Volume 1 Edisi 1, 2025
14 Agustus 2025
Jika Tuhan ada dan jika Tuhan tidak ada
Ahmad Rusdi
Manusia adalah makhluk yang memiliki seperangkat Indera, perasaan, dan akal untuk mengambil kesimpulan. Namun, perangkat tersebut memiliki keterbatasan untuk mengambil kesimpulan absolut. Dengan demikian, pada dasarnya manusia selalu di ambang keraguan. Di sisi lain, manusia ingin keluar dari keraguan tersebut, sehingga manusia mencoba berbagai upaya nalar untuk mendapati kesimpulan yang tak terbantahkan. Sebagai contoh, René Descartes mendapati fakta bahwa semua realitas adalah meragukan, dan satu-satunya yang pasti adalah pikiran manusia yang sedang meragukan. Pikiran selalu ingin mengetahui (memiliki ide) kepastian (certainty) atau kesempurnaan. Padahal, manusia sendiri tidak sempurna, maka kesempurnaan itu pasti datang dari entitas lain Yang Maha Sempurna. Argumen ontologis inilah yang dipakai René Descartes sebagai jalan keluar dari ketidakpastian. Namun demikian, banyak manusia yang tidak puas hanya dengan penalaran, sebagaimana kecenderungan manusia yang lebih senang dan lebih mudah percaya pada hal-hal indrawi, tapi di satu sisi lain membuat mereka tidak pernah menemukan kepastian tentang tujuan hidupnya yang lebih bermakna. Termasuk pertanyaan tentang, “apakah Tuhan ada?”, “bagaimana bukti ilmiahnya?”, “mengapa Tuhan tidak menunjukkan kehadirannya?”, dan pertanyaan lain yang menunjukkan keraguan seseorang atas entitas Tuhan.
Jika Tuhan ada
Jika Tuhan ada, dan manusia mengufurinya, maka manusia akan menjadi makhluk yang merugi. “Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman…”. Kerugian yang akan didapat bukan hanya kerugian biasa, tapi kerugian infinitif. Kerugian yang terburuk dari segala jenis kerugian. Bahkan, jika mereka menganggap kebaikan mereka di dunia sebagai kesuksesan dan keberhasilan sejati, padahal itu akan sia-sia jika mereka tidak beriman. Ini sebagai dijelaskan dalam al-Kahfi:103-106
قُلۡ هَلۡ نُـنَبِّئُكُمۡ بِالۡاَخۡسَرِيۡنَ اَعۡمَالًا ؕ … اَ لَّذِيۡنَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِى الۡحَيٰوةِ الدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُوۡنَ اَنَّهُمۡ يُحۡسِنُوۡنَ صُنۡعًا…. اُولٰۤٮِٕكَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمۡ وَلِقَآٮِٕهٖ فَحَبِطَتۡ اَعۡمَالُهُمۡ فَلَا نُقِيۡمُ لَهُمۡ يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ وَزۡنًـا… ذٰلِكَ جَزَآؤُهُمۡ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوۡا وَاتَّخَذُوۡۤا اٰيٰتِىۡ وَرُسُلِىۡ هُزُوًا ..
“Katakanlah (Muhammad), “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?” (103) (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya (104). Mereka itulah orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal mereka, dan Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari Kiamat (105). Demikianlah, balasan mereka itu neraka Jahanam, karena kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai bahan olok-olok.” (106)”
Dijelaskan bahwa ciri-ciri mereka adalah mengejar dunia dan mengira menjadi orang yang paling produktif di dunia. Namun mereka kufur atas tanda-tanda keberadaan Allah. Bahkan, mereka menjadikan tanda-tanda keberadaan Allah sebagai olok-olok, maka segala capaian yang dia lakukan di dunia sesungguhnya tidak memberikan manfaat apa pun di akhirat. Keuntungan yang dia rasakan hanya bersifat terbatas, seperti tanaman yang awalnya subur, namun lama kelamaan pasti kering (al-Ḥadīd: 20). Seperti permainan ketika sudah selesai, maka akan berakhir (al-‘Ankabūt: 64). Seperti keindahan yang memukau, namun pada akhirnya akan sirna (Āli ‘Imrān: 185). Setelah itu, dirinya akan menemui kerugian dan penderitaan yang tak terbatas karena keingkarannya terhadap tanda-tanda keberadaan Allah yang sangat jelas (Fuṣṣilat: 52).
Sebaliknya, bagi yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, maka akan merasakan kebahagiaan infinitif di alam akhirat (al-Kahfi: 107-108; al-Ḥajj: 23; al-Fatḥ: 5). Mereka lebih memilih takut untuk mengambil risiko, mereka takut berbuat kufur, mereka takut mengalami kerugian infinitif, dan mereka memang orang-orang yang takut akan Rabb-nya (khasya Rabbah). Sebaliknya, orang-orang yang kufur mengolok-olok agama dengan perkataan bahwa agama adalah dogma yang menakut-nakuti manusia, mereka justru yang akan merasakan kerugian infinitif. Padahal rasa takut bukanlah tercela, takut kepada Allah adalah terpuji dan merupakan pilihan terbaik dan paling rasional dari ketidakpastian hidup manusia.
Jika Tuhan tidak ada? Skenario taruhan Pascal
Anggap Tuhan tidak ada (sekalipun tidak mungkin) dalam sebuah skenario. Orang beriman fokus untuk mengejar akhirat, beberapa di antaranya berhasil dalam capaian dunia dan beberapa di antaranya gagal dalam urusan dunia. Maka, kerugian akan dialami oleh orang yang gagal dalam urusan dunia, itu pun hanya merasakan kerugian yang terbatas, kerugian yang sementara, dan mungkin kerugian kecil. Bahkan bisa saja orang beriman mengalami keberhasilan dunia yang melimpah. Sebaliknya, orang yang tidak beriman juga bisa mengalami kegagalan duniawi.
Skenario tersebut merupakan bagian dari skenario taruhan yang dikemukakan oleh Blaise Pascal. Skenario yang mengasumsikan manusia dalam ketidakpastian apakah Tuhan ada atau tidak. Pascal mengemukakan bahwa kerugian terbesar adalah ketika seseorang memilih untuk tidak percaya Tuhan, karena penderitaan infinitif hanya berlaku pada orang yang tidak beriman. Sebaliknya, kebahagiaan infinitif hanya berpeluang pada orang yang beriman. Oleh karena itu, dalam surat al-‘Aṣr, dikatakan bahwa semua keadaan manusia adalah rugi, kecuali bagi orang yang beriman.
Demi (karena) masa, maka manusia harus memilih beriman
Satu-satunya hal yang menyebabkan manusia harus beriman adalah keterbatasan manusia untuk mengungkap kepastian. Manusia tidak hidup di dunia selamanya, manusia memiliki hidup yang terbatas, namun makna hidup manusia menolak untuk dibatasi pada hal-hal duniawi. Manusia selalu ingin memiliki makna dan tujuan hidup yang melampaui dari kehidupan dunia itu sendiri. Jika makna hidup manusia hanya untuk kehidupan dunia, maka seketika itu tujuan hidup manusia sama dengan hewan, seketika itu juga esensi manusia menjadi hilang.
Satu-satunya jalan untuk mengatasi keterbatasan waktu yang manusia miliki adalah dengan beriman kepada Allah. Dengan iman kepada Allah, manusia memiliki makna hidup yang melampaui keduniaan. Dengan iman kepada Allah, manusia akan beramal saleh di dunia dengan tujuan yang berharga dan bernilai luhur. Ini menjadi pilihan yang terbaik dan paling rasional, tidak salah jika mereka ingin umat manusia mengikuti cara ini (tawāṣaw bi al-ḥaqq). Mengajak mereka kepada kebenaran dan kepada satu-satunya peluang kebahagiaan. Sekalipun banyak penolakan, tapi rasa cintanya kepada sesama membuat mereka tidak berhenti untuk terus menasihati (tawāsaw bi al-ṣabr).