Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025
Muslim optimsi, Muslim tangguh
Fani Eka Nurtjahjo
Realitas kehidupan manusia modern saat ini menjadi tantangan besar bagi seorang muslim yang hidup didalamnya. Perubahan situasi yang begitu cepat dalam hal teknologi, ekonomi, dan budaya mau tidak mau turut membawa pengaruh pada pola relasi di dalam keluarga maupun di masyarakat, di dunia nyata maupun dunia maya. Arus informasi yang begitu cepat membanjiri dari segala penjuru global secara real time tidak jarang membawa konsekuensi psikologis seperti information fatigue, kebingungan tentang nilai (virtues values), serta mudahnya berita yang berisi framing untuk menggiring opini sosial maupun politik.
Terkadang, sulit bagi seorang individu muda muslim untuk menemukan pijakan yang stabil dan kokoh. Standard sosial yang tinggi dan kompetisi yang semakin ketat membuat orang lebih mudah membandingkan diri dengan orang lain, sekalipun dengan orang yang tidak dikenal secara langsung. Indikator kesuksesan yang diukur dari materi dan ketenaran berpotensi memunculkan relativisme moral. Lalu ia mulai mempertanyakan, “untuk apa semua ini?”. Hal ini menandakan urgensi penguatan karakter muslim agar mampu bertahan dan adaptif dengan zaman, tanpa harus meninggalkan identitas spiritualismenya.
Ada banyak PR (Pekerjaan Rumah) bagi kita sebagai cendekiawan maupun muslim generasi saat ini untuk lebih giat menumbuhkan, menguatkan, dan melakukan syi’ar tentang pentingnya membentuk karakter seorang muslim. Terdapat istilah yang disebut matinul qulub, yang berarti sifat dan perangai baik manusia yang tangguh dan kokoh yang tidak mudah terguncang oleh situasi apapun (Manshur, 2021). Sebagai muslim, seharusnya tiada yang patut kita harapkan kecuali Allah dan keselamatan di dunia dan akhirat. Menguatkan karakter seorang muslim sebagai bagian dari identitas diri diharapkan dapat menjadi modal kaum muslim untuk bersikap resilien. Sikap resiliensi ini termanifestasi dalam perilaku lekas bangkit dari keterpurukan, mudah beradaptasi, serta tetap berpikir positif dan berfungsi secara optimal menghadapi tekanan, kesulitan, serta perubahan dunia.
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan mengerucutkan pada 3 hal: berpikir positif/ optimisme, resiliensi, serta efeknya pada ketenangan hati. Berpikir positif dan optimisme dalam istilah ilmiah psikologi memang merupakan dua konstrak yang berbeda, namun memiliki banyak kemiripan. Menumbuhkan perasan positif berkaitan erat dengan tingkat resiliensi seseorang (Pillay dkk., 2022). Namun perasaan positif juga bisa muncul sebagai hasil dari sikap resiliensi individu dalam menghadapi pengalaman traumatik di masa lalu (Egan dkk., 2024). Disamping itu, Al-Qur’an juga telah mengajarkan kepada kita tentang hikmah dibalik berpikir positif agar hati kita menjadi tenang :
“… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 216)
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Husnudzan, Manifestasi Optimisme Muslim
Dalam Islam, konsep yang lebih dekat dengan optimisme dan berpikir positif adalah husnudzan. Huznudzan adalah cara berpikir yang bebas dari segala bentuk kompleksitas, prasangka, kebencian, dan berbagai emosi negatif lain (Khan, 2011). Pertanyaan mendasar dari pembahasan pada bagian ini adalah, “mengapa berpikir positif penting bagi seorang muslim?”. Jawabannya bisa pendek, tetapi juga bisa tidak habis dibahas dalam kajian berseri. Jawaban pendek yang paling tepat adalah, karena itu merupakan perintah Allah ﷻ dan teladan Rasulullaah ﷺ. Setidaknya, cukuplah dua hadis shahih berikut ini menjadi nasihat bagi kita:
“Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.”
(HR. Muslim)
Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta.”
(HR Bukhari & Muslim)
Jawaban yang lebih panjang dan menarik untuk dibahas adalah karena berpikir positif merupakan cara berpikir yang Islami (Islamic ways of thinking). Mengapa butuh Islami? Agar sejalan dengan identitas kita sebagai muslim. Konsekuensi dari iman tentu adalah menjalankan apa yang Allah perintahkan secara menyeluruh, tidak hanya dalam level idealisme, tetapi juga dapat tercermin dari pemikiran dan perilaku kita sehari-hari. Hanya ketika kita berpikir secara positif terhadap banyak hal yang terjadi dalam hidup kita, maka kita dapat lebih mudah menemukan hikmah dari apa yang Allah berikan di alam semesta ini.
Berpikir positif merupakan bagian dari sikap mental untuk mencari sisi baik dan setiap situasi. Bersikap positif bukan berarti menolak kenyataan, melainkan memilih untuk merespon apa yang terjadi dengan keyakinan, optimisme, dan juga tawakkal. Berpikir positif juga bagian dari akhlak yang baik. Ia tidak sekedar ‘bersikap netral’ dalam menyikapi sesuatu, melainkan mengembalikan penilaian yang lebih dekat kepada adil. Ia merupakan obat bagi penyakit hati, serta senjata ampuh untuk mengusir tipu daya musuh. Ingatlah pada betapa gigihnya syaitan untuk menjerumuskan manusia pada perasaan putus asa dan jauh dari rahmat Allah:
“Dosamu sudah terlalu besar. Tak mungkin Allah mengampunimu.”
“Kamu terlalu sering bermaksiat, untuk apa taubat jika diulangi?”
“Jika kamu merasa sempit, artinya Allah telah meninggalkanmu.”
Bayangkan betapa halus dan mudahnya kalimat tersebut melintas dalam pikiran seorang muslim yang kondisi psikologisnya sedang terpuruk. Dengan diterimanya pemikiran tersebut, seseorang bisa berhenti memohon ampunan Allah, menjerumuskannya pada dosa yang lebih jauh, serta menutup cahaya harapan. Padahal Allah ﷻ telah berfirman:
“Katakanlah (wahai Muhammad), wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Az-Zumar: 53)
Berikut juga hadis qudsyi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah رَضِيَ ٱللَّٰهُ عَنْهُ bahwa Rasulullaah ﷺ bersabda,
“Allah berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu majelis, Aku akan mengingatnya di majelis yang lebih baik dari itu. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya berlari.”
(HR. Bukhari no. 7405, Muslim no. 2675)
Optimisme, Resiliensi, dan Ketenangan Hati
Sejatinya, Allah meng-ilhamkan kepada setiap jiwa jalan kefasikan (fujur) dan juga jalan ketakwaan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Asy-Syams ayat 7-8 dan surat Al-Balad ayat 10. Dalam ayat-ayat ini Allah ingin menunjukkan kepada kita bahwa manusia memiliki potensi untuk memilih diantara dua jalan, yaitu jalan kebaikan dan keburukan. Dalam penjelasan tafsir Ibnu Katsir, Allah telah membekali manusia dengan pengetahuan sebagai fitrah, serta kemampuan untuk membedakan jalan yang baik dan buruk. Kemampuan ini menjadi ujian bagi manusia untuk memanfaatkan akal, cara berpikir, maupun nurani dalam mengarungi kehidupan. Jalan kefasikan membawa seseorang pada kesengsaraan, sementara jalan ketakwaan membawa seseorang pada ketenangan hati.
Lantas apa goals dari menguatkan optimisme dan resiliensi bagi seorang muslim? Apa manfaat yang mungkin didapat oleh seseorang saat menjalankan nilai-nilai Islam secara kaffah? Pertanyaan ini mungkin terdengar klise dan tabu bagi mereka yang terbiasa menjalankan agama dengan doktrin ataupun lahir sebagai muslim tanpa pernah mencari tahu kebenaran tentang mengapa ia harus ber-Islam. Namun saat tantangan zaman semakin mengaburkan nilai-nilai kebenaran, mencampuradukkan yang benar (haq) dan yang salah (bathil), maka menguatkan nilai-nilai Islami secara kritis menjadi penting untuk dibahas demi keberlangsungan dakwah dan menjaga generasi muslim di masa depan.
Kembali membahas jawaban dari pertanyaan sebelumnya, bahwa sesuatu membutuhkan tujuan. Ketika kita diminta menempuh jalan yang sulit dan banyak rintangan, tidak ada yang mampu membuat kita tetap teguh berjalan kecuali karena keinginan yang kuat untuk meraih apa yang menanti kita di tempat yang dituju. Husnudzan itu sulit, terutama bila dihadapkan pada situasi yang tidak sesuai harapan, rencana yang tidak berjalan sesuai kenyataan, serta bisikan jiwa yang mengotori iman. Bangkit dari kegagalan itu sulit, terutama bila pertolongan Allah terasa jauh, hidup orang lain terlihat lebih gembira dan riuh, serta hati yang terhalang untuk berdoa karena rasa angkuh.
Disinilah letak pentingnya seorang muslim untuk mengembalikan prasangka baiknya kepada Allah, karena Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, dan kita hanya akan mendapat balasan dari apa yang kita upayakan (Quran surat Al-Baqarah 286). Tuhan mana lagi yang demikian lembut kepada ciptaan-Nya sehingga teguran-Nya pun terasa seperti kasih sayang yang tulus, selain Allah ﷻ. Maka jawaban atas pertanyaan, apa tujuan dari menguatkan optimisme dan resiliensi bagi seorang muslim adalah ditanamkannya rasa tenang ke dalam hati.
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Seorang muslim yang mampu memelihara cara berpikirnya agar tetap positif menjadikan ia lebih mudah berdamai dengan dirinya sendiri. Sehingga ketika ia ditempatkan pada takdir yang tidak ia senangi, ia tetap mampu melihat cahaya harapan untuk bangkit dan menghadapi apa yang dunia bawa ke hadapannya dengan hati yang penuh dengan keyakinan baik. Berpikir positif bukan saja sekedar upaya optimisme tanpa perhitungan, melainkan wujud kesadaran jiwa seorang muslim untuk bergegas mengambil hikmah, serta bangkit dan menjadi ummat yang kuat dan unggul, sebagaimana diteladankan oleh Rasulullaah ﷺ dan para sahabat, serta generasi pendahulu. Mengambil cara berpikir positif sebagai bentuk optimisme seorang muslim, membawa pengaruh pada resiliensi, perjalanan penuh makna, serta ketenangan hati. Melatih diri dan generasi muslim untuk optimis bukan saja sebagai bentuk penyucian hati, tetapi juga bentuk penguatan iman dan jalan untuk meraih kebijaksanaan.
“Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh dia telah diberi kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 269)
Referensi :
Egan, L. A., Park, H. R., Lam, J., & Gatt, J. M. (2024). Resilience to stress and adversity: A narrative review of the role of positive affect. Psychology Research and Behavior Management, 2011-2038.
Khan, M. W. (2011). Islamic way of thinking. International Centre for Peace and Spirituality.
Manshur, M. H. A. (2021). Syarah 10 Muwashafat: Penjelasan Lengkap 10 Karakter Muslim Tangguh. Solo: Era Adicipta Intermedia.
Pillay, D., Nel, P., & Van Zyl, E. (2022). Positive affect and resilience: Exploring the role of self-efficacy and self-regulation. A serial mediation model. SA Journal of Industrial Psychology, 48(1), 1-12.
Click here to add your own text