Memperingati Hari Kesehatan Mental Dunia sebagai Upaya Menyelamatkan Nyawa Banyak Manusia

Tema Hari Kesehatan Mental Dunia 2025, “Access to Services: Mental Health in Catastrophes and Emergencies,” menyoroti pentingnya akses terhadap layanan kesehatan mental, terutama bagi individu yang mengalami situasi darurat. Tema ini sejalan dengan kondisi di Indonesia, di mana pemahaman masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental serta ketersediaan akses layanan masih terbatas, sehingga menjadi salah satu faktor meningkatnya angka bunuh diri dan praktik pemasungan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Untuk memperdalam pemahaman mengenai pentingnya peringatan Hari Kesehatan Mental Dunia sekaligus memperluas wawasan terkait isu bunuh diri dan pemasungan, dilakukan wawancara dengan Dr. RA. Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si., Psikolog, selaku Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia) periode 2021–2025 sekaligus dosen Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia. Dalam wawancara yang dilakukan pada Selasa, 8 Oktober 2025, beliau menyampaikan bahwa, “Hari Kesehatan Mental Dunia sebenarnya adalah momen untuk mengingatkan kita semua bahwa kesehatan tidak hanya dilihat secara fisik, tetapi juga dari sisi jiwa. Sebab, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa.”

Lebih lanjut, Ibu Dr. Retno menegaskan bahwa maraknya praktik bunuh diri dan pemasungan mencerminkan kondisi darurat kesehatan mental di Indonesia. Bunuh diri dan pasung masih menjadi solusi tragis yang dialami sebagian individu yang menghadapi masalah psikologis. Berdasarkan data WHO, setidaknya terdapat 727.000 kematian akibat bunuh diri pada 2021, sementara Kemendagri mencatat 54 kasus pemasungan ODGJ di Brebes pada 2020.

Sebagai generasi yang peduli terhadap kesehatan mental, Gen-Z memiliki peran penting dalam memperingati Hari Kesehatan Mental Dunia setiap 10 Oktober. Peringatan ini menegaskan pentingnya pemerintah untuk terus memperbaiki layanan kesehatan mental agar angka bunuh diri dan praktik pemasungan dapat diminimalkan. 

Dahulu, penanganan masalah mental sering dilakukan dengan cara berisiko seperti pemasungan atau membiarkan individu dengan gangguan mental tanpa pertolongan yang memadai, karena minimnya fasilitas dan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan mental. Meskipun saat ini isu kesehatan mental sudah banyak dibahas dan menjadi perhatian banyak pihak, stigma masyarakat bahwa penyakit mental merupakan sesuatu yang tabu, berlebihan dan hanya kurang ibadah masih sering muncul sehingga menghambat proses penanganan yang tepat.

Kondisi ini tergambar jelas dari laporan Project Multatuli (Juli 2025) yang menemukan seorang anak dipasung selama bertahun-tahun di belakang kandang ayam di NTT karena dianggap kerasukan dan membuat roh leluhur marah. Menanggapi hal tersebut, Dr. Retno menjelaskan, “Sebenarnya Kementerian Kesehatan memiliki program ‘Indonesia Bebas Pasung’ melalui mekanisme hospitalisasi. Namun, program ini masih terbatas dan membutuhkan sistem yang lebih jelas. Masyarakat juga perlu mengetahui alur penanganannya, misalnya, kepada siapa harus melapor bila ada korban pasung di sekitar mereka, mereka harus tahu alurnya gimana. Tetangganya akan melapor kemana, misalnya ke ketua RT, lalu apakah bisa langsung menindak atau perlu lapor lagi kepada yang lebih berwenang hingga akhirnya ditangani oleh profesional dan dirawat di RS.”