Kolokium Pengenalan dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Prodi Psikologi FPSB UII

{mosimage}Anak Berkebutuhan Bhusus (ABK) adalah anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, emosi dan sosial yang membutuhkan penanganan secara khusus. Pendeteksian dini terhadap ABK akan sangat membantu memudahkan dalam penanganannya, misalnya dalam hal pemberian pendidikan yang nantinya akan lebih terarah. Deteksi dini ABK bisa dilakukan orangtua di rumah dan juga sekolah dengan mengamati perkembangan motorik halus/kasarnya, bicara dan bahasa, kognitif, maupun penyesuaian dirinya.

Hal tersebut disampaikan oleh Endang Widyorini, Ph.D, Psikolog saat memberikan materi kolokium “Pengenalan dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus”, Jum’at, 1 Juni 2012 di Auditorium Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.

Dalam kesempatan itu Endang Widyorini juga menyampaikan beberapa contoh gangguan yang ada pada ABK, seperti disleksia, autis maupun gangguan perkembangan komunikasi lainnya. Endang pun memaparkan sedikit tentang ‘sekolah terpadu’ yang dipersiapkan secara khusus untuk membantu ABK untuk transisi ke sekolah reguler. Menurutnya, proses transisi bisa dimungkinkan/dapat berjalan dengan syarat sekolah memiliki guru dan terapis sebagai pendamping sesuai dengan kebutuhan anak didik (terapis perilaku, terapis bicara, terapis akupasi dll), memiliki tim pengkaji kurikulum (psikolog, terapis, guru dan orangtua), serta kelas berada dalam satu lingkungan dengan kelas reguler.

Pada proses tersebut, kehadiran seorang shadow guru pembimbing sangat penting untuk menjembatani instruksi antara anak dan guru, mengendalikan perilaku anak di kelas, membantu anak untuk tetap konsentrasi, membantu anak belajar bermain atau berinteraksi dengan teman-temannya, serta menjadi media antara guru dan orangtua dalam membantu anak mengejar ketertinggalan dari pelajaran di kelasnya.

Namun demikian, fakta di lapangan memang kadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam beberapa kasus dijumpai adanya ABK yang tidak bisa transisi ke sekolah reguler, sehingga tetap diperlukan adanya sebuah sekolah yang benar-benar ‘khusus’ bagi para ABK tersebut.

Terkait dengan peran orangtua terhadap tumbuh kembang ABK, Endang berharap agar semua orangtua yang memiliki ABK mau benar-benar total dalam ‘mengasuh’ anaknya. “Jika ada ABK yang hebat, bisa dipastikan ada peran orangtua yang luar biasa di belakangnya. Jadi peran orangtua di sini sangat diperlukan untuk membantu ABK menjadi lebih baik. Jika ada orangtua yang selalu berusaha untuk mencurahkan perhatian, kasih sayang dan juga waktu bagi anaknya yang berkebutuhan khusus, maka prognosa saya anak tersebut akan jauh lebih baik”, pungkasnya.