Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025
Menguatkan inklusi sekolah melalui kolaborasi komunitas muslim berbasis nilai islam
Nur Widiasmara
Education for All (EFA) atau dikenal di Indonesia sebagai pendidikan untuk semua, secara global dianggap berhasil menjadikan pendidikan sebagai prioritas global. Namun seringkali pendekatan yang digunakan terbatas, cenderung fokus pada permasalahan guru, anggaran, dibandingkan melihat masalah secara keseluruhan. Pendidikan inklusif menawarkan perspektif yang lebih mendalam. Tujuannya mendorong prinsip keadilan sosial, kesetaraan, dan demokrasi. Secara makro, hal ini menuntut adanya perubahan penting dalam nilai dan keyakinan yang mendasari seluruh sistem pendidikan (Miles & Singal, 2009).
Secara mikro, ruang belajar yang inklusif dan penuh belas kasih di sekolah tentunya menjadi bagian penting dalam proses pendidikan. Lingkungan belajar yang inklusif di sekolah berperan penting dalam menciptakan pendidikan yang adil, setara, dan peka terhadap keragaman peserta didik. Desain pembelajaran harus mendukung perkembangan fisik, kognitif, sosial, emosiaonal, dan tentunya spiritual setiap peserta didik. Hal tersebut dapat dilakukan melalui tata ruang adapatif, aksesibel yang memadai, serta media pembelajaran yang ramah dan relevan dengan tahapan perkembangan setiap peserta didik (Susilowati dkk., 2025).
Selain itu, prinsip Universal Design Learning (UDL) dapat menjadi acuan agar semua peserta didik dapat berpartisipasi tanpa hambatan. Pengalaman belajar dirancang inklusif sejak awal sehingga dapat mengakomodasi semua peserta didik (Sewell dkk., 2022). Pendekatan ini tidak hanya menyesuaikan pembelajaran dan menambahkan akomodasi bagi semua peserta didik, namun juga dengan dukungan pendidik yang memiliki kompetensi inklusif yang membangun interaksi positif dan empatik.
Peran nilai-nilai Islam tentu juga dapat menjadi faktor yang mendukung keberagaman dan inklusi di sekolah. Surat Al-Hujarat surat ke-49 ayat 13, sering menjadi dasar tentang kesetaraan manusia dan tujuan penciptaan manusia yang beragam. Seperti yang termuat dalam terjemahannya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
Berdasarkan terjemahan tersebut, dapat menjadi dasar bagaimana sekolah menjadi ruang di mana semua peserta didik, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, dapat berinteraksi, berkolaborasi, dan belajar bersama. Tujuannya adalah untuk menghargai dan memahami perbedaan yang ada. Keberagaman tersebut dapat menjadi sumber pengalaman belajar bagi semua peserta didik. Selain itu, dapat menjadi dasar sekolah untuk menghapus diskriminasi. Sekolah dapat mengambil nilai-nilai moral, etika, dan karakter baik menjadi fokus utama pendidikan, selain akademik. Hal tersebut tentunya dapat mendorong lingkungan sekolah yang adil dan menjadikan semua peserta didik merasa dihargai.
Tantangan yang dihadapi sekolah dalam mengimplementasikan nilai inklusi tentu perlu menjadi perhatian dalam penerapannya. Ummah dkk. (2023) mengidentifikasi beberpaa tantangan utama yang perlu diatasi agar pendidikan inklusif dapat berjalan efektif. Salah satu tantangannya adalah kurangnya kesadaran dan sikap masyarakat terhadap hak-hak peserta didik berkebutuhan khusus. Sikap orang tua yang kurang mendukung dapat berdampak negatif pada sikap dan perilaku peserta didik. Hal ini memerlukan adanya edukasi yang dapat mengubah pandangan asyarakat dan orang tua. Kolaborasi antara sekolah, orang tua, masyarakat, dan pemerintah sangat penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung tercapainya sekolah yang berbelas kasih dan inklusif.
Sekolah dapat mengintegrasikan dukungan komunitas Muslim untuk menciptakan ruang berbelas kasih dan inklusif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melibatkan kemitraan yang kuat antara sekolah dan komunitas Muslim. Kemitraan ini dapat menjembatani pemahaman dan dukungan yang diperlukan sekolah. Hal ini didukung dengan temuan Latas dkk. (2015) yang menyimpulkan bahwa pendidikan inklusif membutuhkan kolaborasi guru, keluarga, peserta didik, dan masyarakat. Perubahan untuk menjadi sekolah yang penuh belas kasih dan inklusif tentunya perlu memetakan dan menganalisis perubahan di dalam sekolah, antar sekolah, dengan komunitas untuk memaksimalkan pendidikan inklusif.
Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa pendidikan inklusif menjadi implementasi nilai-nilai Islam yang dapat membentuk karakter peserta didik dan menumbuhkan keberagaman di lingkungan kelas. Melalui pendekatan tersebut peserta didik diajak untuk belajar menghargai dan menghormati keberagaman, sekaligus menumbuhkan akhlak mulia. Pendidikan inklusif dapat meningkatkan kesadaran peserta didik terhadap pentingnya keberagaman dan inklusi dalam kehidupan di komunitas masyarakat muslim.
Rianti dkk. (2025) memberikan gambaran bahwa perlu adanya dukungan kepada guru dan pihak sekolah dalam memperkuat pemahaman serta keterampilan dalam menerapkan ruang belas kasih dan inklusi di kelas. Selain itu, dukungan komunitas masyarakat dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan inklusif. Hal tersebut harapannya dapat menjadikan pendidikan inklusif sebagai salah satu strategi efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan membentuk karakter siswa yang berakhlak mulia seperti sikap empati, kasih sayang, toleransi, dan kerja sama.
Pendidikan inklusif bukan hanya sekadar pendekatan untuk mengakomodasi peserta didik berkebutuhan khusus, tetapi juga merupakan implementasi nilai-nilai keadilan sosial, kesetaraan, dan demokrasi. Secara makro, pendidikan inklusif menuntut perubahan fundamental dalam sistem pendidikan. Sementara secara mikro, hal ini diwujudkan melalui desain pembelajaran dan lingkungan belajar yang adaptif serta penuh belas kasih.
Nilai-nilai Islam, memperkuat landasan pendidikan inklusif dengan menekankan pentingnya menghargai keberagaman sebagai sarana untuk saling mengenal dan berkolaborasi. Dengan demikian, sekolah menjadi ruang di mana perbedaan dihargai dan menjadi sumber pengalaman belajar bagi semua. Kesadaran masyarakat dan dukungan orang tua terhadap hak-hak peserta didik berkebutuhan khusus perlu dikuatkan dan dibutuhkan kolaborasi antara sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk keberhasilan dalam implementasi pendidikan inklusif.
Daftar Pustaka
Latas, Á. P., Figueira, M. E. M., & Rivas, M. R. (2015). How inclusive education becomes a community project: a participatory study in the northwest of spain. The New Educational Review, 42(4), 177-188. https://doi.org/10.15804/tner.2015.42.4.15
Miles, S., & Singal, N. (2009). The Education for All and inclusive education debate: conflict, contradiction or opportunity? International Journal of Inclusive Education, 14(1), 1–15. https://doi.org/10.1080/13603110802265125
Sewell, A., Kennett, A., & Pugh, V. (2022). Universal Design for Learning as a theory of inclusive practice for use by educational psychologists. Educational Psychology in Practice, 38(4), 364–378. https://doi.org/10.1080/02667363.2022.2111677
Susilowati, E., Nursalim, M., & Purwoko, B. (2025). Desain lingkungan belajar yang mendukung pendidikan inklusif di pendidikan anak usia dini. Jurnal madinasika Manajemen Pendidikan dan Keguruan, 6(2), 126-135. https://doi.org/10.31949/madinasika.v6i2.13837
Rianti, Awalia, M., & Sari, H. P. (2025). Pendidikan inklusif sebagai wujud ajaran Islam dalam membentuk karakter dan keberagaman di kelas. QOSIM: Jurnal Pendidikan Sosial & Humaniora, 3(2), 551-557. https://doi.org/10.61104/jq.v3i2.936
Ummah, R., Safara, N. S. T., Kurnilasari, A. R. U., Dimas’udah, H. R., & Sukma, V. A. M. (2023). Tantangan atau hambatan dalam menerapkan pendidikan inklusi. Jurnal Madrasah Ibtidaiyah, 2(1), 111-118. https://journal.unusida.ac.id/index.php/jmi/article/view/1115