Pusat Studi Psikologi Islam Menggelar Kajian “Paradigma Profetik sebagai Landasan Psikologi Islam”

Pusat Studi Psikologi Islam Menggelar Kajian “Paradigma Profetik sebagai Landasan Psikologi Islam”

Pusat Studi Psikologi Islam mengawali kegiatan rutinnya di 2019 dengan menggelar kajian tentang pengembangan psikologi Islam. Kajian ini didesain sesistematis mungkin dengan memulai pembahasan terkait landasan atau basis filosofis dalam perkembangan ilmu. Acara ini dihadiri oleh dosen-dosen psikologi UII dengan menghadirkan guru besar Antropologi Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra MA., M.Phil., pada Senin, 4 Maret 2019.

Prof. Heddy menuturkan bahwa ilmu pengetahuan di Indonesia kurang dapat berkembang karena pemahaman mengenai paradigm yang kurang baik. Itulah mengapa perkembangan psikologi Islam mengalami beragam kendala, salah satunya disebabkan adanya perbedaan paradigma. Menurutnya, paradigma ialah perspektif, metaphor, atau kerangka pemikiran (yang terdiri dari berbagai unsur, menjadi tataran pemikiran). Dalam kajian ini, Prof. Heddy mengkritik pemikiran Thomas Kuhn terkait pemikiran Kuhn yang kontroversial di buku yang diterbitkan tahun 1962, The Structure of Scientific Revolution, bahwa teori Thomas Kuhn tidak dapat menjelaskan definisi paradigm secara konsisten.

Prof. Heddy memiliki pandangan yang lebih mendetail terkait paradigma. Ia mendefinisikan paradigma mencakup 9 hal, yaitu (1) Asumsi dasar (basic assumptions), (2. Nilai-nilai (values), (3). Model (analogy, perumpamaan), (4). Masalah yang diteliti (problem-problem), (5). Konsep-konsep (concept, keywords), (6). Metode penelitian (method of research), (7). Metode analisis (method of analysis), (8). Teori (theory), serta (9. Representasi (representation).

Dapat ditarik pemahaman bahwa jika asumsi dasar dari sebuah pemikiran itu  berbeda, maka representasinya juga berbeda. Asumsi dasar (anggapan-anggapan) menjadi hal yang terpenting dalam sebuah paradigma. Prof. Heddy mengungkapkan bahwa asumsi atau pandangan yang kita anggap benar belum tentu dianggap benar oleh kelompok lain. Asumsi dasar menjadikan sudut pandang menjadi berbeda. Dengan demikian, tidak perlu berdebat pada level asumsi.

Psikologi Islam yang selama ini didengungkan di berbagai universitas termasuk di Psikologi UII, merujuk pada landasan Islam terutama paradigma profetik. Paradigma profetik ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan karena di luar penganut agama Islam, mereka tidak meyakini asumsi dasar ini. Model pengetahuan Barat sangat menekankan pembahasannya dalam tataran empiris saja, sebaliknya, model perspektif Islam membahas secara paripurna melampaui tataran empiris, yaitu ada prophet (knowledge & servanthood), dan God (the creator of universe). Hal inilah yang membedakan model pengetahuan Barat dengan model pengetahuan perspektif Islam. Model ini berdampak pada nilai-nilai yang dianut, yaitu pada orang Islam pemikiran ini melahirkan penghambaan kepada Allah. Kondisi ini berkebalikan dengan model perkembangan ilmu pengetahuan Barat yang menghamba pada science, dan tidak sampai kepada penciptanya.

Prof. Heddy di akhir kajian menyampaikan bahwa filsafat profetik berusaha mengembalikan ilmu pengetahuan pada asumsi dasar yang seharusnya, yaitu wahyu. Proses perjuangan ini caranya dengan mendasarkan pada “asumsi dasar”. Prof. Heddy menyatakan bahwa filsafat profetik dapat mengakui kedudukan wahyu sebagai pengetahuan dan sumber pengetahuan. Tidak lagi mendikotomi atau mengislamisasi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Nabi dapat dianggap ilmuwan yang ilmu pengetahuannya  bersumber dari Allah swt. Prof. Heddy berharap pemahaman dasar ini dapat menjadi landasan dalam pengembangan psikologi Islam tanpa dibenturkan dengan beragam paradigma psikologi modern yang telah mapan saat ini. ***

Pusat Studi Psikologi Islam/ 5 Maret 2019.