Kuliah Praktisi : Menggali Neurosains dalam Dinamika Belajar

Kuliah Umum Fakultas Psikologi 2025 – AI in Action: Ethics, Challenges, and Capacity Building

PENGUMUMAN PENDAFTARAN SKRIPSI

Prodi Psikologi UII Perkuat Internasionalisasi Melalui Program International Credit Transfer

Yudisium Bulan Agustus 2025

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Berikut informasi terkait pelaksanaan Yudisium Bulan Agustus 2025

Timeline :
27 Agustus : Penutupan Yudisium
28 Agustus : Undangan yudisium
29 Agustus : Pelaksanaan yudisium

Dihimbau kepada peserta untuk hadir tepat waktu pada saat Yudisium. Keterlambatan kedatangan dapat menyebabkan peserta akan dikutkan Yudisium pada bulan berikutnya.

Jangan sampai terlewat ya!
Siapkan waktu dan diri anda sebaik mungkin! ⭐️

Gerakan Sekolah Menyenangkan Ajak Mahasiswa Psikologi UII Pahami Tantangan Pendidikan

Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyelenggarakan kuliah praktisi mata kuliah Psikologi Positif di Sekolah pada Selasa 22 Juli 2025 lalu. Kali ini kuliah praktisi dihadiri oleh beberapa perwakilan dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Kak Alya, Kak Sekar, dan Mas Rifai, seorang guru muda yang menerapkan GSM dalam pengajarannya. Tujuan dari kuliah praktisi ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa psikologi terkait keadaan dunia pendidikan di Indonesia serta bagaimana mahasiswa dapat membantu permasalahan tersebut.

Dalam penjelasan materi, GSM menyoroti tantangan pendidikan nasional, mulai dari kesenjangan kualitas sekolah negeri, rendahnya minat belajar siswa, hingga ditunjukkannyadata Human Capital Index, dimana Indonesia menempati peringkat 96. Meskipun pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan yang terus meningkat setiap tahunnya, data internasional menunjukkan bahwa daya literasi dan numerasi siswa Indonesia masih terhitungrendah.Menanggapi permasalahan tersebut, Kak Sekar menjelaskan pentingnya untuk melihatPendidikan dari sudut pandang makrosistem. “Kalau kita bicara pendidikan, kita tidak bisa lepas dari konteks makrosistem, yaitu budaya dan kebijakan yang memengaruhi cara guru mengajar dan siswa belajar,” ujarnya.

Berdasarkan hal tersebut, GSM hadir sebagai komunitas pendidikan yang telah berdiri sejak2014 dengan tujuan menciptakan lingkungan sekolah yang ramah, inklusif, dan memanusiakan siswa. Mereka mengenalkan pendekatan “revolusi kebudayaan” yaitu perubahan utama melalui guru. “Masalah utama dalam pendidikan bukan dari fasilitas atau kurikulum, tetapi cara pikir dan perilaku dalam pendidikan.” jelas Kak Alya. GSM juga membangun jejaring guru di berbagai daerah di Indonesia untuk saling belajar, berbagi, dan mengubah pendekatan yang berpusat pada kurikulum menjadi berfokus pada kebutuhan dan potensi siswa.

Mas Rifai, guru Sejarah SMK Negeri 4 Yogyakarta yang telah menerapkan GSM, turut berbagi pengalaman pribadinya dalam memilih profesi guru. Ia mengajar di sekolah dengan mayoritas siswa berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah, banyak di antaranya berasal dari keluarga broken home bahkan hidup tanpa figur ayah. “Awalnya saya mengajar seperti guru pada umumnya: fokus menyelesaikan materi, ulangan, nilai. Namun, saya sadar siswa lebih sering bertanya ‘kapan pulang’ atau ‘kapan istirahat’ dibanding bertanya tentang materi. Dari situ saya memahami bahwa pembelajaran yang membosankan tidak akan bermakna bagi mereka,” jelasnya

Ia lalu melakukan perubahan cara mengajar, dari pendekatan kaku berbasis kurikulum menuju pembelajaran yang menghidupkan rasa ingin tahu (curiosity), imajinasi, dan keberagaman siswa. “Kurikulum itu seharusnya hidup dalam diri guru. Guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi fasilitator yang memanusiakan dan memberdayakan siswa menjadi manusia berdaulat,” tegasnya. Ia menerapkan Outing Class, dimana siswa belajar langsung di luar kelas, seperti ke museum, keraton, atau situs sejarah. Pendekatan ini terbukti meningkatkan minat belajar dan keterlibatan siswa. Menurutnya, pendidikan harus berfokus pada pembentukan manusia yang berpikir kritis dan berdaya, bukan sekadar mencetak tenaga kerja.

Menutup sesi, Kak Alya mengingatkan kutipan Tan Malaka, ‘Tidak perlu ada pendidikan tinggi jika mahasiswa tak sanggup melihat masalah bangsanya dan bekerja bersama masyarakat.’ Kuliah praktisi ini kembali mengingatkan bahwa psikologi bukan hanya sekedarilmu mengenai perilaku dan proses mental, namun juga ilmu kemanusiaan yang mengajarkan untuk memanusiakan manusia. Para mahasiswa diajak untuk tidak berhenti pada pemahaman akademik di kelas saja, tetapi juga berani bersuara, berdiskusi, dan turun langsung ke masyarakat untuk melihat realitas pendidikan di Indonesia.

Author : Muthia Nurhanifah Khairy

Hari Anak Nasional 2025 : Membangun Ruang Aman bagi Anak dari Dalam dan Luar Rumah

Peringatan hari anak setiap tahunnya menjadi bentuk pentingnya untuk memberikan ruang aman kepada anak-anak yang menjadi bakal dari calon penerus bangsa. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2025), Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan tema untuk Hari Anak Nasional (HAN) yaitu “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045.” Pemilihan tema tersebut mencerminkan tekad bangsa dalam menyiapkan generasi muda yang pintar, kuat, dan mampu bersaing guna menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Namun, perlu diingat bahwasannya untuk mensukseskan tujuan tersebut, maka perlu pembentukan karakter bagi anak-anak sedari kini.

Pembentukan karakter dapat dimulai dengan memastikan keamanan dan kenyamanan anak-anak sedari dini sebagai bentuk perhatian dalam proses tumbuh kembangnya. Salah satu fokus yang dapat diperhatikan adalah melalui kenyamanan emosional anak. Berdasarkan data SIGA (2024) terdapat 4.838 anak telah mengalami kekerasan secara psikis. Hal tersebut menjadikan bukti bahwa masih terdapat banyak kasus kekerasan secara psikis yang dialami oleh anak-anak di Indonesia. Fani Eka Nurtjahjo, S. Psi., M. Psi., Psikolog selaku Kepala Pusat Kajian Anak dan Keluarga UII (PUSKAGA UII) menuturkan perlu adanya keamanan emosional sebagai ruang aman untuk mengekspresikan perasaan tanpa takut dihakimi atau disakiti. Ini penting sebagai dasar kesehatan mental dan perkembangan sosial anak.

Fani mengajak untuk mengetahui cara menciptakan keamanan emosional terutama pada anak. “Keamanan emosional anak sendiri dapat diambil dari dua perspektif yang berkaitan, yaitu mikro pada lingkungan terdekat anak seperti rumah, keluarga, dan sekolah serta meso dan makro yang berkaitan dengan sistem dari sebuah negara yang memberi kebijakan serta peraturan perlindungan”.

Dengan mendalami setiap peranan dan tugasnya, keamanan emosional dapat dibentuk melalui banyak pihak seperti misalnya di level keluarga, peran utama ada pada orang tua. Setiap keluarga pasti memiliki konflik internal, namun hal tersebut merupakan sebuah kesempatan untuk belajar mencari resolusi masalah. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk menyediakan ruang aman secara emosional, seperti mendengarkan anak, tidak memberi label negatif, tidak menghakimi, serta berani meminta maaf dan menghargai anak. Fani juga menjelaskan, bahwasannya apabila orang tua masih memiliki luka emosional dari masa lalu, maka hal tersebut tidak dapat dibebankan dengan diturunkan kepada anak. Orang tua harus belajar dan terus upgrade kemampuan mereka, dimana menurutnya dengan menjadi orang tua merupakan sebuah peran yang membutuhkan keterampilan. Sekolah juga memegang peranan penting untuk anak dengan menyediakan sistem dukungan yang responsif terhadap masalah siswa. Anak juga perlu lingkungan dewasa yang memberi contoh baik, karena anak belajar melalui modeling.

“Kalau tidak ada ruang aman secara emosional, anak akan kesulitan memahami dan mengekspresikan emosinya. Mereka tumbuh dengan beban psikologis, tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan mereka. Jika ini tidak diselesaikan di masa kecil, akan terbawa hingga remaja dan dewasa, bahkan menjadi masalah berulang.” Jelas Fani mengenai dampak dari tidak terpenuhinya keamanan emosional anak sedari dini.

Sebagai bentuk harapan untuk Hari Anak Nasional 2025, Fani mengajak kita untuk merefleksikan diri dengan melihat masa anak-anak, sehingga kita dapat belajar dari pengalaman masa lalu, sebagai orang dewasa perlu terus belajar dan mengingat akan adanya hak-hak anak serta mengusahakan diri untuk dapat menjadi contoh baik yang dapat diandalkan. Selamat Hari Anak Nasional 2025

Author : Betania Rifaulamiri

Toreh Prestasi di Ajang MTQ-M Se-Asia Tenggara

Mahasiswi Psikologi UII Harumkan Nama Kampus di Kancah Nasional-Internasional

Saya Fatimah Az Zahra, mahasiswi Psikologi angkatan 2022 di Universitas Islam Indonesia. Perjalanan perkuliahan saya selama ini tak hanya tentang kelas dan tugas-tugas akademik. Di balik buku catatan dan jurnal psikologi, ada bagian dari diri saya yang tumbuh bersamadengan lantunan ayat-ayat suci. Tahun 2025 tentunya menjadi momen yang tak terlupakan. Alhamdulillah, saya diberikan kesempatan mewakili kampus dalam ajang Musabaqoh HifdzilQur’an (MHQ) 20 Juz tingkat nasional dan internasional se-Asia Tenggara di Universitas Jambi—dan dengan izin Allah, saya berhasil meraih Juara 3.

Pernah nggak terpikir bagaimana rasanya jadi mahasiswa sekaligus penghafal Qur’an? Yuk, telusuri buku harian saya melalui tulisan ini! Tentang perjalanan awal, proses perjuangansampai dengan makna dari prestasi itu sendiri, siapa tahu kamu menemukan semangat barudari kisah ini.

Awal dari Segalanya: Bersama Al-Qur’an Sejak Usia Dini

Melekat di pikiran, momen saat pertama kali diminta ikut lomba FASI oleh orang tua. Waktu itu saya masih TK, belum begitu paham apa itu lomba, tapi di saat bersamaan sejak saat itupula, Al-Qur’an menjadi sesuatu yang begitu dekat di hati. Saya bersekolah di lingkunganyang menekankan pada hafalan Qur’an sejak dini, dan dari situlah rasa cinta terhadap ayat-ayat suci semakin dalam.

Seiring berjalannya waktu, sempat terdapat jeda di bangku SMP dan SMA, di mana sayatidak aktif mengikuti perlombaan lagi. Namun, ketika mulai berkuliah di Psikologi UII, sayamerasa seperti menemukan kembali semangat yang telah lama hilang. UII memberidukungan berupa ruang bagi mahasiswa untuk berkembang, termasuk dalam bidangkeagamaan melalui kemahasiswaan dan TQFI. Terdapat nasihat dari guru saya yang hinggasaat ini saya pegang, “Orang yang memuliakan Al-Qur’an, insyaAllah akan dimuliakan.”Kalimat itu melekat sampai dengan hari inimenjadi motivasi utama saya untuk menjadikanAl-Qur’an sebagai bagian dari hidup yang tak hanya dibaca, namun juga dipahami dan disyiarkan.

Antara Kuliah dan Murojaah: Menyulam Waktu, Menjaga Hafalan

Kehidupan perkuliahan sebagai mahasiswi Psikologi menjadi tantangan terbesar saya dalammembagi waktu antara kuliah dan latihan, serta menjaga semangat untuk tetap konsisten. Persiapan lomba biasanya menyesuaikan dengan cabang perlombaan yang diikuti, untukMHQ sendiri dilakukan murojaah secara rutin karena hal ini sudah menjadi kewajiban. Di samping itu juga, saya mengikuti pembinaan dari TQFI secara rutin. Teruntuk cabang bereguseperti MFQ, kami juga menyempatkan latihan mandiri dan diskusi. Maka hal yang dapatsaya lakukan, ialah membuat jadwal sederhana namun konsisten, selalu minta doa dari orang tua, dan memohon taufiq dari Allah. Saya juga selalu mengingatkan diri bahwa ini bukansekadar lombamelainkan diniatkan sebagai bagian dari dakwah.

Makna Sebuah Prestasi: Lebih dari Sekadar Gelar

Mengikuti kompetisi tingkat nasional dan internasional di Universitas Jambi adalahpengalaman tak terlupakan. Tidak hanya bertanding, tetapi juga memperluas relasi dan bertukar wawasan dengan peserta lainnya. Bagi saya pencapaian bukan hanya soal menangmaupun kalah, mencakup proses yang harus dijalani, di mana kita diajarkan untuk konsisten, sabar, dan rendah hati jika diizinkan Allah untuk memperoleh gelar juara. Saya meyakinibahwa ini adalah bagian dari syiar, karena jika belajar adalah ibadah, maka meraih prestasiadalah jalan dakwah.

Saat nama saya diumumkan sebagai Juara 3 MHQ 20 Juz, ada rasa haru yang sulitdigambarkan. Tapi, bagi saya, juara itu bukan tujuan utama. Yang paling berharga adalahprosesnyabelajar untuk sabar, tetap rendah hati, dan terus memperbaiki diri. Saya percaya, ketika belajar adalah ibadah, maka berprestasi pun adalah bagian dari dakwah.

Untuk teman-teman mahasiswa Psikologi dan siapa pun yang sedang berjuang menemukanjalannya, jangan takut untuk mencoba. Jangan ragu untuk memulai, meski melalui langkahkecil. Setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda. Gali dan tekuni minat maupun bakatyang dimiliki, dan jangan lupa untuk selalu melibatkan Allah di setiap prosesnya.

Saya berharap, ke depan akan ada lebih banyak mahasiswa yang berani mengambilkesempatan dan mengisi waktunya dengan kegiatan yang positif. Terima kasih sayasampaikan untuk keluarga, guru, dosen, teman-teman, dan kampus tercinta UII. Semuapencapaian ini tak akan terjadi tanpa doa dan dukungan kalian.

Prestasi bukanlah akhir, melainkan awal dari tanggung jawab. Alhamdulillah, semogalangkah kecil ini dapat menjadi cahaya yang menerangi jalan dakwah kedepannya.

Author: Andara Azzahra