Kolokium Prof. Dr. Hora Tjitra Dosen Zhejiang University di Ruang Auditorium Lt.3 FPSB UII

{mosimage}Kedatangan Prof. Hora Tjitra bersama istri (sebelum memberi materi qollokium), disambut hangat oleh Wakil Rektor I, Nandang Sutrisna, SH. MHum. LLM. Ph.D ., Wakil Rektor III, Ir. Bachnas MSc, Dekan FPSB UII, Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psikolog, Direktur Program Pascasarjana Magister Psikologi Profesi FPSB UII, RA. Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si., Psikolog beserta staf rektorat dan juga staf pengajar FPSB UII di R. Sidang VIP Gedung Rektorat Lt.3. Pada kesempatan ini, Wakil Rektor I berharap agar ke depan dapat terwujud sebuah kerjasama nyata antara Zhenjiang University dengan Universitas Islam Indonesia yang diharapkan dapat membawa kemajuan bagi kedua Universitas, baik dalam bidang keilmuan Psikologi  maupun keilmuan lainnya.

“Saya sekolah hingga SMP di Surabaya. Kemudian saya melanjutkan SMA di Bali. Lulus SMA saya langsung melanjutkan studi S1, S2 dan S3 di Jerman. Saya sudah tinggal di Jerman selama 14 tahun.  Di Jerman saya sempat bekerja sebagai consultant management di PricewaterhouseCoopers dan Change International sebelum akhirnya diminta oleh Zhenjiang University sebagai Guru Besar. Zhenjiang University sendiri berada di kota wisata Hangzhou. Istri saya  juga berasal dari kota Hangzhou.  Dia dulu adalah guru bahasa China saya,” paparnya saat memperkenalkan diri yang segera disambut dengan senyum oleh wakil rektor, dekan dan staf yang ada di ruangan tersebut.   

Usai beramah tamah dengan pimpinan Universitas Islam Indonesia, Associate Professor for Applied Psychology, Zhejiang University, China tersebut segera menyambangi peserta qollokium yang sudah menantinya di R. Auditorium FPSB UII. Dalam ceramahnya, Profesor yang banyak membantu perusahaan-perusahaan multinasional  untuk tema kebudayaan, transformasi dan kepemimpinan tersebut mengatakan bahwa orang-orang Indonesia sebenarnya memiliki modal yang sangat luar biasa untuk menjadi pemimpin di era new globalism. Hal ini didasarkan pada kenyataan adanya nilai toleransi yang besar pada masyarakat Indonesia terhadap berbagai kebudayaan yang ada. “Masyarakat kita yang begitu majemuk telah sangat terbiasa dengan perbedaan budaya yang ada. Hal ini menurut saya bisa menjadi modal semacam sensitivity (rasa) untuk mendeteksi permasalahan ataupun problem-problem budaya. Dengan sensitivity, seharusnya pula orang-orang Indonesia akan lebih mudah untuk menjadi pemimpin perusahaan-perusahaan besar di Dunia. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa tidak banyak pemimpin dari Indonesia yang muncul di kancah internasional? Inilah yang mendorong saya untuk melakukan penelitian “Building Global Competence for Asian Leaders” yang didukung (dibiayai) oleh Human Capital Leadership Institute, Singapura”, paparnya.

Dalam kesempatan tersebut, Prof Hora memberikan salah satu contoh perbedaan budaya tentang pemberian kepercayaan yang ada antara Indonesia dengan China. Di Indonesia menurutnya orang akan cenderung memberikan kepercayaan dulu pada  seseorang sambil diawasi, sedangkan di China kepercayaan tersebut diberikan saat seseorang berhasil melewati berbagai test yang diberikan. Namun demikian, jika seseorang sudah dipercaya oleh orang China, maka apapun akan benar-benar diserahkan kepada seseorang tersebut. Ini berbeda dengan di Indonesia, dimana orang yang sudah dipercaya sekalipun tetap akan di monitoring.