PUSAT STUDI PSIKOLOGI ISLAM MENGKAJI ‘AKHLAK’ SEBAGAI KEKHASAN PSIKOLOGI UII

PUSAT STUDI PSIKOLOGI ISLAM MENGKAJI ‘AKHLAK’ SEBAGAI KEKHASAN PSIKOLOGI UII

Pusat Studi Psikologi Islam menggelar kajian rutin “Psychology for Theaching and Learning” dengan mengangkat tema terkait akhlak. Kajian ini dlaksanakan pada senin, 29 April 2019, pukul 13.00 – 15.30 WIB. Kajian tersebut diisi oleh pembicara Dr. Ahmad Rusdi, S.Psi., S.Sos., MA.,Si., dari internal dosen psikologi UII.

Kajian akhlak ini penting karena program studi psikologi UII menekankan kekhasan psikologi Islam yang diusungnya pada ‘akhlak mulia’. Untuk itu, pembahasan tentang akhlak dijadikan topik pembahasan paling awal setelah landasan filosofis psikologi Islam agar pemahaman psikologi Islam dan pengembangannya di lingkungan psikologi UII menjadi kuat berakar dan mendasar.

Rusdi menjelaskan definisi akhlak yaitu, bentuk/struktur di dalam diri yang rāsikhah (mengakar permanen) yang mendorong perilaku spontan (suhūlah) dan mudah (yusrin) tanpa hajat/pamrih, tanpa dipikirkan, dan tanpa memerlukan perenungan/ide terlebih dahulu atau dalam arti singkat akhlak merupakan dorongan jiwa yang mendorong tindakan otomatis.

Berdasarkan konteks makro dan dalam level interaktif, ilmu akhlak (etika) merupakan ilmu praktis agar manusia menjadi baik. Terdapat tahapan dalam menerapkan ilmu akhlak dari mulai level individu, level keluarga (al-iqtisodiyah/ekonomi), hingga level masyarakat (al-siyāsah). Rusdi menyampaikan bahwa ilmu agar seseorang menjadi baik adalah ilmu akhlak, ilmu agar keluarga menjadi baik adalah dengan mempelajari al-iqtiṣādiyah (ilmu tentang ekonomi keluarga), dan ilmu agar masyarakat menjadi baik adalah dengan mempelajari al-siyasah (ilmu politik).

Mengutip pendapat Ibnu Miskawaih, pembicara menjelaskan bahwa akhlak didasarkan pada aspek paling utama dalam diri manusia yaitu jiwa (nafs). Ibnu Miskawaih membagi daya jiwa manusia menjadi tiga. Pertama, daya rasional (al-Nafs al-Nātiqah) yaitu menjadi dasar berfikir, membedakan, dan menalar hakikat sesuatu. Kedua, daya animal (al-Nafs aal-ḥayawaniyyah/ al-ghaḍabiyyah) yaitu menjadi dasar kemarahan, tantangan, keberanian atas hal-hal yang menakutkan, keinginan dan berbagai macam kesempurnaan pengendalian gerak. Ketiga, daya vegetatif (al-naf al-nabātiyyah/ al-shahwiyyah) yaitu jiwa yang menjadi dasar shahwat. Jiwa tersebut mendorong untuk saling berdesakan dan merebut posisi, tetapi apabila dapat seimbang di antara ketiganya maka tercapailah keutamaan (fadhilah) dan kebaikan pada manusia, yaitu ḥikmah (bijaksana), shajā’ah (keberanian), ‘iffah (kehormatan diri) dan sakhā (kedermawanan).

Rusdi menjelaskan sifat utama (fadhilah) berdasarkan Ibnu Miskawaih yaitu menekankan pada posisi pertengahan dan keseimbangan (al-‘adālah). Jiwa manusia selalu dilingkupi oleh dua ekstrim (ekstrim kelebihan/kanan dan kekurangan/kiri). Posisi tengah merupakan posisi utama diantara ekstrim berlebihan/kanan atau ekstrim kekurangan/kiri dari jiwa manusia. Posisi tengah merupakan prinsip umum sifat keutamaan. Oleh sebab itu, ketika manusia condong ke satu ekstrim, maka akan menghilangkan sisi-sisi keutamaannya. Ia mencontohkan bahwa jiwa yang tidak ekstrem kanan atau kiri (seimbang) pada jiwa rasional akan melahirkan sifat cerdas (al-dzakā’), ketajaman akal (al-ta’aqqul), kecerdasan yang cepat (sur’atul fahm), bersih dalam memahami (ṣafa’al-dhihn), mudah dalam belajar (suhūlah al-ta’allum), dan akurasi memanggil informasi (a-dzikr).
Kajian ini ditutup dengan penjelasan tentang penelitian-penelitian akhlaq yang melibatkan banyaknya komponen akhlak. Kesimpulannya, mempelajari akhlaq secara konseptual bukanlah perkara mudah, karena irisan, aspek, komponen, dan dimensi akhlak sangat kompleks sehingga waktu kajian ini terasa tidak cukup untuk mengkaji akhlak secara keseluruhan. ***

Penulis: Pusat Studi Psikologi Islam/

Senin, 29 April 2019