Volume 1 Edisi 1, 2025
14 Agustus 2025
Like, comment, envy: Evil eye dan hasad dalam media sosial
Annisaa Miranty Nurendra
Media sosial memungkinkan orang untuk berbagi berbagai macam informasi, baik yang bersifat profesional maupun yang bersifat personal. Informasi yang disampaikan tentunya ditanggapi secara unik oleh individu yang membacanya. Ada yang memberikan like, ada yang memberikan komentar, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Jika tanggapan yang diberikan bersifat positif, tentunya akan menjadi suatu hal yang positif pula. Beda ceritanya jika komentar yang diberikan bersifat negatif. Hate comment menjadi salah satu fenomena yang cukup menonjol di media sosial. Tidak hanya di dalam negeri, fenomena ini juga marak di luar negeri. Bahkan beberapa kali terdengar berita ada selebritis yang bunuh diri karena mendapatkan ujaran kebencian di media sosial. Di Indonesia sendiri, bahkan sampai muncul istilah adu nasib. Hal ini terjadi ketika ada seorang pengguna yang menceritakan kisah sedihnya di media sosial, kemudian mendapatkan komentar dari orang lain yang juga mengalami kisah yang serupa atau bahkan lebih berat. Ketika kemudian ada pengguna yang menceritakan kisah pencapaiannya, seringkali respon yang diberikan oleh pengguna lain adalah istilah seperti pansos atau panjat sosial.
Salah satu fenomena lain yang cukup penting dalam aktivitas sosial media adalah semakin banyaknya himbauan untuk berhati-hati terhadap penyakit ‘ain. Secara definisi, menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah, penyakit ‘ain muncul karena sifat kagum seseorang ketika menyaksikan sesuatu lalu disertai dengan jiwanya yang keji, kemudian melalui pandangan matanya menyampaikan racun kepada apa yang ia kagumi (Mufida & Nahar, 2023). Dalam Islam, penyakit ‘ain ini sebetulnya bukan merupakan suatu hal yang baru, ia telah lama muncul bahkan sejak zaman Rasulullah SAW. Dalam salah satu hadist, Rasulullah SAW bersabda : “Penyakit yang timbul dari pengaruh jahat ‘ain memang ada. Seandainya ada yang dapat mendahului qadar, tentulah itu pengaruh ‘ain. Karena itu apabila kamu disuruh mandi, maka mandilah!” (HR. Muslim).
Dampak dari penyakit ‘ain adalah dapat menyebabkan penyakit bagi penderitanya, akan tetapi penyebabnya bersifat non-medis. Penyakit ini mempengaruhi perasaan dan pikiran yang berdampak negatif bagi kesehatan pengidapnya, serta dapat menyebabkan gangguan fisik yang berbahaya hingga mengancam nyawa (Sari, Zailani & Usman, 2021). Dalam salah satu hadist diceritakan bahwa Rasulullah SAW membolehkan keluarga Hazm meruqyah bekas gigitan ular.” Dan beliau bertanya kepada ‘Asma binti ‘Umais: ‘Kelihatannya tubuh anak saudaraku ini kurus kering. Apakah mereka kurang makan?’ Jawab Asma’: Tidak! Mereka terkena penyakit ‘ain.’ Nabi SAW bersabda,’Ruqyahlah mereka!’ Lalu kuminta agar beliau sudi meruqyah mereka. Tetapi beliau tetap mengatakan: ‘Ruqyahlah mereka’ (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa penyakit ‘ain dapat menyebabkan kondisi yang serius.
Penyakit ‘ain bukan fenomena yang didapati di Indonesia saja. Pada komunitas muslim di luar Indonesia juga dikenal istilah evil eye, yaitu penyakit atau kesialan/kutukan yang diyakini terjadi karena pandangan iri dari orang lain. Rassool (2018) menyampaikan bahwa kajian psikologi terhadap evil eye pada masyarakat Muslim semakin meningkat karena memiliki dampak pada kesehatan fisik dan juga mental individu. Muslim di seluruh dunia memiliki perspektif masing-masing terhadap fenomena evil eye sesuai dengan budaya masing-masing, dan bahkan ada pula yang menganggapnya sebagai bagian dari sihir. Akan tetapi evil eye juga dapat dipahami sebagai suatu permasalahan psiko-spiritual, baik itu dari sisi pelaku atau penderitanya. Oleh karena itu memahami penyebab penyakit ‘ain dari perspektif psikologi menjadi penting untuk melihat fenomena ini secara ilmiah.
Penyakit ‘ain dalam perspektif Islam, disebabkan oleh sifat hasad yang ada dalam diri manusia. Rasulullah SAW bersabda, “‘Ain adalah sesuatu yang benar adanya, setan dan sifat hasad anak Adam selalu hadir bersamanya.” (HR. Ahmad). Hal ini juga termaktub dalam QS Al Falaq ayat 5, “dan dari kejahatan orang yang dengki (hasad), apabila ia dengki”. Hasad berarti tidak menyukai ketika orang lain mendapatkan hal baik atau kebahagiaan serta menginginkan kebaikan dan kebaikan tersebut hilang dari diri orang lain tersebut kemudian berpindah padanya. Hasad dalam Islam adalah salah satu penyakit hati yang perlu dihindari setiap Muslim. Hasad itu sendiri juga merupakan kondisi emosi yang juga dikenal dalam berbagai sejarah dan budaya umat manusia. Istilah Yunani epichairekakia, yang artinya bergembira atas kemalangan orang lain, serta istilah Jerman schadenfreude atau perasaan gembira yang muncul karena melihat atau mendengar kesulitan atau kegagalan orang lain, mencerminkan atribut emosional dan perilaku orang yang iri hati (Khan & Ghani, 2018).
Dalam kajian ilmu psikologi, iri hati (envy) adalah kondisi kejiwaan yang sebetulnya bersifat netral. Ada iri yang sehat yang dikenal dengan istilah “white envy”, yaitu merasa iri karena kagum atas hal baik yang dimiliki orang lain dan tidak disertai adanya keinginan agar orang lain tidak kehilangan hal baik tersebut. Di sisi lain, hasad adalah iri yang jahat (iri dengki) karena disertai keinginan agar orang lain kehilangan hal baik yang dimilikinya (Khan & Ghani, 2018). Menurut penelitian, white envy pada umumnya memiliki dampak yang baik bagi pelakunya, dimana efek yang muncul adalah pelaku white envy merasa termotivasi untuk memiliki pencapaian baik sebagaimana yang dimiliki oleh objek. Namun, hal tersebut berbeda bagi pelaku iri dengki. Mereka cenderung memiliki reaksi emosi dan perilaku yang negatif, seperti merasa cemas, depresi, memiliki keinginan untuk menyakiti orang lain, serta membuat lingkungan menjadi buruk. Pelaku iri dengki cenderung memiliki tingkat kesehatan dan kesejahteraan mental yang lebih rendah. Sedangkan dalam kajian psikologi Islam, orang yang memiliki sifat hasad digambarkan bahwa sifat tersebut memakan kebaikan seperti api memakan kayu, merasa sesak dengan kehidupannya karena selalu terngiang akan hal baik yang dimiliki oleh orang lain, tetapi tidak ia miliki, sehingga hidupnya tidak pernah bisa tenang.
Paparan di media sosial tidak dapat dihindari. Individu tidak dapat mengontrol apa yang akan dikirimkan oleh orang lain pada akun media sosial mereka, apakah itu sebuah informasi yang bersifat positif atau negatif. Akan tetapi, setiap orang bisa mengendalikan reaksi diri sendiri yang muncul atas unggahan informasi dari orang lain. Oleh karena itu, penting bagi siapa saja untuk dapat melindungi diri sebagai pelaku maupun objek supaya tidak mudah terbawa hasad maupun terkena penyakit áin dalam menggunakan media sosial maupun dalam bermasyarakat secara luas. Salah satu kunci menghadapi penyakit hati, menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah adalah dengan menyucikan jiwa dan memohon perlindungan kepada Allah SWT agar terhindar dari hasad serta penyakit ‘ain.
Beberapa strategi yang dapat digunakan adalah dengan merasa qanaáh atau merasa cukup, bersyukur dan merasa adil dengan apa yang diberikan Allah SWT kepada masing-masing orang-orang. Dengan mengasah pemahaman bahwa Allah SWT memberikan masing-masing orang rezeki yang berbeda-beda sesuai dengan kadar kebutuhan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak perlu merasa iri dengan orang lain, karena bisa jadi orang lain tidak memiliki apa yang kita miliki. Prinsipnya adalah tidak ada orang yang sempurna dan memiliki segalanya.
Qanaah atau merasa cukup juga dapat diterapkan terhadap diri sendiri. Perasaan senang dan bersyukur atas rezeki yang diterima saat ini, pada dasarnya akan mengantarkan pada kehidupan yang lebih tenang dan bahagia. Akan tetapi jika kehidupan dipenuhi dengan rasa iri dengki, maka yang akan terjadi justru adalah berkurangnya kemampuan untuk bersyukur dan mengapresiasi hal-hal baik yang telah dimiliki, terus menerus menyesali hal-hal yang terjadi pada dirinya sendiri dan merasa terluka, padahal luka itu disebabkan oleh dirinya sendiri dan bukan karena orang lain. Oleh karena itu, individu perlu untuk memahami beberapa hal prinsipal tersebut. Tentunya hidup akan terasa lebih adem jika ketika kita melihat unggahan positif milik orang lain kita dengan mudah menekan tombol like, menulis komentar yang suportif, dan juga ikut bersyukur dengan hal baik yang dimiliki oleh orang lain. Wallahuálam bishowab.
REFERENSI
Khan, I.A., Ghani, U. (2018). Hasad (malicious envy) and ghibtah (descent envy): history, culture and philosophy. Journal of Psychology & Psychotherapy, 8, 2.
Mufida, A.C., Nahar, M.H. (2023). Hadis-hadis tentang ‘ain : penyakit ‘ain perspektif ibnu qayyim al-jauziyyah dan relevansinya terhadap media sosial. Alif Lam: Journal of Islamic Studies and Humanities, 4,1.
Rassool, G.H. (2018). Evil Eye, Jin Possession and Mental Health Issues : An Islamic Perspective. New York : Routledge.
Sari, A.K., Zailani, Usman. (2021). Penyakit ‘ain dari perspektif hadits dan relevansinya dengan media sosial (kajian hadits tematik). Jurnal An Nur, 10, 2.