Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025
Ketika hati merasa sendiri: Memaknai kesepian dalam perspektif psikologi dan Islam
Hazhira Qudsyi
Pernahkah kita merasakan kesepian, sekalipun berada di keramaian? Pernah tidak Anda merasakan kesepian, sekalipun sering berbicara dan berinteraksi dengan orang? Apa sih sebenarnya kesepian itu? Adakah manusia di dunia ini yang tidak pernah merasakan kesepian? Kesepian bukan sekedar tidak adanya orang di sekitar kita, namun perasaan hampa yang dapat membuat hati kita kebingungan bahkan kehilangan arah. Di era modern sekarang ini, banyak orang hidup berdampingan, namun jarang yang benar-benar terhubung secara emosi dan psikologis. Padahal, Islam mengajarkan kita untuk saling mengenal, menguatkan, dan menolong.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Perumpaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakan sakitnya”. (H.R. Muslim).
Mengacu hadis tersebut, dapat dipahami bahwa sebenarnya manusia diciptakan untuk terhubung, baik dengan Allah, sesama manusia, dan lingkungan kita. Kesepian dapat menjadi ujian, tapi kesepian juga bisa menjadi pintu untuk lebih dekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan membangun hubungan dengan sesama manusia yang lebih bermakna.
Kesepian vs sendirian: Apa bedanya?
Jika mengacu teori, kesepian dapat dimaknai sebagai perasaan negatif subjektif terkait kurangnya jaringan sosial yang dijalin (social loneliness) atau tidak adanya pendampingan emosi yang diinginkan (emotional loneliness) (Valtorta & Hanratty, 2012). Vanderweele, Hawkley, & Cacioppo (2012) menjelaskan bahwa kesepian merupakan kesulitan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara kuantitas dan kualitas hubungan sosial yang diinginkan individu dengan yang sebenarnya didapatkan. Definisi lain dari kesepian adalah kekurangan yang dirasakan akan kuantitas, kualitas, atau jenis hubungan individu dengan orang lain, yang dapat mengarahkan pada emosi negatif dan dapat mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental individu (Russell & Pang, 2020).
Melihat makna kesepian tersebut, dapat dikatakan bahwa sebenarnya kesepian merupakan kondisi emosional yang wajar dan jamak dirasakan individu. Karena dalam kehidupan individu, tentu ada hal-hal yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, termasuk dalam hal kuantitas dan kualitas hubungan sosialnya. Tidak ada yang ideal dan sempurna. Itulah mengapa, pada masa-masa tertentu, individu pasti pernah merasakan kesepian. Namun perlu diperhatikan, sekalipun kesepian yang dirasakan individu dapat menjadi hal yang wajar, namun kesepian yang dirasakan individu jika berlarut-larut tentu akan dapat membawa dampak negatif. Sesuatu yang berlebihan tidak pernah ada yang baik. Sama halnya dengan perasaan kesepian.
Jika individu terus menerus merasakan kesepian, tentu akan berdampak pada dirinya, baik secara fisik maupun mental. Sudah banyak penelitian yang membuktikan dampak negatif kesepian jika hal tersebut dialami individu dalam jangka panjang, seperti berdampak negatif pada kesejahteraan subjektif (Tohirin & Qudsyi, 2024) dan kebahagiaan (Febrieta & Pertiwi, 2017), diasosiasikan dengan kesehatan mental dan fisik yang rendah, serta gaya hidup yang tidak sehat (Richard, et al., 2017), berpengaruh negatif pada kesejahteraan psikologis (Hayundaka & Yuniardi, 2023), dan berkaitan dengan perubahan fisiologis (Rokach & Patel, 2024).
Lantas, apa perbedaan antara merasa kesepian dan merasa sendirian, karena banyak orang sering menganggap keduanya sama. Jika melihat dari kata-katanya, memang terasa sama. Tapi sebenarnya, keduanya adalah hal yang berbeda. Kesepian (loneliness) lebih merujuk pada perasaan (afeksi, emosi) seseorang, keadaan emosional. Sementara “sendirian” (alone) lebih merujuk pada situasi yang dihadapi seseorang, keadaan fisik. Individu bisa saja merasakan kesepian, sekalipun sedang berada di tempat keramaian (secara fisik). Atau semisal memiliki banyak teman di media sosial, saling berkomentar atas unggahan, tapi bisa tetap merasakan kesepian.
Kalau merasa sendirian, secara literally, ya memang sendiri, tidak ada orang lain di sekitar kita. Misal, kita baca buku di kamar sendirian, jalan-jalan ke mall sendirian. Merasa sendirian, lebih cenderung netral sifatnya, ya tergantung perasaan kita saat berada di situasi sendirian itu, bisa positif atau negatif, dan tidak selalu disertai perasaan atau emosi sedih. Tapi jika kita merasa kesepian, seringkali itu akan disertai perasaan atau emosi sedih, bahkan hampa. Jadi sifatnya cenderung negatif. Kita bisa sendirian tapi tidak kesepian, atau kita bisa kesepian meski tidak sendirian.
Mengapa orang bisa merasa kesepian
Kadangkala ada seseorang yang tampak aktif bersosialisasi dan memiliki banyak atau tempat untuk berbicara, tetapi tetap merasa kesepian. Bagaimana penjelasan psikologis dari kondisi seperti ini? Nah itu tadi kita balik ke arti dari kesepian itu sendiri. Kesepian bisa dimaksudkan sebagai kesepian sosial (social loneliness), yang maksudnya bahwa memang ada kekurangan jaringan sosial pada seseorang, misal tidak punya banyak teman (terbatas). Dan ada juga kesepian yang bentuknya kesepian emosional (emotional loneliness), yang dimaksudkan sebagai kurangnya atau tidak adanya koneksi secara emosional secara bermakna dan mendalam.
Sekalipun mungkin secara fisik orang tersebut memiliki banyak jaringan sosial, tapi koneksi yang terjalin kurang (atau bahkan tidak) mendalam dan bermakna. Semisal, tidak ada sahabat dekat atau orang yang dapat dipercaya sepenuhnya. Kalau mengacu itu, maka sangat mungkin seseorang akan merasakan “kesepian” sekalipun memiliki banyak “teman” atau kenalan. Apalagi jika kita lihat lagi ke makna kesepian sebelumnya, bahwa kesepian adalah kesulitan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara kuantitas dan kualitas hubungan sosial yang diinginkan individu dengan yang sebenarnya didapatkan. Artinya, bahwa kesepian tidak selalu bicara masalah kuantitas, namun juga kualitas.
Kesepian di lingkungan urban
Di kota-kota, meskipun dikelilingi banyak orang, banyak yang justru mengaku sering merasa kesepian. Apa sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan kesepian di lingkungan perkotaan atau urban? Kembali ke penjelasan tadi, bahwa kita bisa sendirian tapi tidak kesepian, atau kita bisa kesepian meski tidak sendirian. Kesepian tidak selalu bicara masalah kuantitas, namun juga kualitas. Menariknya, jika kita melihat hasil penelitian, ternyata peningkatan kepadatan penduduk dan populasi dalam suatu lingkungan itu berkaitan erat dengan peningkatan rasa kesepian (tingkat kesepian yang lebih tinggi) individu yang berada pada lingkungan tersebut, dan sebaliknya, inklusivitas sosial dan kontak dengan alam dikaitkan dengan tingkat kesepian yang lebih rendah (Hammoud, et al., 2021).
Lantas, apa yang menyebabkan prevalensi kesepian lebih tinggi di lingkungan urban dibandingkan dengan daerah non urban? Bisa jadi, banyak dari orang-orang yang tinggal di daerah urban adalah pendatang, yang pindah karena studi lanjut atau pekerjaan baru. Adanya perpindahan (migrasi) ini tentunya akan mempengaruhi jaringan sosial mereka yang sudah ada, dan paparan terhadap lingkungan baru dapat menyulitkan mereka untuk menjalin relasi yang mendalam dengan orang lain. Tidak hanya itu, orang-orang yang tinggal di daerah urban ada kecenderungan memiliki rutinitas kerja yang padat, tuntutan pekerjaan, dan perjalanan jauh dari tempat tinggal ke lokasi kerja, dapat menyebabkan kurangnya waktu untuk bersantai dan bercengkrama dengan orang lain. Akibatnya, hubungan transaksional menjadi hal yang lumrah di daerah urban, dan membangun hubungan sosial yang kuat dan mendalam menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, materialisme dan perilaku kompulsi untuk berada di media sosial semakin mengurangi ruang lingkup dan kemauan untuk menjalin hubungan yang bermakna pada individu di lingkungan urban (Chhajer, Chaundhry, & Mishra, 2024).
Menariknya lagi, individu dapat memiliki tingkat kesepian yang lebih tinggi jika tinggal di lingkungan yang memiliki sedikit ruang hijau dan memiliki akses yang lebih sedikit ke ruang hijau berkualitas (Jamalishahni, Turrell, Foster, Davern, & Villanueva, 2023). Penelitian lain pun menunjukkan, bahwa bangunan dan lingkungan “terstruktur” yang dibangun, dapat memberikan dampak pada kesepian yang dirasakan individu. Bagaimana kemudian bangunan gedung seperti apartemen kecil, akan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam bersosialisasi, mengurangi kemampuan menjadi tuan rumah. Demikian pula dengan akses fisik ke ruang komunitas yang terbatas, dan ruang alami yang dapat memfasilitasi koneksi sosial dengan menyediakan tempat untuk interaksi, ini juga dapat mempengaruhi rasa kesepian seseorang (Bower, et al., 2023). Keterbatasan ruang hijau, sedikitnya akses ke ruang hijau, tempat tinggal yang “terbatas” secara sosial, jamak dialami oleh orang-orang yang tinggal di lingkungan urban. Sehingga bisa jadi itulah mengapa kesepian (bisa) banyak dirasakan oleh orang-orang di lingkungan urban. Meski tentunya ini juga perlu kajian (riset) yang mendalam lagi untuk bisa membuat kesimpulan seperti itu.
Kesepian dalam budaya kolektif
Dalam laporan WHO yang terbaru disebutkan bahwa prevalensi kesepian justru lebih tinggi di negara-negara dengan budaya kolektif, seperti Asia Tenggara dan Timur Tengah, dibandingkan dengan negara-negara berbudaya individualistik seperti di Eropa (WHO, 2025). Salah satu penyebabnya dikaitkan dengan stigma terhadap kesepian di masyarakat kolektif. Menurut laporan WHO, budaya kolektif justru menciptakan tekanan sosial tertentu yang membuat individu merasa malu atau enggan mengakui kesepian mereka. Mengapa bisa demikian? Ini hal yang menarik. Menurut saya, mengapa seseorang di lingkungan budaya kolektif cenderung lebih merasa kesepian, bisa jadi ada beberapa penyebab. Pertama, di budaya kolektif, kita sering dibiasakan untuk tidak mengungkapkan perasaan secara terbuka, terutama perasaan negatif. Terlebih lagi adanya anggapan jika kita menyampaikan perasaan (negatif) kita, itu akan bisa “membebani” orang lain. Perasaan kesepian termasuk sesuatu yang dipandang negatif pada kebanyakan orang.
Kedua, di budaya kolektif, kita cenderung terbiasa membangun relasi karena tendensi adanya “kewajiban” sosial. Misal, ikut arisan di RT karena merasa tidak enak kalau tidak ikut, apalagi jika semuanya pada ikut. Atau berteman hanya karena berada di satu komunitas. Atau menjalin relasi karena adanya norma adat tertentu. Jadi, kita berinteraksi dan membangun relasi lebih karena “terpaksa”, dan bukan karena adanya kenyamanan secara emosional. Ketiga, di budaya kolektif, kita cenderung ingin terlihat (tampak) bahagia dan harmonis. Karena identitas sosial menjadi hal yang sangat penting dalam budaya kolektif. Jadi jika kita mengakui kalau kita merasa kesepian, maka bisa jadi kita akan dianggap menyedihkan oleh orang lain dalam lingkungan kita, dianggap tidak punya sistem pendukung secara sosial.
Kesepian dalam perspektif Islam dan langkah-langkah mengatasinya
Dalam Islam, kesepian harus kita yakini sebagai bentuk ujian atau tantangan dari Allah subhanahu wata’ala. Sehingga, keyakinan kepada Allah (iman) inilah yang juga akan membantu individu dalam mengelola rasa kesepian. Sebagaimana firman Allah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 153).
Ayat ini mengingatkan kita, bahwa melalui kesabaran dan doa, orang beriman dapat menemukan kekuatan untuk mengatasi cobaan kesepian dengan keyakinan bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. Pada saat kita merasa kesepian atau kesendirian, berdoa dan mengingat-Nya dapat memberikan penghiburan dan rasa terhubung dengan tujuan lain yang lebih tinggi.
Lantas, apa yang dapat kita lakukan, sebagai Muslim, atas perasaan kesepian yang sangat mungkin muncul dalam kehidupan kita? Tentunya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh tiap Muslim supaya perasaan kesepian yang muncul tidak berlarut-larut. Sholat, berdoa dan memperbanyak ibadah, adalah hal pertama yang perlu dilakukan. Sholat adalah penghiburan yang penting bagi seorang Muslim, karena pada saat inilah manusia (seyogyanya) dapat terhubung dengan Allah, mengungkapkan seluruh kecemasan dan kegundahan yang dirasakannya, dan untuk meminta arahan dari Allah subhanahu wata’ala.
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُۗ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’du: 28)
Ketika mengalami suatu masalah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu bersegera sholat.
“Bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam apabila mengalami sesuatu masalah serius, beliau segera melakukan sholat”. (H.R. Abu Daud)
Hal kedua yang dapat dilakukan adalah berusaha untuk berinteraksi dalam komunitas yang mendukung. Islam menekankan kekuatan yang terdapat dalam komunitas (umat), karena dalam komunitas insya Allah akan tersedia jaringan dukungan, berbagi pengalaman, dan interaksi sosial yang teratur. Minimal sekali adalah interaksi di masjid, melalui sholat jamaah, mengikuti pengajian, maupun melaksanakan aktivitas-aktivitas keagamaan (perayaan hari besar Islam). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (Q.S. Al-Hujurat: 10).
Selain itu, individu dapat mencoba untuk mengikuti aktivitas kerelawanan (volunteering). Menjadi sukarelawan di komunitas (Muslim) dapat memberikan rasa memiliki dan tujuan pada individu. Bisa dengan membantu kegiatan di masjid, penyiapan sholat berjamaah di masjid, atau mengikuti kegiatan bakti sosial. Kegiatan-kegiatan ini dimungkinkan dapat membantu menjalin hubungan yang bermakna dengan orang lain.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًاۗ وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْاۗ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar (kesucian) Allah, jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qalā’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula mengganggu) para pengunjung Baitul Haram sedangkan mereka mencari karunia dan rida Tuhannya! Apabila kamu telah bertahalul (menyelesaikan ihram), berburulah (jika mau). Janganlah sekali-kali kebencian(-mu) kepada suatu kaum, karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (Q.S. Al-Ma’idah: 2)
Belajar dan berusaha untuk mencari pengetahuan tentang bagaimana mengatasi kesepian juga menjadi upaya yang penting dilakukan individu. Menuntut ilmu (Islam) dapat menjadi salah satu cara yang mencerahkan untuk melawan rasa kesepian. Menghadiri kajian, bergabung dengan majelis ilmu, atau bahkan mengikuti kursus Islam secara daring, dapat membantu mengisi kekosongan dan menghubungkan individu dengan individu lain yang memiliki situasi dan kondisi yang sama.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadilah: 11).
Yang utama dan paling penting, sabar dan refleksi. Kesabaran sangat dihargai dalam Islam dan dianggap sebagai obat untuk berbagai tantangan hidup, termasuk kesepian. Islam mengajarkan bahwa kesabaran bukan sekedar diam dan menahan diri, namun juga terlibat aktif dalam menemukan kedamaian melalui iman. Sebagaimana firman Allah:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
“Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar”. (Q.S. Al-Baqarah: 155).
PENUTUP
Kesepian bisa datang kapan saja, tapi seorang Muslim tahu bahwa hati tidak pernah benar-benar sendiri. Dekatkan diri kita kepada Allah, rangkul saudara-saudara (seiman) kita, tebarkan kebaikan kepada sesama, dan teruslah belajar. Dengan iman, amal, dan sabar, kesepian dapat berubah menjadi jalan untuk menuju kedekatan kepada Allah. Allahu’alam bish showab.
Bibliography
Bower, M., Kent, J., Patulny, R., Green, O., McGrath, L., Teesson, L., Rugel, E. (2023). The impact of the built environment on loneliness: A systematic review and narrative synthesis. Health and Place, 79, 1-15.
Chhajer, R., Chaundhry, S., & Mishra, A. (2024). Combating the mental health challenge of loneliness among urban youth: could finding meaning in life and experiencing thriving enhance their well-being? BMC Public Health, 24, 1-14.
Febrieta, D., & Pertiwi, Y. W. (2017). Efek kesepian terhadap hubungan antara persahabatan dan kebahagiaan. Jurnal Psiko Bhara Kajian Ilmiah dan Penelitian Psikologi, 1(1), 57-76.
Hammoud, R., Tognin, S., Bakolis, I., Ivanova, D., Fitzpatrick, N., Burgess, L., Mechelli, A. (2021). Lonely in a crowd: investigating the association between overcrowding and loneliness using smartphone technologies. Scientific Reports, 11, 1-11.
Hayundaka, A., & Yuniardi, M. S. (2023). Pengaruh harga diri terhadap kesejahteraan psikologis dan kesepian pada mahasiswa. Psychological Journal: Science and Practice, 3(2), 171-176.
Jamalishahni, T., Turrell, G., Foster, S., Davern, M., & Villanueva, K. (2023). Neighbourhood socio-economic disadvantage and loneliness: the contribution of green space quantity and quality. BMC Public Health, 23, 1-17.
Richard, A., Rohrmann, S., Vandeleur, C. L., Schmid, M., Barth, J., & Eichholzer, M. (2017). Loneliness is adversely associated with physical and mental health and lifestyle factors: Results from a Swiss national survey. PLoS ONE, 12(7), 1-18.
Rokach, A., & Patel, K. (2024). The health consequences of loneliness. Environment and Social Psychology, 9(6), 1-17.
Russell, D. W., & Pang, Y. C. (2020). Loneliness. In V. Zeigler-Hill, & T. K. Shackelford, Encyclopedia of Personality and Individual Differences (pp. 2674-2677). Springer International Publishing.
Tohirin, S. R., & Qudsyi, H. (2024). Kesepian dan subjective well-being pada emerging adulthood. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Valtorta, N., & Hanratty, B. (2012). Loneliness, isolation, and the health of older adults: Do we need a new research agenda? Journal of the Royal Society of Medicine, Supplement, 105(12), 518-522.
Vanderweele, T. J., Hawkley, L. C., & Cacioppo, J. T. (2012). On the reciprocal association between loneliness and subjective well-being. American Journal of Epidemiology, 176(9), 777-784.
WHO. (2025). From loneliness to social connection: Charting a path to healthier societies. Geneva: World Health Organization.