PUSAT STUDI PSIKOLOGI ISLAM MENGGELAR WORKSHOP PENDEKATAN STUDI ALQURAN UNTUK PENGEMBANGAN PSIKOLOGI

PUSAT STUDI PSIKOLOGI ISLAM MENGGELAR WORKSHOP PENDEKATAN STUDI ALQURAN UNTUK PENGEMBANGAN PSIKOLOGI

 

Sebagai rangkaian dari workhop pendekatan studi Alquran dan hadis, Pusat Studi Psikologi Islam kembali mengadakan workshop kedua, yaitu pendekatan metodologi studi Alquran terutama dalam mendukung penelitian-penelitian psikologi Islam berbasis Alquran.

 

Workshop ini diselenggarakan pada tanggal 28 september 2019 di Santika Hotel Yogyakarta. Pembicara workshop ini ialah guru besar Psikologi Islam, Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA. Workshop ini bertujuan mengenalkan pendekatan studi Alquran untuk  pengembangan psikologi kepada dosen-dosen psikologi UII.

 

Sebagai profesor pertama di Indonesia bidang Psikologi Islam, Prof. Mubarok menjelaskan bahwa perkembangan psikologi Islam di Indonesia belum sinergis atau belum terlalu nampak. Hal itu dapat dilihat dalam minimnya peserta dalam penyelenggaraan seminar-seminar psikologi Islam. Dalam workshop ini, Prof. Mubarok mengajak para dosen untuk membangun psikologi Islam berbasis Alquran karena Alquran bagi ummat Islam merupakan petunjuk, panduan, obat penawar, peringatan dan penjelasan tentang segala sesuatu.

 

Prof. Mubarok menjelaskan bahwa untuk memahami psikologi maka perlu pengetahuan tentang konsep manusia dan jiwa dan menggalinya melalui Alquran. Alquran menyebut manusia sebagai basyar, insan, unas dan banī Ādam. Sedangkan jiwa, dalam Alquran disebut dengan nafs. Kata nafs dalam Alquran mengandung beberapa arti di antaranya nafs al-muṭmainnah (jiwa yang tenang), nafs sebagai totalitas, dan nafs sebagai ruh (dari ayat akhrijū anfusakum).

 

Cara untuk mengetahui karakteristik manusia dan jiwanya dalam metodologi Qurani adalah dengan melihat apa yang difirmankan Allah dalam kalam-Nya tentang manusia dan jiwanya. Dalam proses memahami Alquran, kita diperbolehkan melakukan penghayatan diri sendiri atas apa yang dialami sebagai makhluk psikologis, dan juga diperbolehkan merujuk pandangan para ahli psikologi. Metode memahami gagasan Alquran tentang sesuatu disebut dengan istilah tafsir maudhū’i atau tafsir tematik. Di akhir sesi, Prof. Mubarok memberi waktu kepada para dosen untuk membentuk tim kolaborasi penelitian tentang psikologi Islam. Dari workshop tersebut outcome yang diperoleh ialah terkumpulnya 16 judul penelitian dengan 16 tim peneliti yang diharapkan dapat ditindaklanjuti setelah workshop selesai. ***

 

Pusat Studi Psikologi Islam

Sabtu, 28 September 2019

Akhlak Mulia sebagai Ukuran Psikologis Kualitas Hidup Muslim

Akhlak Mulia sebagai Ukuran Psikologis Kualitas Hidup Muslim

 

Pusat Studi Psikologi Islam kembali menggelar kajian rutin tentang Psikologi Islam. Kajian kali ini mengangkat tema tentang “Akhlak Mulia sebagai Ukuran Psikologis Kualitas Hidup Muslim”. Pembicara dalam kegiatan ini menghadirkan pakar pengukuran dari internal dosen psikologi UII, yaitu Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi., M. Si.

 

Disebutkan dalam berbagai hadis bahwa muslim yang baik dan berkualitas ditunjukkan dengan akhlakul karimah yang dimilikinya. Dalam hadis yang diriwayatkan Thirmidzi, Rasulullah bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” Hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Thirmidzi, juga menegaskan bahwa aklhak mulia merupakan tolak ukur kualitas muslim yang baik. “Rasulullah bersabda, Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.”

 

Biasanya, dalam psikologi modern, kualitas hidup manusia diukur menggunakan alat ukur WHOQOL (alat ukur Quality of Life yang dikeluarkan oleh WHO) yang mengukur 6 dimensi. Pengukuran-pengukuran kualitas hidup dalam ilmu psikologi modern selama ini memiliki landasan yang berbeda dengan yang ada dalam psikologi Islam.  Itulah sebabnya pengukuran kualitas hidup islami perlu dikembangkan.

 

Saat ini, Irwan Nuryana Kurniawan berkolaborasi dengan Wanadya Ayu Krishna Dewi mengembangkan skala untuk mengukur kualitas hidup muslim dengan berlandaskan Al-Quran dan Hadits. Menurut Wanadya, kualitas hidup muslim merujuk pada “ibadah” seseorang sebagai indikator akhlak. Penegasan bahwa akhlak mulia bersumber pada Al-Quran ditegaskan melalui tanggapan Ummul Mukminin Aisyah ra saat ditanya Jabir bin Nufair mengenai akhlak Nabi Muhammad saw bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran (mengacu pada HR. Muslim, HR. Abu Dawud, dan HR. Imam Ahmad). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sumber utama umat Islam untuk memahami secara valid, reliabel, dan komprehensif apa dan bagaimana akhlak mulia dalam perspektif Islam adalah melalui Al-Quran beserta As-Sunnah.

 

Berbeda dengan pengukuran versi Islam, WHOQOL mengukur seberapa puas (how satisfied) orang-orang pada aspek-aspek penting dalam kehidupan mereka. Karena definisi kualitas hidup sangat terfokus kualitas hidup yang “dipersepsikan” responden, maka alat ukur tersebut tidak bisa diharapkan tersedia sebuah alat ukur tentang detail symptom, penyakit, atau kondisi, tetapi lebih kepada dampak-dampak penyakit dan intervensi kesehatan terhadap kualitas hidup. Kualitas hidup tidak dapat disamakan begitu saja sebagai “health status”, “life style”, “life satisfaction”, “mental state” or “well-being“.

 

Muncul beberapa pertanyaan menggelitik terkait pengembangan alat ukur ini, di antaranya ialah mengapa masih perlu mengembangkan alat ukur kualitas hidup muslim? Irwan menjelaskan bahwa akhlak mulia menjadi penentu kesuksesan dan kegagalan dari semua ibadah yang disyariatkan Allah swt. Dicontohkan bahwa saat ada orang menyapa kita dengan perkataan yang buruk atau sengaja memancing amarah, maka kualitas hidup muslin akan terlihat dari cara mereka menanggapi permasalahan tersebut. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menahan diri dan tetap bersikap baik terhadap mereka. Contoh lainnya, seorang muslim rajin beribadah ke masjid dengan sholat berjamaah lima waktu. Sayangnya, ia gemar menyakiti tetangganya. Itulah mengapa kualitas hidup muslim dengan indikator akhlak mulia menjadi penting. Ringkasnya, kualitas hidup muslim yang baik akan ditentukan oleh bagaimana akhlak mulia yang dimilikinya, pungkas Irwan menutup kajian Senin siang itu. ***

 

Pusat Studi Psikologi Islam/

Senin, 15 Juli 2019, 13.00 – 15.30 WIB.

PUSAT STUDI PSIKOLOGI ISLAM MENGKAJI ‘AKHLAK’ SEBAGAI KEKHASAN PSIKOLOGI UII

PUSAT STUDI PSIKOLOGI ISLAM MENGKAJI ‘AKHLAK’ SEBAGAI KEKHASAN PSIKOLOGI UII

Pusat Studi Psikologi Islam menggelar kajian rutin “Psychology for Theaching and Learning” dengan mengangkat tema terkait akhlak. Kajian ini dlaksanakan pada senin, 29 April 2019, pukul 13.00 – 15.30 WIB. Kajian tersebut diisi oleh pembicara Dr. Ahmad Rusdi, S.Psi., S.Sos., MA.,Si., dari internal dosen psikologi UII.

Kajian akhlak ini penting karena program studi psikologi UII menekankan kekhasan psikologi Islam yang diusungnya pada ‘akhlak mulia’. Untuk itu, pembahasan tentang akhlak dijadikan topik pembahasan paling awal setelah landasan filosofis psikologi Islam agar pemahaman psikologi Islam dan pengembangannya di lingkungan psikologi UII menjadi kuat berakar dan mendasar.

Rusdi menjelaskan definisi akhlak yaitu, bentuk/struktur di dalam diri yang rāsikhah (mengakar permanen) yang mendorong perilaku spontan (suhūlah) dan mudah (yusrin) tanpa hajat/pamrih, tanpa dipikirkan, dan tanpa memerlukan perenungan/ide terlebih dahulu atau dalam arti singkat akhlak merupakan dorongan jiwa yang mendorong tindakan otomatis.

Berdasarkan konteks makro dan dalam level interaktif, ilmu akhlak (etika) merupakan ilmu praktis agar manusia menjadi baik. Terdapat tahapan dalam menerapkan ilmu akhlak dari mulai level individu, level keluarga (al-iqtisodiyah/ekonomi), hingga level masyarakat (al-siyāsah). Rusdi menyampaikan bahwa ilmu agar seseorang menjadi baik adalah ilmu akhlak, ilmu agar keluarga menjadi baik adalah dengan mempelajari al-iqtiṣādiyah (ilmu tentang ekonomi keluarga), dan ilmu agar masyarakat menjadi baik adalah dengan mempelajari al-siyasah (ilmu politik).

Mengutip pendapat Ibnu Miskawaih, pembicara menjelaskan bahwa akhlak didasarkan pada aspek paling utama dalam diri manusia yaitu jiwa (nafs). Ibnu Miskawaih membagi daya jiwa manusia menjadi tiga. Pertama, daya rasional (al-Nafs al-Nātiqah) yaitu menjadi dasar berfikir, membedakan, dan menalar hakikat sesuatu. Kedua, daya animal (al-Nafs aal-ḥayawaniyyah/ al-ghaḍabiyyah) yaitu menjadi dasar kemarahan, tantangan, keberanian atas hal-hal yang menakutkan, keinginan dan berbagai macam kesempurnaan pengendalian gerak. Ketiga, daya vegetatif (al-naf al-nabātiyyah/ al-shahwiyyah) yaitu jiwa yang menjadi dasar shahwat. Jiwa tersebut mendorong untuk saling berdesakan dan merebut posisi, tetapi apabila dapat seimbang di antara ketiganya maka tercapailah keutamaan (fadhilah) dan kebaikan pada manusia, yaitu ḥikmah (bijaksana), shajā’ah (keberanian), ‘iffah (kehormatan diri) dan sakhā (kedermawanan).

Rusdi menjelaskan sifat utama (fadhilah) berdasarkan Ibnu Miskawaih yaitu menekankan pada posisi pertengahan dan keseimbangan (al-‘adālah). Jiwa manusia selalu dilingkupi oleh dua ekstrim (ekstrim kelebihan/kanan dan kekurangan/kiri). Posisi tengah merupakan posisi utama diantara ekstrim berlebihan/kanan atau ekstrim kekurangan/kiri dari jiwa manusia. Posisi tengah merupakan prinsip umum sifat keutamaan. Oleh sebab itu, ketika manusia condong ke satu ekstrim, maka akan menghilangkan sisi-sisi keutamaannya. Ia mencontohkan bahwa jiwa yang tidak ekstrem kanan atau kiri (seimbang) pada jiwa rasional akan melahirkan sifat cerdas (al-dzakā’), ketajaman akal (al-ta’aqqul), kecerdasan yang cepat (sur’atul fahm), bersih dalam memahami (ṣafa’al-dhihn), mudah dalam belajar (suhūlah al-ta’allum), dan akurasi memanggil informasi (a-dzikr).
Kajian ini ditutup dengan penjelasan tentang penelitian-penelitian akhlaq yang melibatkan banyaknya komponen akhlak. Kesimpulannya, mempelajari akhlaq secara konseptual bukanlah perkara mudah, karena irisan, aspek, komponen, dan dimensi akhlak sangat kompleks sehingga waktu kajian ini terasa tidak cukup untuk mengkaji akhlak secara keseluruhan. ***

Penulis: Pusat Studi Psikologi Islam/

Senin, 29 April 2019

Pusat Studi Psikologi Islam Menggelar Kajian “Paradigma Profetik sebagai Landasan Psikologi Islam”

Pusat Studi Psikologi Islam Menggelar Kajian “Paradigma Profetik sebagai Landasan Psikologi Islam”

Pusat Studi Psikologi Islam mengawali kegiatan rutinnya di 2019 dengan menggelar kajian tentang pengembangan psikologi Islam. Kajian ini didesain sesistematis mungkin dengan memulai pembahasan terkait landasan atau basis filosofis dalam perkembangan ilmu. Acara ini dihadiri oleh dosen-dosen psikologi UII dengan menghadirkan guru besar Antropologi Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra MA., M.Phil., pada Senin, 4 Maret 2019.

Prof. Heddy menuturkan bahwa ilmu pengetahuan di Indonesia kurang dapat berkembang karena pemahaman mengenai paradigm yang kurang baik. Itulah mengapa perkembangan psikologi Islam mengalami beragam kendala, salah satunya disebabkan adanya perbedaan paradigma. Menurutnya, paradigma ialah perspektif, metaphor, atau kerangka pemikiran (yang terdiri dari berbagai unsur, menjadi tataran pemikiran). Dalam kajian ini, Prof. Heddy mengkritik pemikiran Thomas Kuhn terkait pemikiran Kuhn yang kontroversial di buku yang diterbitkan tahun 1962, The Structure of Scientific Revolution, bahwa teori Thomas Kuhn tidak dapat menjelaskan definisi paradigm secara konsisten.

Prof. Heddy memiliki pandangan yang lebih mendetail terkait paradigma. Ia mendefinisikan paradigma mencakup 9 hal, yaitu (1) Asumsi dasar (basic assumptions), (2. Nilai-nilai (values), (3). Model (analogy, perumpamaan), (4). Masalah yang diteliti (problem-problem), (5). Konsep-konsep (concept, keywords), (6). Metode penelitian (method of research), (7). Metode analisis (method of analysis), (8). Teori (theory), serta (9. Representasi (representation).

Dapat ditarik pemahaman bahwa jika asumsi dasar dari sebuah pemikiran itu  berbeda, maka representasinya juga berbeda. Asumsi dasar (anggapan-anggapan) menjadi hal yang terpenting dalam sebuah paradigma. Prof. Heddy mengungkapkan bahwa asumsi atau pandangan yang kita anggap benar belum tentu dianggap benar oleh kelompok lain. Asumsi dasar menjadikan sudut pandang menjadi berbeda. Dengan demikian, tidak perlu berdebat pada level asumsi.

Psikologi Islam yang selama ini didengungkan di berbagai universitas termasuk di Psikologi UII, merujuk pada landasan Islam terutama paradigma profetik. Paradigma profetik ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan karena di luar penganut agama Islam, mereka tidak meyakini asumsi dasar ini. Model pengetahuan Barat sangat menekankan pembahasannya dalam tataran empiris saja, sebaliknya, model perspektif Islam membahas secara paripurna melampaui tataran empiris, yaitu ada prophet (knowledge & servanthood), dan God (the creator of universe). Hal inilah yang membedakan model pengetahuan Barat dengan model pengetahuan perspektif Islam. Model ini berdampak pada nilai-nilai yang dianut, yaitu pada orang Islam pemikiran ini melahirkan penghambaan kepada Allah. Kondisi ini berkebalikan dengan model perkembangan ilmu pengetahuan Barat yang menghamba pada science, dan tidak sampai kepada penciptanya.

Prof. Heddy di akhir kajian menyampaikan bahwa filsafat profetik berusaha mengembalikan ilmu pengetahuan pada asumsi dasar yang seharusnya, yaitu wahyu. Proses perjuangan ini caranya dengan mendasarkan pada “asumsi dasar”. Prof. Heddy menyatakan bahwa filsafat profetik dapat mengakui kedudukan wahyu sebagai pengetahuan dan sumber pengetahuan. Tidak lagi mendikotomi atau mengislamisasi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Nabi dapat dianggap ilmuwan yang ilmu pengetahuannya  bersumber dari Allah swt. Prof. Heddy berharap pemahaman dasar ini dapat menjadi landasan dalam pengembangan psikologi Islam tanpa dibenturkan dengan beragam paradigma psikologi modern yang telah mapan saat ini. ***

Pusat Studi Psikologi Islam/ 5 Maret 2019.

Expo Psypreneur 2018

Halo Mahasiswa Psikologi…

Hadiri  Expo Psypreneur 2018 di tempat dan jadwal yang sudah di tentukan ya.

Menduniakan Psikologi Islam melalui ICIPSY

Program Studi (Prodi) Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan konferensi tingkat internasional untuk pertama kalinya tahun ini. Konferensi yang bernama International Conference on Islamic Psychology (ICIPSY) akan diadakan pada tanggal 18-19 Desember 2018. Konferensi ini bertemakan ‘Reviving the Roats and Responding to Todays Challenges’, “semangatnya kembali pada prinsip dasar psikologi islam”, tutur Wanadya Ayu Krinadewi selaku ketua panitia.

Tujuan dari acara ini yaitu untuk menjawab permasalahan psikologi saat ini melalui pendekatan islam. “Misalnya kita sebagai psikolog itu tidak hanya membuat kecemasan klien itu berkurang saja tapi juga mendorong agar niat awal (sebagai psikolog) nya diperbaiki”, jelas Wanadya. Wanadya juga menegaskan bahwa sebagai seorang psikolog muslim, “melakukan intervensi harus diniati untuk mendekatkan diri kepada Allah, sehingga bisa manifest kepada berkurangnya kecemasan klien”.

ICIPSY ini sebenarnya adalah satu rangkaian konferensi yang meliputi dua conference, yaitu konferensi islam dan juga konferensi dari Bionet. Konferensi ini menjalin partnership dengan Bionet yang didirikan oleh Professor Marcus Stueck. Bionet itu juga sebuah konferensi besar yang sudah terlebih dahulu mengadakan konferensi-konferensi internasional. Marcus Stueck, dengan Bionetnya ini memiliki semangat untuk menyuarakan konsep-konsep psikologi islam ke komunitas intelektual yang jauh lebih besar. Oleh karenanya ia ikut meyediakan platform berupa Bionet tersebut. Harapannya akan terjalin dialog yang lebih luas, sebab jargon dari bionet itu sendiri adalah Art Meet Science yang meliputi spiritualitas.

Dengan adanya kerjasama dengan Bionet ini juga bisa menambah wawasan psikologi islam dalam hal pengukuran psikologi. Wawasan-wawasan terkait instrument pengukuran ini harapannya bisa menambah khazanah psikologi islam dalam mengkaji fenomena-fenomena psikologis yang lebih empiris.

Publikasi acara ini sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaannya. Publikasinya meliputi poster yang dipost di websitenya, mengirim email semua peserta NCIP dulu dan jejaring yang dimiliki. Selain itu panitia juga memasang spanduk di beberapa titik agar diketahui lingkungan UII. Surat undangan dan poster fisik kepada Jurusan Psikologi seluruh Indonesia juga dibagikan.

Terakhir, wanadya berharap melalui konferensi ini psikologi islam dapat dikenal oleh dunia lebih luas. Tidak hanya dikenal sebagai sebuah pendekatan teoritis namun juga sebagai sebuah pendekatan psikologis. Baik secara metode maupun intervensi-intervensi psikologi.

info dan pendaftaran Icipsy bisa di klik disini: icipsy.uii.ac.id

LABORATORIUM PSIKOLOGI GELAR KOMPETISI METODOLOGI PENELITIAN

Agenda tahunan (baca: rutin) berupa bertajuk Kompetisi Penelitian Psikologi Eksperimen dan OW (Observasi & Wawancara) kembali diselenggarakan oleh Laboratorium Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Univeritas Islam Indonesia (UII). Untuk berkas proposal yang masuk pada bidang kompetisi Psikologi Eksperimen sebanyak 29 buah. Sedangkan proposal untuk kompetisi bidang observasi dan wawancara terkumpul 30 buah. Dari masing-masing bidang kompetisi diambil 3 proposal terbaik yang berhak untuk dipresentasikan pada hari Senin, 30 Juli 2018.

Pada babak presentasi bidang Psikologi Eksperimen, dewan penilai yang terdiri dari Mira Aliza Rachmawati, S.Psi., M.Psi., Annisa Miranty, S.Psi., M.Psi., Hazhira Qudsyi, S.Psi., M.A., dan Hariz Enggar Wijaya, S.Psi., M.Psi menetapkan judul penelitian Pengaruh Kepemimpinan Otoriter terhadap Teamwork dalam Permainan JJA (Jangan Jatuhkan Aku) karya Abdul Latif Sirajuddin, Nofrizal Hazmi Akbar,  Aziza Zulfa Hardiana, Beby Giovanni, Arib Istawa, dan Resthi Damayanti sebagai Juara 1 dengan total skor 367. Ada di urutan kedua dengan skor total 349 ditempati penelitian berjudul Pengaruh Tekanan terhadap Performa Kerja pada Alat The Box of Pressure karya M. Ilham Abdul Majid, Safira Kholifatul Mahira, Salma Safira Sukma Ikhsani, Isya Almatyana Pawestri, Rizkiny Hidayaty, dan Iqbal Kamal. Sedangkan di posisi  ketiga diraih oleh Shafira Rizqa Fathihah, Nurul Kusuma Wardhani, Citra Ilmi R, Nadilah Anwar, Brinita Aprilia Purnawida, dan Yunisa Intan Wibowo melalui penelitiannya yang berjudul Pengaruh Warna Pakaian terhadap First Impression pada Book of Perception dengan mengantongi skor total 348.

Sedangkan pada kompetisi bidang Observasi & Wawancara yang digawangi oleh Rr. Indahria Sulistyarini, S.Psi., M.A., Psi., Nur Widiasmara, S.Psi., M.Psi., dan Libbie Annatagia, S.Psi. selaku tim penilai menempatkan judul penelitian Kelekatan Remaja pada Orang Tua Tiri dan Orang Tua Kandung yang Tinggal dalam Keluarga Tiri karya Salma Safira Sukma Ikhsani sebagai juara 1 dengan skor total 208. Disusul kemudian karya Vindya Nuriljaza B berjudul Kepuasan Pernikahan pada Istri yang Menjalani Long Distance Marriage menemapti urutan kedua dengan skor total 199. Sementara Rachma Fitrianing Lestari duduk di peringkat ketiga melalui penelitiannya berjudul Trust Issue pada Anak yang Memiliki Orang Tua Bercerai dengan skor total 132.

Untuk alat penelitian terbaik diraih oleh Alat Kelereng di atas Papan yang merupakan karya kelompok dari Dimas Maulana Ramadhan, Roiyan Dwi Setiawan, Fajar Abdul Rosyid, Muhammad Rizky Rizaldy, Adlina Windya M, Hening Indah S.

KOLOKIUM KESEHATAN MENTAL DI SEKOLAH

Kasus bullying di sekolah ternyata hingga saat ini masih marak terjadi. Kasus-kasus tersebut banyak disebabkan oleh lingkungan sekolah sendiri, lingkungan bermain siswa di luar sekoah dan bahkan dari lingkungan keluarga. Hal ini disampaikan oleh Rini Indriani, S.Psi., M.Psi., MARS., Psikolog pada kegiatan kolokium yang diselenggarakan oleh Departemen Psikologi Klinis, Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Senin, 2 Juli 2018 di R. Audiovisual FPSB UII Lt.2.

Voulenter di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY ini menyatakan bahwa pada beberapa kasus bully, diketahui bahwa korban cenderung memiliki konsep diri negatif.  Jika menemukan seorang anak yang memiliki konsep diri negatif tersebut, sebagai teman atau bahkan orang tua yang bisa dilakukan adalah meningkatkan atau menguatkan konsep diri yang bersangkutan dengan memberikan pemahaman atau cara pandang positif terhadap potensi bullying yang bisa menimpa diriya. Misalnya ada seseorang dengan postur hitam & pendek, maka bisa dikuatkan dengan meningkatkan rasa syukur atas karunia yang sudah diterima. Syukur bahwa dengan kondisi tersebut dirinya  masih dalam keadaan sehat dan bisa berbuat banyak (baca: punya peluang berprestasi yang sama dengan mereka yang memiliki kondisi tubuh normal), dan seterusnya. Jangan sampai mereka merasa rendah diri dengan kondisi yang ada.

Alumni Prodi Psikologi FPSB UII tersebut juga menambahkan pentingnya peran guru dalam memberikan teladan pada para siswa. Karena menurutnya, tak sedikit guru yang secara tak sadar telah memberikan contoh bersikap/berperilaku yang salah pada para siswa;.

Psikologi Kaji LGBT

Tidaklah benar jika ada yang mengatakan bahwa LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transjender) tidak bisa disembuhkan. Hal ini ditegaskan oleh Sarah Larasati Matovani, S.H., M.P.I saat menyampaikan materi kolokium bertema ‘LGBT Bisa Disembuhkan?’ yang diselenggarakan oleh Departemen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Senin, 14 Mei 2018 di R. Auditorium FPSB UII. Read more