Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025

Rendah hati atau runtuh hati? Tinjauan islami dan psikologis

Raden Rara Indahria Sulistyarini

Manusia memiliki naluri alami untuk menilai dirinya, baik dari segi kemampuan, moral, maupun status sosial. Penilaian ini pada hakikatnya merupakan hal wajar dan bahkan dibutuhkan sebagai sarana introspeksi serta perbaikan diri. Namun, persoalan timbul ketika evaluasi tersebut berubah menjadi keyakinan bahwa diri sendiri adalah yang paling baik di antara orang lain. Dalam terminologi Islam, kondisi ini dikategorikan sebagai ujub (kebanggaan berlebihan terhadap diri sendiri) dan takabur (merasa lebih tinggi serta lebih mulia dibanding orang lain). Kedua sifat ini tergolong penyakit hati yang sangat berbahaya karena dapat mengganggu relasi transendental antara manusia dengan Tuhannya dan interaksi sosial antar individu. Fenomena tersebut memiliki relevansi tidak hanya dalam ranah teologis, tetapi juga dalam kajian psikologi.

Dalam kajian psikologi sosial, ditemukan fenomena yang dikenal sebagai illusory superiority atau superiority bias, yaitu kecenderungan individu untuk secara sistematis menilai dirinya memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata orang lain dalam berbagai dimensi positif, mulai dari kapasitas intelektual hingga standar moral. Perasaan superior ini sering tidak disadari, tetapi dapat memengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan lingkungannya, cara ia memandang kritik, dan bagaimana ia memposisikan dirinya dalam komunitas sosial. Al-Qur’an secara tegas memperingatkan manusia untuk tidak mengklaim kesucian diri. Dalam QS. An-Najm ayat 32, Allah berfirman, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa”. Ayat tersebut menegaskan bahwa penentuan derajat ketakwaan sepenuhnya merupakan hak mutlak Allah, bukan manusia. Sikap merasa diri paling unggul pada hakikatnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap batas tersebut, seakan-akan manusia memiliki kewenangan menilai kedudukan hati di hadapan Allah.

Rasulullah juga memberikan peringatan tegas mengenai bahaya dari sifat sombong.  Menurut Imam al-Ghazali (1994), kesombongan merupakan karakter dan perilaku manusia yang cenderung memuji, mengagungkan, melebih-lebihkan, serta menempatkan diri sebagai sosok yang lebih unggul dibanding orang lain. Individu yang memiliki sifat ini akan memandang diri superior dan menilai orang lain lebih rendah. Kesombongan dapat muncul dalam berbagai aspek, seperti pengetahuan, amal, keturunan, penampilan fisik, maupun kekayaan. Taufikurrahman (2018) menukil hadis yang diriwayatkan Muslim bahwa kesombongan menjadi salah satu penghalang bagi manusia untuk memasuki surga. Dalam perspektif psikologi Barat, sifat ini disebut sebagai arrogance, yaitu kecenderungan yang berfokus pada kepentingan diri sendiri atau memperoleh kepuasan dari kemalangan orang lain, yang disertai dengan sikap angkuh serta kesenangan berlebihan (Smith & Kim, 2007).

Hadis sahih riwayat Muslim menegaskan bahwa seseorang yang memiliki kesombongan walau sekecil biji sawi di dalam hatinya tidak akan memasuki surga. Kesombongan ini tidak semata-mata tercermin melalui sikap lahiriah, seperti berjalan dengan angkuh, tetapi juga dapat bersemayam dalam ranah batin, misalnya merasa ibadahnya paling ikhlas atau menganggap ilmunya melebihi orang lain. Sejarah Islam menunjukkan akibat fatal dari sikap merasa diri lebih unggul ini melalui kisah Iblis. Dalam QS. Al-A’raf ayat 12, iblis menolak perintah untuk bersujud kepada Adam dengan dalih bahwa ia lebih mulia karena berasal dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Rasa superioritas inilah yang menjadi awal kehancurannya, meskipun sebelumnya ia telah beribadah kepada Allah selama ribuan tahun.

Dalam perspektif psikologi kontemporer, fenomena ini sejalan dengan konsep superiority bias, yakni kecenderungan individu untuk menilai kualitas positif dirinya secara berlebihan dibandingkan orang lain. Penelitian oleh Alicke dan Govorun (2005) mengungkapkan bahwa bias ini bersifat universal, muncul di berbagai budaya dan lapisan sosial. Dampaknya dapat meliputi munculnya egocentric thinking, yaitu pemusatan perhatian berlebihan pada keunggulan pribadi, hingga berkembangnya fixed mindset, yaitu suatu keyakinan bahwa kemampuan dan moral yang dimiliki sudah sempurna sehingga tidak memerlukan peningkatan lagi. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Dweck (2006), fixed mindset menjadi hambatan perkembangan diri karena membuat seseorang tidak lagi terbuka terhadap kritik atau masukan, bahkan menolak mempelajari hal-hal baru yang berpotensi untuk memperbaiki kekurangannya.

Jika ditinjau dari perspektif Islam maupun psikologi, perasaan bahwa diri adalah yang paling unggul akan memberikan dampak yang negatif. Dalam aspek spiritual, sikap ini berpotensi menghilangkan pahala amal karena melemahkan keikhlasan. Seseorang yang beramal demi mempertahankan reputasi sebagai yang “terbaik” mudah terjebak pada riya’ dan mencari apresiasi manusia, bukan keridaan Allah. Dari sisi sosial, sifat tersebut dapat memicu perpecahan dan menumbuhkan inferioritas pada orang lain, sehingga hubungan yang semestinya dibangun atas dasar saling menghormati berubah menjadi persaingan yang tidak sehat dan sarat prasangka. Sementara secara psikologis, rasa superior menghambat dorongan untuk memperbaiki diri, membuat individu cepat merasa puas atas pencapaiannya, serta meningkatkan risiko konflik interpersonal karena kesulitan menerima bahwa orang lain mungkin memiliki kelebihan yang tidak dimilikinya.

Islam menawarkan solusi yang komprehensif untuk mencegah dan mengobati penyakit hati ini. Konsep tazkiyatun nafs, atau pembersihan jiwa, menjadi kunci utama. Pembersihan hati dilakukan melalui ibadah yang ikhlas, muhasabah atau evaluasi diri, serta dzikir yang menumbuhkan kesadaran bahwa semua kelebihan berasal dari Allah. QS. An-Nahl ayat 53 menegaskan, “Dan segala nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. Kesadaran ini menanamkan kerendahan hati karena kita memahami bahwa kebaikan yang ada pada diri kita bukan hasil mutlak usaha pribadi, tetapi karunia yang bisa diambil kapan saja oleh Allah. Selain itu, Islam menganjurkan kita untuk menghargai kebaikan orang lain. Pandangan ini sejalan dengan prinsip psikologi positif yang menekankan strength-based approach, yakni memfokuskan perhatian pada kelebihan yang dimiliki orang lain, bukan hanya kekurangannya. Dalam penerapannya, setiap individu dipandang sebagai sumber pembelajaran: kita mengambil inspirasi dari kebajikan mereka dan menjadikan kekurangan mereka sebagai pelajaran agar tidak mengulanginya.

Dalam perspektif Islam, upaya mengatasi sifat merasa diri paling unggul dapat diperkuat melalui strategi psikologis seperti cognitive restructuring, yaitu proses melatih kesadaran diri dan menantang asumsi pribadi yang keliru. Contohnya, ketika muncul pikiran “saya lebih baik dari dia”, individu diarahkan untuk menggantinya dengan keyakinan bahwa “Allah yang menentukan siapa yang lebih mulia, dan mungkin terdapat keutamaan pada orang lain yang tidak ada pada saya”. Sikap mengunggulkan diri sendiri termasuk penyakit hati yang berdampak luas pada ranah spiritual, sosial, dan psikologis. Dalam ajaran Islam, perilaku ini tergolong kesombongan yang berpotensi menghapus pahala amal dan menyeret pelakunya pada dosa besar. Sementara itu, psikologi modern membuktikan bahwa sifat tersebut dapat menghambat pertumbuhan pribadi sekaligus merusak hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, diperlukan langkah pencegahan yang menyeluruh, memadukan proses tazkiyatun nafs menurut ajaran Islam dengan perbaikan pola pikir berdasarkan prinsip ilmiah psikologi.

Kesadaran akan hakikat kemuliaan sejati menuntun kita pada pemahaman bahwa penilaian manusia bukanlah tolok ukur utama, melainkan penilaian Allah terhadap kebersihan hati dan kualitas amal. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam hadis riwayat Muslim bahwa Allah tidak menilai rupa atau harta seseorang, tetapi memandang hati dan amal perbuatannya. Dengan mempraktikkan kerendahan hati, melakukan evaluasi diri secara berkesinambungan, dan menghargai kelebihan orang lain, kita dapat menghindari jerat halus namun berbahaya dari sikap merasa diri paling unggul. Temuan Haque dkk. (2021) mengungkapkan bahwa praktik spiritual Islam seperti dzikir, refleksi diri, dan sikap tawadhu‘ efektif dalam mereduksi kecenderungan merasa lebih baik dari orang lain serta meningkatkan kestabilan psikologis. Hal ini membuktikan bahwa ajaran Islam memiliki peran ganda bukan sekadar pedoman moral, tetapi juga sarana praktis dan terapeutik dalam penanganan masalah psikologis.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam. 1994. Tentang Bahaya Takabbur (Terjemahaman Kholilah Marhijanto). Surabaya: Tiga Dua

Alicke, M. D., & Govorun, O. (2005). The better-than-average effect. Dalam M. D. Alicke, D. A. Dunning, & J. I. Krueger (Eds.). The Self in Social Judgment (pp. 85–106). New York: Psychology Press.

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. New York: Random House.

Haque, A., Khan, F., & Sheikh, A. (2021). The role of Islamic spirituality in enhancing psychological well-being: Empirical evidence from Muslim populations. Journal of Religion and Health, 60(1), 25–42. https://doi.org/10.1007/s10943-020-01130-1.

Smith, R. H. & Kim, S. H. (2007). Comprehending envy. Psychological Bulletin, 133, 46-64

Taufikurrahman. 2020. Sombong Dalam Al-Qur’an: Sebuah Kajian Tematik. Tafsir, 8,1