu ia memanggilku dan berseru, ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah ‘azza wa jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka.’ Malaikat penjaga gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata, ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Al-Akhsyabain (dua gunung besar yang ada di kanan kiri Masjidil Haram).
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, namun aku berharap supaya Allah melahirkan dari anak keturunan mereka ada orang-orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua.” (HR. Bukhari, no. 3231 dan Muslim, no. 1795)
Dalam kacamata manusia pada umumnya, jika kita meminta suatu kebaikan kepada sekelompok orang, namun dibalas dengan penolakan dan juga aniaya, tentu kita akan beranggapan bahwa diri kita terdzolimi. Sebuah hal yang wajar juga (dalam kacamata manusia awam) jika kita berkehendak agar pihak yang melakukan aniaya akan mendapatkan balasan yang serupa sesegera mungkin. Namun tidak demikian halnya dengan Rasulullaah ﷺ. Sikap optimis dan yakin atas janji Allah ﷻ, serta kasih sayang (compassion) sebagai wujud akhlak yang tinggi, menjadikan respon beliau sebagai teladan yang paling ideal versi manusia yang pernah hidup di muka bumi. Respon beliau adalah wujud nyata dari husnudzan kepada Allah ﷻ saat menghadapi kesulitan. Maka Allah ﷻ tunjukkan kasih sayang-Nya kepada Rasulullaah ﷺ dengan peristiwa Isra’ Mi’raj, sebagai bentuk penghiburan.
Fase hijrah ke Madinah
Setelah fase dakwah secara terang-terangan dan mendapat ancaman pembunuhan dari kaum Quraisy, Rasulullah ﷺ menerima perintah untuk hijrah ke Madinah. Kaum Quraisy yang mendapatkan kabar bahwa Rasulullah ﷺ telah keluar dari kota Mekkah kemudian melakukan pengejaran. Rasulullah ﷺ pada saat itu bersama dengan sahabatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq bersembunyi dalam sebuah gua di Gunung (Jabal) Tsur. Ditengah persembunyian, Abu Bakar رَضِيَ ٱللَّٰهُ عَنْهُ merasa takut dan cemas Ketika mendengar suara langkah kaum Quraisy mendekat ke arah mulut gua. Rasulullaah ﷺ pun berkata, “Wahai Abu Bakar, apakah engkau mengita kita hanya berdua? Ketahuilah, yang ketiganya adalah Allah”. Lalu Rasulullaah menyampaikan surat At-Taubah (40), “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Perkataan ini adalah penguat bukti sikap optimisme Rasulullah ﷺ ketika menghadapi situasi penuh tekanan. Beliau masih mampu untuk menenangkan sahabatnya bahwa masih ada Allah ﷻ yang akan memberi pertolongan. Dan pertolongan itu pun datang dalam bentuk laba-laba yang membuat sarang di mulut gua, serta burung merpati yang memungut ranting lalu membuat sarang untuk mengerami telur di mulut gua, sehingga keberadaan gua tersebut luput dari perhatian kaum Quraisy yang mengejar Rasulullaah ﷺ. Ketenangan hati Rasulullah ﷺ yang lahir dari prasangka yang baik kepada Allah ikut menular ke orang sekitarnya.
Perang Badar, Perjanjian Hudaibiyah, dan Fathu Makkah
Peristiwa perang Badar menjadi salah satu pengingat yang tidak lekang sepanjang perjuangan umat muslim. Pada waktu itu umat muslim hanya berjumlah 313 orang melawan 1000 pasukan Quraisy. Kemenangan umat Islam saat itu berkat pertolongan Allah ﷻ. Namun, peran Rasulullah ﷺ dalam membangkitkan moral umat yang sempat kecil hati dengan jumlah pasukan mereka menjadi faktor kunci membangkitkan optimisme umat Islam saat itu.
Setelah Rasulullah ﷺ berhasil hijrah ke Madinah, Rasulullah, para sahabat, serta kaum Muhajirin dan Anshar merasa rindu dengan kota Mekkah dan ingin umrah maupun haji kesana. Namun Rasulullah ﷺ paham tidak mudah untuk mewujudkan keinginan akibat boikot dari kaum Quraisy sebagai dampak dari dakwah Islam. Kaum Quraisy yang mendengar kabar kedatangan Rasulullah ﷺ mencoba segala cara untuk mencegah masuknya mereka ke Ka’bah. Maka kemudian untuk menghindari kontak senjata antara kaum muslim dengan kaum Quraisy, Rasulullah ﷺ memilih rute untuk menghindari pertempuran fisik, karena sebagian besar umat Islam saat itu berangkat dalam keadaan ihram. Rasulullaah ﷺ pun mengusulkan adanya perjanjian yang kemudian dinamakan sebagai perjanjian Hudaibiyah. Dinamakan Hudaibiyah karena peristiwa tersebut terjadi di Hudaibiyah. Meski isi perjanjian tersebut sekilas tampak seperti merugikan umat Islam, namun Rasulullah ﷺ dengan optimisme beliau menunjukkan kesabaran dalam menerima kesepakatan. Respon beliau juga bertujuan agar tercapai tujuan yang jauh lebih besar. Hal ini juga sebagai bukti bahwa dalam menghadapi negosiasi yang berat, dibutuhkan kesabaran, kebijaksanaan, serta strategi dalam berdakwah. Hikmah perjanjian Hudaibiyah dalam jangka panjang adalah terbukanya jalan penyebaran Islam yang lebih luas, langkah awal pembebasan kota Mekkah (Fathu Makkah), serta mengajarkan kepada umat, bahwa untuk menghadapi musuh tidak selalu dengan jalan perang, melainkan bisa menempuh diplomasi dan negosiasi.
Penutup
Rasulullah ﷺ telah memberikan teladan yang sempurna tentang bagaimana akhlak seorang muslim sebagai individu maupun umat dalam menghadapi berbagai situasi. Contoh akhlak beliau seharusnya menjadi tolak ukur keimanan seseorang dalam mengelola prasangka baik kepada Allah. Optimisme yang tampak dalam sirah dan sunnah ini bukanlah optimisme yang bersifat naif, tetap merupakan tanda iman dan akal sehat seorang muslim. Jiwa yang Tangguh tumbuh dari hati yang senantiasa memelihara husnudzan kepada Allah ﷻ, bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang ingin mendekat kepada-Nya.