Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025

Implementasi Pendidikan Akhlak Mulia 

Irwan Nuryana Kurniawan

Pendidikan akhlak mulia: akhlak mulia apa yang penting dan perlu dikembangkan?

Berkaitan erat dengan akhlak mulia apa saja yang perlu dan penting dikembangkan, mungkin kita bisa mempertimbangkan dengan apa disebut oleh Imam Ibnu Qayyim  (Al Mishri, 2009) dalam kitab “Al-Madaarij” sebagai empat pilar utama akhlak mulia, yaitu kesabaran, keberanian, keadilan, dan kesucian. Pertama, kesabaran membantu anak-anak kita lebih tahan banting, mampu menahan amarah, tidak merugikan orang lain, bersikap lemah lembut, santun, dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu. Kedua, keberanian menjadikan anak-anak kita kuat untuk menjaga harga diri, mudah untuk membumikan norma dan kebaikan, ringan tangan, tidak ragu mengeluarkan atau berpisah dengan harta yang dicintainya, menggenggam erat ketegasan jiwa dan membelenggunya dengan tali baja yang tidak mudah putus asa. Ketiga, keadilan mengasah sikap anak-anak untuk terus berusaha meluruskan perangainya, membantunya memilah antara bersikap terlalu berlebihan dan bersikap terlalu kurang, mendorong untuk terus bersikap dermawan dan murah hati—sikap tengah-tengah antara kikir dan boros, menyuntikkan sifat pemberani—sikap tengah-tengah antara pengecut dan nekat, melahirkan sikap santun—penengah antara sifat pemarah dan rendah diri. Keempat, kesucian menjaga anak-anak kita untuk tidak tergelincir ke dalam perkataan dan perbuatan yang merendahkan dan menjatuhkan martabatnya (keji, kikir, dusta, menggunjing, mengadu domba), mendorong untuk selalu dekat pada perasaan malu yang merupakan kunci dari segala kebaikan.

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menamakan mereka abraaran (golongan berbuat baik) karena mereka telah berbuat baik terhadap orangtua dan anak mereka. Sebagaimana kamu memiliki hak atas anakmu, demikian pula anakmu memiliki hak atasmu” (HR Bukhari dalam Al Adabul Mufrad).

Akhlak mulia sebagai budaya sekolah

Akhlak Mulia bisa ditumbuhkembangkan melalui pengasuhan, pendidikan di sekolah, dan sosialisasi, dan akhlak mulia dapat menjadi otomatis melalui proses pembiasan sehari-hari. Program pengembangan akhlak mulia seharusnya menyediakan kegiatan-kegiatan spesifik yang mendukung berkembangnya akhlak mulia tertentu dan mendorong mereka untuk terus menerus menggunakannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Program pendidikan akhlak mulia yang memperhatikan profil keunikan setiap siswa lebih efektif dibandingkan program pendidikan karakter yang bersifat umum untuk semua siswa. 

Hanya meneriakkan slogan-slogan atau memasang spanduk terkait akhlak mulia, atau menyelenggarakan pertemuan bulanan secara insidental tidak akan efektif untuk menciptakan siswa-siswa dengan akhlak mulia tertentu. Diperlukan budaya sekolah yang sangat mendukung bagi tumbuhkembang akhlak mulia siswa. Budaya sekolah, menurut Deal & Peterson (2009) mempengaruhi apa yang akan menjadi fokus dari seluruh pihak yang ada di sekolah. Budaya sekolah mempengaruhi bagaimana mereka memiliki  keterikatan untuk semakin memperbanyak kesamaan diri mereka dengan apa saja yang dianggap penting dan berharga di sekolah tersebut. Budaya sekolah mempengaruhi bagaimana mereka menjadi bersemangat untuk bekerja keras  dan mencapai tingkat produktivitas tertentu sesuai dengan pencapaian tujuan yang ditetapkan sekolah.

Budaya sekolah mempertajam apa yang menjadi fokus dari perilaku harian dan meningkatkan perhatian terhadap apa yang penting dan berharga di sekolah. Jika norma dan nilai yang melandasi sekolah adalah memperkuat akhlak mulia, maka sekolah akan memfokuskan diri pada hal tersebut. Sekolah akan memfokuskan waktu, tenaga, dan sumberdaya yang dimiliki pada strategi-strategi pengajaran dan kurikulum yang membantu semua siswa memiliki akhlak mulia tertentu saat mereka lulus dari sekolah tersebut. Jadi, budaya mempertajam fokus.

Budaya sekolah membangun keterikatan diri untuk semakin memperbanyak kesamaan diri mereka dengan nilai-nilai inti yang dikembangkan sekolah tersebut. Jika ritual dan tradisi, seremoni dan selebrasi membangun perasaan kuat akhlak mulia sebagai ciri penting dari sekolah mereka, maka guru, siswa, dan staf sekolah akan mengidentifikasikan diri mereka dengan sekolah dan merasa terikat dengan tujuan-tujuan dan hubungan-hubungan yang ada. Budaya yang positif membangun komitmen.

Budaya sekolah yang positif meningkatkan dan memperkuat motivasi.  Ketika sebuah sekolah menghargai akhlak mulia, usaha-usaha penting yang menunjukkan dan mengarah kepada akhlak mulia, dan mendukung komitmen pencapaian akhlak mulia, maka guru, siswa, dan staf sekolah akan merasa termotivasi untuk bekerja keras, berinovasi, dan mendukung perubahan yang mendukung pencapaian akhlak mulia. Staf sekolah yang ditunjuk  secara teratur mengunjungi setiap kelas satu persatu, membagikan bahan-bahan dan ide-ide kurikulum, merayakan gagasan baru dan pencapaian seseorang, dan bahkan mengembangkan sebuah pertemuan bulanan tentang praktek-praktek inovatif mengajar. Mereka termotivasi bukan karena hal tersebut ada dalam deskripsi atau kontrak  pekerjaan mereka, tetapi karena mereka ingin melakukannya. Budaya positif menguatkan motivasi.

Budaya sekolah yang positif memperbaiki produktivitas dan efektivitas sekolah. Para guru dan para siswa kemungkinan besar sukses dalam sebuah budaya yang menghargai kerja keras, komitmen terhadap tujuan akhir, perhatian terhadap pemecahan masalah, dan fokus pada belajar seluruh siswa. Dalam banyak sekolah dengan budaya profesional yang kuat, para staf berbagi norma-norma tentang pentingnya rasa setia kawan dan saling memperbaiki di antara teman sejawat, menghargai belajar siswa di atas hasil akhir yang diperoleh, dan menganggap semua siswa bisa belajar jika mereka—para guru dan staf terkait—menemukan kurikulum dan strategi pengajaran yang efektif. Di sekolah seperti ini budaya sekolah bisa memperkuat pemecahan masalah, perencanaan, dan pengambilan keputusan secara bersama-sama terkait penguatan akhlak mulia siswa.

Peran keluarga dalam penguatan akhlak mulia anak

Mullins (2005) dalam bukunya, Parenting for character: Equipping your child for life, mengingatkan para orangtua untuk tidak mengandalkan dan menyerahkan begitu saja pendidikan karakter kepada pihak sekolah. Proses pembentukan karakter mendapatkan tantangan yang tidak ringan dan seringkali rusak karena terlalu cepat menerima nilai-nilai dari teman sebaya mereka atau pesan-pesan dari media. Budaya yang sangat dipengaruhi media dengan nilai-nilai dominan berupa penghambaan terhadap uang, seks, status, dan kekuasaan, dikhawatirkan dapat dengan mudah menggelincirkan anak-anak kita dalam arah yang salah. 

Diperlukan keterlibatan sungguh-sungguh dari keluarga di rumah dalam pendidikan akhlak mulia. Hal ini akan membantu anak-anak kita mengembangkan visi jangka panjang yang membuat hidup mereka menjadi bermakna, penuh etika, dan bermanfaat. Baumrind dkk (Streight, 2008), berdasarkan ratusan wawancara terhadap orangtua, anak-anak muda, dan orang dewasa lainnya tentang apa yang dilakukan orangtua untuk mengajarkan nilai-nilai dan karakter yang baik, menemukan bahwa menjadikan diri orangtua sendiri sebagai contoh yang baik bagi anak-anaknya merupakan strategi paling jitu dalam mendukung dan memperkuat berkembangnya karakter yang baik dalam diri anak-anak. 

Menjadi contoh bukan semata memperlakukan anak-anak kita dengan cinta dan kehormatan, tapi juga berhubungan bagaimana kita memperlakukan pasangan kita—sesuatu yang anak-anak kita memiliki ribuan kali kesempatan untuk mengamatinya. Perilaku pernikahan kita akan membekas dalam ingatan moral anak-anak kita. Ketika kita bertengkar, apakah kita memperlakukan pasangan secara adil? Apakah kita menggunakan bahasa yang kasar dan merendahkan pasangan ataukah kita masih bisa menjaga kata-kata dan nada bicara kita kepada pasangan dengan penuh penghormatan, bahkan ketika pertengkaran sedang memanas? Apakah kita saling memaafkan dan segera berbaikan kembali dengan pasangan ataukah kita masih memendam kemarahan dan kebencian kepada pasangan kita? Hasil penelitian tentang keluarga-keluarga yang sehat menunjukkan bahwa mereka secara umum memiliki ritual rekonsiliasi yang memungkinkan mereka untuk memaafkan satu sama lain dan melakukannya dengan segera.

Menjadi contoh berhubungan dengan bagaimana kita selaku orang tua mencontohkan berbicara kepada saudara, teman, tetangga, dan guru. Orang tua yang berkata di depan anaknya,”Ini PR yang tolol”, tanpa disadari sedang mencontohkan tidak hormat kepada guru dan ini akan sangat membekas dalam diri anak. Sikap tidak hormat biasanya dimulai dalam cara-cara yang sepele dan karena seringnya anak-anak melihat contoh tersebut, mereka menjadi tidak peka lagi—tidak menyadari lagi bahwa ucapan yang demikian menunjukkan tidak hormat kepada orang lain.

Menjadi contoh juga termasuk cara-cara yang kita perlihatkan untuk menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain di luar keluarga kita. Baumrind dkk (2008) mengisahkan bagaimana kesan mendalam yang dimiliki seorang anak melihat kepedulian nyata yang diperlihatkan kedua orangtuanya,”Ayahku seorang sukarelawan pemadam kebakaran dan masih tetap bersemangat melakukannya sampai sekarang, di usianya 60 tahunan. Ibuku juga selalu menjadi sukarelawan untuk beberapa kegiatan sosial kemanusiaan dan senang sekali membantu orang lain yang kekurangan. Banyak orang yang menyampaikan pujian kepada saya dan saudara saya tentang kebaikan orangtua kami.”

Unsur penting lainnya dari menjadi contoh adalah sikap moral yang kita ambil, terutama menyangkut sikap yang tidak populer bagi anak kita atau sesuatu yang aneh karena orang tua lainnya mengijinkan. Apa yang kita larang kepada anak-anak kita untuk  melakukannya? Permainan video yang mengandung kekerasan? Pertunjukkan TV dan film yang mempertontonkan seksualitas, kekerasan, atau bahasa kasar? Semua bentuk pornografi? Musik dengan lirik-lirik yang merendahkan kelompok tertentu? Pakaian tidak sopan? Pesta dimana disediakan makanan dan atau minuman haram? Kegiatan sampai larut malam? Pacaran? Apakah anak-anak kita tahu bagaimana sikap yang kita ambil terkait masalah-masalah moral terkini—aborsi (menggugurkan kandungan), perang dan perdamaian, kerusakan lingkungan hidup, penderitaan orang miskin? Jika kita sudah pernah mengambil sikap tertentu di tempat kerja atau di tempat umum atau bahkan dalam sebuah perbincangan dengan seseorang, sudahkan kita membagikannya kepada anak-anak kita?

Sikap yang kita ambil menunjukkan nilai-nilai yang kita yakini. Sikap yang kita ambil membuat anak-anak kita tahu apa yang sangat kita pedulikan dan kita akan memperjuangkannya meskipun menghadapi resiko tertentu. Itulah esensi jika kita berharap untuk mewariskan nilai-nilai kita dan menyampaikan pentingnya integritas dan keberanian sebagai karakter hidup mereka. Jika anak-anak kita tidak pernah melihat kita menunjukkan sikap yang kita yakini, tidak pernah melawan arus utama yang ada di masyarakat, bagaimana kita bisa mengharapkan mereka memiliki keberanian untuk menunjukkan sikap menghadapi tekanan dari teman sebaya mereka?

Kita juga bisa meningkatkan pengaruh kekuatan contoh yang kita miliki ketika kita memperlihatkan kepada mereka contoh peran yang positif. Misalnya mengundang makan malam ke rumah kita seseorang yang dikenal memiliki akhlak mulia, memberikan kesempatan kepada anak untuk melihat dan berbincang-bincang langsung dengan orang tersebut, dan kemudian bertanya kepada anak untuk membantu mereka mendapatkan gambaran pemikiran dan pengalaman orang tersebut. Anak-anak biasanya menikmati dan mendapatkan keuntungan dari mendengarkan percakapan orang dewasa.

Teman-teman jelas sangat penting dan menjadi model peran yang sangat berpengaruh. Kita harus menyediakan waktu untuk berbincang-bincang dengan anak-anak kita tentang siapakah teman yang sejati dan berbagi pengalaman pertemanan yang kita miliki dengan teman-teman kita. Berbagi pengalaman dari pengalaman kita sendiri saat muda akan sangat membantu anak-anak kita memahami kita sebagai pribadi dan sebagai orangtua dan cerita tersebut seringkali akan berpengaruh sepanjang kehidupan mereka. Kita bisa mengirimkan anak-anak kita ke sekolah di mana di sana ada budaya akhlak mulia—melakukan yang terbaik dan melakukan yang benar. Kita bisa mendorong mereka untuk bergabung dengan kelompok sebaya yang baik di mana mereka akan memiliki kesempatan untuk bertemu anak-anak lain dan bisa berbagi tentang nilai-nilai dan minat-minat mereka.

Kita juga bisa mengajak anak-anak kita ke masyarakat untuk menyaksikan langsung dan menjadi bagian kebaikan-kebaikan yang dilakukan masyarakat tersebut. Kita memberi mereka kesempatan untuk menunjukkan kepeduliannya kepada orang lain. Orang-orang yang kurang beruntung yang mungkin sebelumnya tidak pernah mereka temui. Anak-anak memiliki kesempatan untuk mengalami nikmatnya melayani orang lain, sebagai penangkal terbaik dari keterpusatan diri yang menjadi ciri dominan selama masa remaja. Pada saat yang bersamaan mereka dipertunjukkan kebaikan kolektif dari orang-orang yang baik hatinya.

Jika kita ingin contoh kita memiliki dampak yang maksimal, anak-anak kita perlu mengetahui nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang mendasari apa yang kita contohkan. Kita memang perlu melatih apa yang kita nasehatkan kepada anak-anak kita, tetapi kita juga perlu untuk menasehatkan apa-apa yang kita praktekkan. Baumrind dkk (2008) menyimpulkannya dalam sebuah ungkapan singkat “character is “caught” and “taught”. Karakter terbentuk melalui keaktifan anak untuk “menangkap” karakter yang dipertontonkan oleh kedua orang tua mereka dan keaktifan orang tua untuk “mengajarkan“ secara langsung tentang karakter yang mereka inginkan dari anak-anaknya.

Referensi

Al-Mishri, M. (2009). Ensiklopedia akhlak Rasulullah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Baumrind, D., Berkowitz, M.W., Lickona, T., Nucci, L.P., Watson, M., & Streight, D. (2008). Parenting for character: Five experts, five practices. Portland: Council for Spiritual & Ethical.

Deal, T., & Peterson, K. (2009). Shaping School Culture: Pitfalls, Paradoxes, and Promises. San Francisco, CA: Jossey-Bass. 

Mullins, A. (2005). Parenting for character: Equipping your child for life. Sydney: Finch Publishing