Volume 1 Edisi 1, 2025
15 Agustus 2025
Perundungan pada mahasiswa: Antara gemblengan mental, kena mental, atau terdzalimi
Retno Kumolohadi
Masa pengenalan kampus bagi mahasiswa baru segera tiba. Seminggu masa pengenalan kampus itu umumnya diiringi dengan perploncoan. Meskipun saat ini dilarang manggunakan cara-cara kekerasan, perploncoan masih identik dengan kata-kata yang disampaikan dengan suara sangat keras dan tegas, komando tak terbantahkan, mahasiswa diminta membawa sesuatu yang mungkin keberadaannya susah dicari, harus mengikuti aturan ketat, dan hukuman bagi yang melanggar. Bagi yang melanggar akan dikenai hukuman yang lebih parah lagi karena diminta melakukan hal-hal yang aneh, mengada-ada, dan dianggap lucu sehingga menjadi bahan tertawaan kakak-kakak angkatan yang menjadi panitia. Perploncoan yang lebih ekstrim bahkan dapat berlanjut dengan bullying atau perundungan. Perundungan mungkin saja menjadi berkelanjutan ketika masa kuliah berlangsung.
Kementerian Kesehatan sangat serius menangani masalah perundungan, terutama bagi peserta didik bidang kesehatan. Sejak Juli 2023 hingga 9 Agustus 2024, Kemenkes telah menerima sebanyak tiga ratusan lebih laporan pengaduan perundungan melalui perundungan.kemkes.go.id) dan WA 081299799777. Aduan ini langsung diterima dan ditelusuri oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan. Kemenkes berjanji akan menindak tegas perilaku perundungan serta namanya akan ditandai dalam SISDMK sebagai pelaku perundungan. Aturan perundangan yang mengatur tentang masalah perundungan yaitu Instruksi Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023 tentang pencegahan dan perundungan terhadap peserta didik pada Rumah Sakit Pendidikan di lingkungan Kementerian Kesehatan (https://perundungan.kemkes.go.id/)
Definisi, karakteristik, dan dampak psikologis perundungan
Perundungan didefinisikan sebagai perilaku yang agresif tidak hanya konflik biasa, perilaku tersebut dilakukan secara sengaja dan berulang, serta terdapat ketidakseimbangan keskuasaan. Selain itu, terdapat konsekuensi kesehatan dari perilaku perundungan yang terjadi. Perundungan menimbulkan rasa sakit hati yang dipersepsikan sebagai kejadian yang berbahaya (Hellström, Persson, & Hagquist, 2015).
Perundungan merupakan perilaku tidak etis, menentang norma, serta menimbulkan dampak yang serius. Dalam budaya yang hierarkis, korban merasa tertekan untuk menahan pelecehan verbal atau perlakuan yang tidak adil karena takut mendapatkan penilaian atau perlakuan yang lebih buruk, tidak mau menambah keruh suasana atau khawatir mempengaruhi kinerja mereka ketika berhubungan dengan pelaku. Perundungan ini menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan berdampak negatif pada motivasi serta kesehatan mental. Pelaku biasanya dominan dan korban tak berdaya serta tidak dapat mempertahankan diri mereka (Stives, May, & Bethel, 2023). Adapun bentuk-bentuk perundungan yaitu verbal, fisik, sosial (relasional), dan cyberbullying.
Perundungan, seringkali menjadi masalah yang dapat memicu perasaan tidak berdaya, putus asa, sedih berkepanjangan, kehilangan semangat, dan kegembiraan. Gejala-gejala tersebut merupakan indikator kuat seseorang mengalami depresi. Kemungkinan lainnya, seseorang yang mengalami perundungan dapat terkena trauma. Pelaku perundungan sering berdalih bahwa hal-hal yang dilakukan itu dimaksudkan untuk menggembleng mental dan dalam rangka pembangunan karakter. Namun yang terjadi justru perundungan yang menyebabkan seseorang “kena mental”. Artinya, perundungan justru mengakibatkan korban mengalami gangguan mental dan harus dirujuk pada profesional.
Berkonsultasi pada profesional selama ini masih belum dimanfaatkan secara optimal ketika mengalami gangguan mental. Alih-alih berkonsultasi, mahasiswa tidak berani terbuka pada teman, atau pembimbing akademik. Mahasiswa masih ragu-ragu datang ke profesional seperti psikiater atau psikolog klinis di fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam beberapa kasus, mahasiswa memiliki perasaan malu atau takut untuk mencari bantuan karena stigma yang terkait dengan masalah kesehatan mental. Malu dan takut dikatakan bermental lemah sering menjadi penghalang berkonsultasi. Konsekuensinya adalah mahasiswa menyimpan beban masalahnya sendiri, masalah makin menumpuk, dan pada akhirnya justru dapat memperburuk kondisi mental (https://jurnalpost.com/dibully-kok-diam-aja-antara-stigma-rasa-malu-dan-ketakutan/73030/)
Pandangan Islam terhadap perundungan
Islam mengajarkan bahwa manusia dilarang mengolok-olok, memanggil dengan panggilan yang buruk dan menyakitkan, serta merendahkan. Allah menggolongkan kaum yang demikian itu sebagai orang yang takabur dan dzalim, kecuali kemudian bertaubat. Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 11 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ١١
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan lain karena boleh jadi yang diolok-olok lebih baik daripada perempuan yang mengolok-olok. Janganlah kamu mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah iman. Dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka itu orang-orang yang dzalim.”
Rasulullah Muhammad saw menentang keras terhadap orang yang melakukan perundungan dan kita diminta untuk menjaga agar tidak lepas kontrol dengan menutup aib saudara sesama muslim. Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim). Melalui pesan Rasulullah saw ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kehormatan diri dan orang lain. Ketika seseorang membuka aib orang lain maka Allah akan membuka aib itu suatu hari nanti. Perundungan intinya adalah menyebaran aib, membuat orang lain malu dan rendah diri karena kekurangannya dipertontonkan dan diperdengarkan di hadapan banyak orang.
Pencegahan dan strategi penanganan
Pencegahan perundungan dapat dimulai dari institusi atau lembaga pendidikan, apalagi pada institusi atau lembaga pendidikan berbasis islam. Dalam masyarakat muslim hendaknya mengamalkan al-Qur’an dan hadis dalam perilaku keseharian dengan menjaga setiap kata dan perbuatan, dan menghindari sifat-sifat agresif dan merusak. Penting bagi institusi atau lembaga pendidikan untuk menyediakan dukungan yang lebih baik bagi kesehatan mental mahasiswa. Skrining kesehatan mental, program konseling, ruang untuk berdiskusi secara terbuka di kampus, serta budaya suportif penuh empati penting diupayakan. Demikian pula untuk institusi pendidikan dapat menerapkan kebijakan nol toleransi terhadap perundungan. Dukungan sosial melalui saluran yang aman untuk melaporkan perilaku tersebut tanpa takut akan pembalasan dari pelaku. Dengan membuka hotline seperti yang dilakukan Kemenkes, hal itu dapat membuka jalan bagi mereka yang ingin mendapatkan keadilan. Secara keseluruhan, sangat penting untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat, adil, dan mendukung.
Bagaimana strategi penanganannya bila mahasiswa sudah mengalami perundungan? Berdoa untuk mencapai ketenangan yang identik dengan relaksasi merupakan cara terbaik. Ketenangan dapat dilakukan melalui pelaksanaan ibadah. Jadi saat menghadapi perundungan, sebaiknya disikapi dengan banyak beribadah. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 153 disebutkan
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٣
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Ketenangan juga akan didapatkan dalam iklim yang penuh dukungan. Dukungan orang tua, teman (peer support), dosen, serta professional yang bekerja sama dengan kampus sangatlah berharga. Lebih baik lagi apabila kemudian mahasiswa bisa memaafkan pelaku. Tentu upaya memaafkan ini dilakukan setelah mahasiswa telah berupaya untuk menyampaikan secara asertif dengan tenang kepada pelaku tentang apa saja yang dirasakan dan dipikirkan. Dengan memaafkan hati menjadi tenang dan terhindar dari dendam.
Lalu bagaimana dengan pelaku? Pelaku perlu mendapatkan penyadaran bahwa perilakunya berdampak negatif bagi orang lain dengan membalikkan bila dirinya yang mengalami. Singkat kata pelaku diajak untuk lebih berempati. Bila pelaku dibiarkan maka akan menjadi bibit bagi kepribadian antisosial Bila sudah dapat berempati, pelaku diharapkan terketuk hatinya untuk meminta maaf kepada korban dan juga bertaubat. Pelaku perlu tahu bahwa doa orang yang terzalimi karena perundungan yang dilakukannya akan diijabah Allah. Dalam pelaksanaannya hal ini tentu tidak semudah membalik tangan. Kedua belah pihak mungkin perlu dimediasi, misalnya oleh institusi yang dapat bertindak lebih netral. Dengan demikian penanganan kasus perundungan melibatkan banyak pihak terkait untuk mengupayakan agar terhindar dari dampak yang lebih serius akan terjadi.
Referensi
Hellström, L., Persson, L., & Hagquist, C. (2015). Understanding and defining bullying – adolescents’ own views. Archives of Public Health, 73(1). https://doi.org/10.1186/2049-3258-73-4
Stives, K. L., May, D. C., & Bethel, C. L. (2023). Parental Perspectives About What It Means to Bully. Journal of Family Issues, 44(12), 3273–3292. https://doi.org/10.1177/0192513X221129865
https://www.hadits.id/hadits/muslim
https://perundungan.kemkes.go.id/
https://jurnalpost.com/dibully-kok-diam-aja-antara-stigma-rasa-malu-dan-ketakutan/73030/