Volume 1 Edisi 1, 2025
14 Agustus 2025
Empat tahap peningkatan kualitas zikir: Dari kesadaran hingga transformasi spiritual
Ahmad Rusdi
Kita telah mengetahui bahwa zikir yang dipahami oleh masyarakat hanya sebatas pada ucapan verbal, padahal makna zikir lebih luas daripada itu. Secara bahasa, zikir artinya mengingat. Namun, secara lebih spesifik, mengingat yang dimaksud bukan memorizing, melainkan mengingat secara reflektif. Makna lain dari zikir juga bisa “menyebutkan”. Zikir juga bisa bermakna teringat. Sekarang terlihat bahwa zikir bersifat luas, dapat dilakukan dengan lisan, perenungan, dan lebih dalam lagi, zikir merupakan suatu bentuk keterhubungan yang mendalam kepada Allah. Karena kualitasnya yang bertingkat, berikut ini dibahas secara singkat bagaimana mencapai tiap level kualitas zikir.
Menyadari
Pada level ini, seseorang merefleksikan dirinya terkait seberapa dirinya dekat atau jauh dengan Allah. Sering lupa atau sering ingat dengan Allah. Membangkitkan keinginan untuk menghubungkan dirinya dengan Allah. Refleksi diri terkait seberapa dirinya bisa menghadirkan Allah di dalam tiap zikir dan ibadah. Membangkitkan keinginan untuk meningkatkan kekhusyukan. Refleksi diri terkait jumlah dan kontinuitas zikir yang telah dilakukan selama ini. Membangkitkan keinginan untuk meningkatkan intensitas zikir.
Melatih Diri
Lakukan zikir di mana pun berada secara responsif, gunakan kalimat zikir untuk merespons kejadian, keindahan, kenikmatan, ketakjuban, penyesalan, dan sebagainya. Latihan terus hingga membentuk kebiasaan. Lakukan zikir dalam waktu khusus, sebaiknya di malam hari, sampai benar- benar merasakan kehadiran Allah di dalam hati ditandai dengan respons luapan spirit-emosional.
Latihan terus hingga merasa bahwa zikir adalah kebutuhan. Secara perlahan, meningkatkan intensitas zikir, dimulai dari zikir yang paling mudah dan paling relevan dengan keadaan hidup. Berlanjut dari hari ke hari semakin meningkat frekuensi zikir. Zikir bisa dimulai dari ungkapan kebersyukuran, ucapan ḥamdalah menunjukkan koneksi antara zikir dan kejadian hidup. Bahkan, Alquran menjelaskan bahwa zikir dengan cara bersyukur merupakan bentuk interaksi dua arah antara Allah dan makhluknya.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (al-Baqarah [2]:152)
Anda mulai menyadari adanya pemberi nikmat dengan berbagai jenis nikmat dan kesenangan. Anda akan merasakan adanya keinginan untuk merespons nikmat tersebut dengan amal saleh sebagai bentuk syukur. Munculnya keinginan dan kesenangan dalam bersyukur sebagai bentuk mengingat Allah. Pada level berikutnya, mintalah dianugerahi rasa syukur yang besar (ij’alnī a’ẓam shukrik) (Ibn Kathīr, 1998).
Mendalami
Zikir bukan sekedar kebutuhan, lebih dari itu, zikir dipahami menjadi suatu kepastian hidup diri. Dalam melihat apa pun , dapat memahami segala sesuatu dengan perspektif kehadiran Allah. Terus menerus terhubung dengan Allah, sehingga terpengaruh dalam terkendalinya perilaku keseharian. Kontinuitas zikir menjadi penting. Zikir tidak lagi bisa dihitung, zikir sudah menjadi refleks baik lisan maupun di dalam hati secara berkelanjutan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya.” (al-Ạḥz̄ab [33]:41)
Maksud dari berzikir “yang banyak” bisa berarti banyaknya variasi ekspresi untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik berupa penafian entitas selain Allah, pujian kepada Allah, tasbih, dan pengagungan kepada Allah (al-Sa‘dī, 2000). Tanamkan dalam diri bahwa zikir adalah kemestian, satu-satunya ibadah yang tidak boleh ditinggalkan adalah berzikir. Tanamkan bahwa tidak ada ‘udzur atau pemakluman atas meninggalkan zikir. Karena ketika seseorang meninggalkan zikir, seketika itu seseorang lupa kepada Allah. Satu-satunya keadaan lupa kepada Allah yang dapat dimaklumi adalah keadaan hilang kewarasan akal (al-Baghwī, 1989).
Kontinuitas zikir adalah kemestian, sadari bahwa diri ini adalah makhluk dan Allah adalah khāliq. Pahami bahwa zikir artinya terus terhubung dengan Allah, baik dalam keadaan bangun atau berbaring (al-Nisā’: 103), malam atau siang (al-Aḥzāb: 42), sehat atau sakit (Ali ‘Imrān: 191), terang-terangan atau sembunyi. Anda akan merasakan diri Anda berusaha untuk selalu terhubung dan menjaga kesadaran dirinya untuk dekat dengan Allah.
Berusaha menjaga kedekatan dirinya kepada Allah merupakan ciri individu di level ini. Zikir di level ini merupakan bentuk kesadaran bahwa konsekuensi dari keimanan adalah senantiasa berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Taqarrub dilakukan dengan melakukan apa pun yang diridai-Nya di setiap waktu dan keadaan (Ṭanṭāwī, 1997).
Transformasi
Tahap ini merupakan hasil dari zikir, yaitu pengalaman tertinggi, mengambil hikmah dari awal hidup hingga saat ini. Mengalami perubahan hidup yang berpusat pada perubahan kehidupan spiritual yang berdampak pada kualitas diri secara keseluruhan. Menjadi manusia yang terhubung antara dirinya, Allah, dan alam. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Alī ‘Imrān ayat 191.
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(ulū al-albāb adalah) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.”
Level zikir yang akan Anda alami berada level transformasional. Zikir sudah menjadi sifat bagi ulū al-albāb, yakni manusia yang mengoptimalkan kapasitas intelektual-holistiknya (bukan hanya kognitif) (al-Sa‘dī, 2000). Anda akan selalu mengingat Allah dalam keadaan apa pun, serta menjadikan pengalaman hidup, pengetahuan, lingkungan, dan alam semesta sebagai sebuah kesatuan yang menunjukkan mutlaknya eksistensi Allah. Kekaguman pada Allah menjadi ekspresi emosional yang autentik pada anda di level ini. Kekaguman yang menghasilkan ketenangan dan kedamaian dalam hati, yang tidak bisa diganggu dengan apa pun.
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُۗ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tentram.” (al-Ra’d: 28)
Anda akan memiliki hati yang selalu menentramkan diri (taṭmainn al-qulūb) dan selalu lapang dada (sharḥ al-ṣudūr) (Ṭanṭāwī, 1997). Anda akan merasakan adanya kesatuan (tahuḥīd), konsistensi, dan koherensi antar alam semesta sebagai tanda kebesaran Allah dengan diri Anda sebagai seorang hamba. Ini merupakan level pengenalan Allah (ma’rifah) yang membuat diri anda ikut dalam koherensi kehendak-Nya (al-Sa‘dī, 2000).
Referensi
Al-Baghwī. (1989). Ma’ālim al-tanzīl (derived knowledge) (’Abd Allāh al-Namr, ’Uthmān Jum’ah, & S. M. Al-Harsh, Eds.). Dār Ṭaybah. http://waqfeya.com/book.php?bid=1684
Al-Sa‘dī. (2000). Tafsīr al-Karīm al-Raḥmān fī tafsīr kalām al-Mannān. Mu’assasat al-Risālah.
Ibn Kathīr. (1998). Tafsīr al-Qurʾān al-ʿaẓīm. Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah. https://shamela.ws/book/23604
Ṭanṭāwī, M. S. (1997). al-Tafsīr al-wasīṭ li al-Qurʾān al-karīm. Dār Nahḍat Miṣr li al-Ṭibāʿah wa al-Nashr wa al-Tawzīʿ. https://shamela.ws/book/23590