Mengenal Skizofrenia Lebih Dekat: Memahami Ruang Realita yang Tak Terlihat

 

Skizofrenia kini tak lagi asing dalam perbincangan, terutama di media sosial. Namun dibalik meningkatnya perhatian publik, masih banyak stigma yang menyelimuti hingga menimbulkan jarak sosial terhadap para penderita. Melalui artikel ini, kita akan mengenal lebih jauh mengenai skizofrenia dan dinamika keseharian para penyintas melalui kacamata seorang praktisi klinis sekaligus pengajar.

Skizofrenia adalah gangguan mental yang tergolong kronis dan berat, yang memengaruhi cara individu berpikir, merasakan, dan berperilaku. Menurut DSM-5, skizofrenia ditandai oleh adanya dua atau lebih gejala psikotik yang berlangsung dalam periode satu bulan, dengan gejala wajib meliputi delusi, halusinasi, atau gangguan bicara yang tidak teratur. Adapun gejala lainnya, mencakup perilaku motorik yang sangat kacau atau katatonik, dan gejala negatif seperti apati atau afek datar, alogia, serta avolisi. Agar diagnosis dapat ditegakkan, gejala ini harus berlangsung secara intens dalam kurun waktu setidaknya enam bulan dan menyebabkan gangguan signifikan dalam fungsi sosial.

Berdasarkan prevalensi data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO), skizofrenia memengaruhi sekitar 24 juta jiwa di seluruh dunia, atau sekitar 1 dari 300 orang secara global. Mengacu pada data yang dirilis oleh Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2023, sebanyak 6,1% penduduk di Indonesia dengan rentang usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental, skizofrenia menjadi salah satu di antaranya. Hal ini juga diperkuat dengan tingginya data prevalensi skizofrenia di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yakni 9,3% berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Tingginya tingkat prevalensi ini memerlukan perhatian khusus nan serius, sebab skizofrenia merupakan gangguan mental berat yang tentunya akan memengaruhi berbagai aspek kehidupan.

Hingga saat ini penyebab dari skizofrenia masih diteliti, dan gangguan ini dipengaruhi oleh berbagai pemicu yang bersifat multifaktoral. Secara biologis, skizofrenia dapat dipicu oleh faktor genetik, seperti kelainan pada struktur otak hingga ketidakseimbangan pada neurotransmitter. Selain itu faktor psikogenik dan sosial juga turut menyumbang peran, seperti peristiwa traumatis yang mendalam sampai dengan paparan stressor lingkungan yang berat.

Umumnya gejala skizofrenia terbagi menjadi dua kelompok utama, yakni gejala positif dan gejala negatif. Sebutan “positif” bukan berarti hal baik, melainkan karena adanya tambahan terhadap perilaku normal. Contohnya, yaitu halusinasi, seperti mendengar suara yang sebenarnya tidak ada, atau delusi, yaitu keyakinan yang keliru tidak sesuai dengan kenyataan, seperti merasa sedang dikejar-kejar orang lain meski nyatanya tidak terbukti. Tak hanya itu, individu dengan skizofrenia juga dapat mengalami kekacauan dalam berpikir maupun berbicara, sehingga akan sulit untuk memahami apa yang dibicarakan karena pembicaraan cenderung tidak runtut dan membingungkan. Sementara gejala negatif, menunjukkan kurangnya kemampuan normal yang dimiliki dalam menjalani keseharian. Sebagai contoh, seseorang menunjukkan ketidaktertarikan untuk berinteraksi, mengekspresikan emosi, dan kehilangan minat maupun motivasi untuk melakukan rutinitas sekalipun, seperti mandi dan makan.

Pernahkah terpikirkan olehmu, bagaimana jika realita yang kamu jalani justru dianggap tak masuk akal oleh orang lain? Bagi orang dengan skizofrenia (ODS), hal semacam ini bukan sekadar kemungkinan, melainkan bagian dari kenyataan yang mereka hadapi tiap harinya. Menjalani hidup sebagai orang dengan skizofrenia (ODS) bukanlah hal yang mudah.  Muhammad Novvaliant Filsuf, turut memberikan pandangan dan pengalamannya sebagai seorang dosen sekaligus praktisi klinis.

“Kehidupan yang dijalani oleh individu atau orang dengan skizofrenia (ODS) menjadi berat karena realita yang diyakini tidak sesuai dengan realita sebenarnya,” ungkapnya saat diwawancara, Rabu, 21 Mei 2025.

Ketidaksesuaian tersebut menimbulkan permasalahan terhadap kehidupan sosial mereka. Tak jarang ODS mengalami kesulitan ketika harus berinteraksi dengan orang lain, terutama saat gejala seperti waham atau halusinasi muncul. Kondisi seperti ini kerap menjadi pemicu yang menguatkan stigma negatif terhadap individu dengan skizofrenia. Novvaliant lanjut menjelaskan bahwa kondisi emosional harian juga dapat menimbulkan gejala tertentu, seperti kemunculan suara-suara bisikan dalam pikiran. Meskipun hal semacam ini bisa terjadi pada siapa saja dalam situasi ekstrem, jika dibandingkan dengan orang normal, perbedaannya terletak pada intensitas serta kemampuan orang dengan skizofrenia dalam merespon suara-suara tersebut.

Novvaliant juga menyoroti tantangan yang dialami tidak hanya dihadapi oleh penderita, tetapi juga orang di sekitarnya. Kemunculan gejala dan kaburnya kontak dengan realita menyebabkan terhambatnya proses komunikasi serta interaksi sosial. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat, umumnya penanganan terhadap orang dengan skizofrenia mencakup kombinasi antara pengobatan medikamentosa, psikoterapi, dan rehabilitasi psikososial. Di mana obat antipsikotik menjadi dasar dalam membantu mengurangi gejala seperti halusinasi dan waham. Sementara psikoterapi membantu individu untuk memahami kondisi mereka dan mengelola stress. Rehabilitas psikososial juga penting untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan skizofrenia.

Dalam praktik klinisnya, Novvaliant melihat bahwa pendekatan yang efektif dalam menangani klien dengan skizofrenia tidak hanya bertumpu pada individu itu sendiri, melainkan juga pada lingkungan terdekatnya. Menurutnya, dukungan sosial—terutama dari keluarga—berperan penting dalam menjaga keberfungsian harian orang dengan skizofrenia. Pendekatan yang dimulai dari penguatan sistem dukungan, seperti penerimaan, kesabaran, dan regulasi emosi, menjadi dasar yang penting dalam proses pemulihan. Melalui pengalamannya menangani klien, Novvaliant merefleksikan kesehatan mental adalah anugerah yang seringkali luput dari kesadaran. Ia juga turut mengajak kita untuk lebih mengerti tanpa menghakimi karena setiap individu berhak mendapatkan ruang untuk dimengerti dan dihargai.

Selamat Hari Skizofrenia Sedunia. Mari Bersama menciptakan ruang aman bagi jiwa-jiwa yang sedang berjuang.

Author: Andara Azzahra