Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025
Pemaafan diri: Menguatkan ingatan akan rahmat dan pertolongan Allah
Resnia Novitasari
۞ قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
Artinya: Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Az-Zumar ayat 53)
Setiap manusia memiliki perjalanan hidup dengan seluruh dinamikanya. Beragam cerita dirajut dalam suka dan duka saling berkait dan bergantian satu dengan lainnya. Dalam menghadapi kesulitan, manusia seringkali jatuh dalam permasalahan dan bergelut di dalamnya. Kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan seringkali membatasi diri untuk kembali kepada-Nya. Salah satu penyebabnya adalah karena individu sering merasa memiliki banyak kekurangan. Perasaan malu dan tidak pantas kerapkali menghantui diri pada saat proses pertobatan hendak dimulai.
Dalam banyak referensi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan sifat-Nya yang Maha Pengampun. Sebagai contoh adalah pada hadits hasan berikut ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, beliau berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Wahai, anak Adam! Sungguh selama engkau berdoa kapada-Ku dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni semua dosa yang ada pada engkau, dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya dosa-dosamu sampai setinggi awan di langit, kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya engkau menemui-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan Aku sedikit pun, tentulah Aku akan memberikan pengampunan sepenuh bumi’.” (H.R. At-Tirmidzi)
Akan tetapi, ternyata terkadang muncul kesulitan justru pada saat seseorang terus menerus merasa bahwa dosanya tidak dapat diampuni. Dirinya justru yang membatasi bahwa ia tidak layak mendapatkan pengampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam banyak kajian, pemaafan seringkali fokus pada ranah relasi interpersonal. Namun demikian, ada sisi lain yang perlu untuk disoroti yakni bagaimana relasi manusia dengan dirinya sendiri. Pemaafan terhadap diri sendiri atas kesalahan yang pernah diperbuat menjadi bagian penting dalam proses transformasi spiritual.
Pemaafan diri dapat diartikan sebagai komitmen pada diri individu untuk melepaskan rasa dendam terhadap diri sendiri, setelah ada pengakuan atas kesalahan dan disertai dengan rasa welas asih terhadap diri sendiri walaupun secara faktual sudah melakukan kesalahan (Enright, 1996). Pada saat melakukan kesalahan, seseorang cenderung akan merasakan malu dan memiliki naluri untuk mohon ampun kepada Tuhan. Hal ini terkait dengan pengalaman dan ajaran agama yang diajarkan. Proses ini juga mendorong manusia agar dapat terkoneksi kembali dengan Tuhan. Proses pemulihan hubungan ini akan mendorong individu untuk memaafkan diri sendiri, sehingga beban rasa bersalah yang ditanggung sebelumnya akan berkurang (Aameer dkk., 2025). Senada dengan hal tersebut, Rassool (2021) menyatakan bahwa saat seseorang berbuat dosa maka dibutuhkan adanya pengakuan bersalah disertai tekad secara tulus untuk tidak mengulangi hal yang sama. Di dalam proses inilah, individu membebaskan dirinya dari rasa malu, perasaan bersalah dan penyesalan. Pada tahap inilah pemaafan diri akan muncul dalam diri seseorang.
Di dalam karyanya, Al Jawziyah (TT) menuliskan bahwa ada dua pendekatan dalam melihat dosa yang dilakukan oleh seseorang. Pendekatan pertama adalah ada keutamaan bagi seseorang untuk mengingat dosanya. Hal ini disebabkan karena akan memunculkan rasa rendah hati dan kefakiran pada diri seseorang. Dosa yang diperbuat justru membuatnya semakin memuja kebesaran Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang sudah mencapai mahabbah (rasa cinta kepada Allah), maka justru sebaliknya. Jika ia menyadari karunia Allah kepadanya, merasakan kebutuhannya kepada-Nya, dan memahami bahwa ia tidak pernah terlepas dari pertolongan-Nya walau sekejap pun, maka melupakan dosanya lebih baik baginya. Hal ini disebabkan terkadang bisikan setan justru mendorong seseorang untuk jatuh kembali pada rasa bersalah yang berlebihan dan lupa pada Rahmat-Nya.
Enright (1996) menguraikan beberapa fase yang dilalui individu dalam memaafkan diri sendiri. Fase pertama adalah fase pengungkapan, di mana individu mulai menyadari apa yang terjadi, merasa malu, dan bersalah atas kesalahan yang telah diperbuat. Fase kedua adalah fase pengambilan keputusan, di mana individu mulai mengalami perubahan emosional yang pada akhirnya akan mengarah pada pengampunan diri atau menyalahkan diri sendiri secara terus-menerus. Di fase inilah individu mulai berdamai dan memutuskan rantai dendam terhadap diri sendiri. Fase ketiga adalah fase kerja, di mana individu menjadi sadar diri dan memahami letak kesalahan mereka. Fase ini juga menjadi tahapan krusial, sebab individu membingkai ulang pemahaman bahwa kesalahan yang dilakukan adalah bagian dari proses belajar. Fase terakhir adalah fase pendalaman, di mana individu yang berhasil mencapai tahap ini telah menemukan makna dari pengalaman tersebut sebagai proses transformasi diri. Di tahap akhir inilah muncul harapan akan perbaikan diri serta rasa welas asih terhadap diri sendiri.
Pemaafan diri diperlukan dalam proses pertobatan untuk menjauhkan manusia dari keputusasaan. Di Islam, bingkai untuk proses pemaafan diri ini adalah bagian dari Rahmat-Nya. Proses pemaafan diri tidak semata-mata mengandalkan pada kemampuan diri sendiri, namun justru berharap betul pada karunia-Nya. Hal inilah yang menjadi penciri khas dari proses tazkiyatun nafs dibandingkan dengan proses psikoterapi lainnya.
Referensi:
Ameer, S., Ghayas, S., & Adil, A. (2025). Taqwa, spiritual shame, and divine forgiveness in Islam. Foundation University Journal of Psychology, 9(1). https://doi.org/10.33897/fujp.v9i1.827
Enright, R. D., & Human Development Study Group. (1996). Counseling within the forgiveness triad: On forgiving, receiving, forgiveness, and self-forgiveness. Counseling and Values, 40(2), 107–126. https://doi.org/10.1002/j.2161-007X.1996.tb00844.x
Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (n.d.). Tawbah: Turning to Allah in repentance (A. A. Hamid, Trans.). Darussalam International Publications Limited
Rassool, G. H. (2021). Sins, tawbah and the process of change. International Journal of Islamic Psychology, 4(1), 26–33. https://doi.org/10.21154/ijip.v4i1.356751230
Click here to add your own text